Untuk mencapai kehidupan yang adil dan beradab, kedamaian adalah syaratnya yang mutlak. Syarat ini adalah juga hak untuk setiap manusia. Tak hanya untuk urusan sosial, manusia butuh kedamaian dalam segala aspek kehidupannya, mulai dari ekonomi, politik, budaya hingga –dan ini yang kerap dilupakan—urusan spiritual.
Khusus untuk urusan spiritual, Allah berulangkali mengingatkan manusia agar tak melupakan dan senantiasa bersyukur pada-Nya. Sebab Allah tak hanya membebaskan manusia dari kesulitan ekonomi, Ia menghilangkan sumber dari segala kesulitan, yakni ketakutan. Soal ini, Quran merekamnya dalam surat al Quraish (ayat 3-4), “Maka hendaklah mereka (kaum Quraisy) menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah), yang telah memberikan makanan pada mereka untuk menghilangkan rasa lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan”.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa ayat di atas sesungguhnya sedang berbicara soal pentingnya kedamaian untuk kesempurnaan ibadah. Tidak mungkin manusia dapat beribadah kepada Tuhannya dengan tenang dan khusyuk jika perut masih lapar dan kondisi sosial jauh dari kedamaian. Karenanya Tuhan membebaskan manusia dari rasa lapar dan takut agar mereka dapat beribadah dengan tenang.
Mengutip pendapat salah satu ulama soleh, Quraisih Shihab menjelaskan bahwa ayat ini erat kaitannya dengan surah al Fil yang berbicara tentang pemusnahan pasukan gajah. Peristiwa itu disebut sebagai bentuk perlindungan Allah terhadap orang-orang Quraish agar mereka bisa melakukan aktivitas dagang pada dua musim, yaitu panas dan dingin.
Lebih jauh, penjelasan di atas juga memberi pemahaman bahwa Allah menjamin keselamatan dan kedamaian orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Allah terlebih dulu membebaskan manusia dari rasa lapar dan takut sebelum meminta mereka untuk menyembah-Nya.
Ayat ini juga menjadi penegas bahwa Islam datang membawa kedamaian, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pelopornya. Artinya, kedamaian tak hanya menjadi jargon yang diumbar oleh Islam, ia adalah hal yang dipraktekkan secara nyata. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata Ilaf di awal ayat yang berarti “jinak”, “menghimpun” dan “harmonis”. Ketiga hal ini adalah gambaran utama dari suku Quraish.
Karenanya tak heran, dari suku ini lahir manusia dengan akhlak terbaik sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW. Rasul yang terakhir diutus oleh Allah ini mengemban sebuah misi mulia, meski tak akan mudah untuk segera terlaksana, yakni untuk menjadi berkah untuk semesta. Tak hanya untuk sukunya, tidak pula hanya untuk bangsanya, tetapi untuk seluruh penjuru dunia. “Tidaklah kami mengutus engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta,” demikian Quran surah al-Anbiyah, 21:107 menjelaskan.
Pertanyaannya kini, setelah seribu tahun lebih nabi Muhammad diutus ke dunia, sudahkah misi utama nabi tersebut menjadi panduan kita dalam meniti kehidupan ini? Sepertinya belum. Sepenuhnya. Bahkan belakangan ini, orang-orang yang mengaku beragama justru kerap tampil di baris paling muka untuk menghardik sesama. Mimbar-mimbar keagamaan digunakan justru untuk menyemai permusuhan dan kehancuran. Meski menjadi pembenci, mereka tetap mengaku sebagai pengikut nabi. Entah nabi yang mana.
Mereka yang masih sibuk menebar kebencian tentu tak pantas menyebut diri sebagai pengikut nabi, sebab nabi tak pernah ajarkan membenci. Malahan, nabi dengan gamblang menyebut bahwa ia tak mengemban misi apapun selain membawa rahmat bagi manusia. “Aku tidak diutus untuk melaknat manusia, tapi diutus untuk membawa rahmat bagi mereka,” demikian tegas nabi.
Kisah tentang kemuliaan akhlak nabi begitu berjibun. Nabi dikenal sebagai orang yang sangat santun, murah senyum, ringan tangan untuk memberikan bantuan, serta tak pernah menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk menebar kebaikan. Lihatlah kisah nabi yang setia dan ikhlas menyuapi seorang kakek tua beragama Yahudi di pasar Madinah.
Pria tua ini bukan orang biasa, ia adalah seorang pengemis buta yang tak pernah melalui hari tanpa memaki nabi. Namun apa reaksi nabi? Ia justru dekati dan terus limpahi si pembenci ini dengan kasih sayangnya. Nabi terus lakukan ini hingga akhir hayatnya. Hingga si kakek Yahudi menyadari bahwa orang yang paling ia benci rupanya justru yang paling menyayanginya.
Nabi juga kerap tampil sebagai orang pertama yang memberi penghormatan dan bahkan pembelaan terhadap berbagai ketidakadilan, termasuk yang menimpa orang-orang dari lain agama. Sikap Rasulullah SAW ini adalah bentuk toleransi nyata. Lahir dari kesadaran beliau akan pentingnya menghargai harkat dan martabat kemanusiaan. Baginya, kemanusiaan tidak mengenal etnis, suku dan agama, sebab yang terpenting adalah bagaimana melayani, menghargai, serta memperlakukan manusia secara adil.
Kebencian dan ketidakadilan akan membuat kehidupan sosial goyah, bahkan bergejolak. Karenanya, -Quran secara tegas memberi peringatan, “dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Mā’idah: 8).
Jika tujuan toleransi adalah kedamaian, maka sandaran terbaik untuk itu adalah kemanusiaan dan keadilan.
Suaib A. Prawono, Presidium GUSDURian Sulawesi.