Sebuah laman berita daring pernah menurunkan laporan menarik berjudul “Luka Hati Karena Tanda Dibaca pada Pesan Singkat”. Laporan ini menjadi menarik karena mengutip sebuah penelitian yang menjelaskan banyaknya pertengkaran atau perdebatan antar pasangan suami istri dan kekasih bisa terjadi hanya gegara tanda dibaca dari sebuah pesan singkat. Kelahiran dunia maya memang merubah struktur sosial kehidupan manusia.
Agama sebagai salah satu bagian kehidupan sosial manusia tak bisa terhindar dari kencangnya angin perubahan pengaruh dunia maya. Kehadiran dunia maya banyak dikatakan sebagai sebuah keuntungan dalam menebarkan kebaikan bagi agama. Kemudahan dan kelincahan dunia maya yang tak mengenal batas-batas dianggap bisa mempermudah dalam menyebar pesan-pesan kebaikan.
Beberapa peneliti malah berpendapat sebaliknya, dunia maya dengan segala keunggulan yang dimilikinya juga bisa memberikan dampak yang buruk pada struktur sosial, terutama agama. Salah satunya adalah Heidi A. Campbell menuliskan buku When Religion Meet New Media, diantara perubahan yang agama hadapi adalah distingsi antar golongan yang berpeluang semakin tajam dan mengeras. Keadaan tersebut akan mengakibatkan semakin meningginya potensi tubrukan antar golongan yang tak lagi bisa dikendalikan.
Talal Asad, pemikir muslim kelahiran kota Madinah, memperingatkan kepada kita bahwa kehadiran agama dalam dunia digital selama ini jika masih belum bisa melepaskan dari dendam perbedaan yang selama ini mengendap dalam relasi beragama maka kehadirannya takkan ada banyak memberikan manfaat. Kritik Talal Asad sudah seharusnya bisa menjadi perhatian kita saat berselancar di dunia maya.
Kemudahan menyampaikan pendapat yang diberikan oleh dunia maya tersebut bisa dibaca sebagai keuntungan, namun yang tidak boleh dilupakan adalah kemudahan ini juga bisa membawa bencana di dalamnya. Saat kran penyampaian pendapat dibuka seluas-luasnya maka kita bisa dipastikan akan menghadapi perdebatan (dalam agama Islam disebut Jidal) yang kemungkinan tak berujung.
Melihat jidal dalam fenomena dunia maya ini merupakan hal yang menarik, sebab jika jidal dipandang sebuah fenomena dalam kacamata pascamodern maka perseteruan ini bisa disamakan dengan pertarungan wacana atau narasi. Wacana dalam pemikiran Michel Foucault bisa menggambarkan apa yang terjadi selama ini di dunia maya. Perdebatan yang tak kenal ujung dan kebanyakan berakhir pada debat kusir menjadi pemandangan yang biasa di dunia maya selama ini.
Kebenaran dalam dunia maya tidak bisa dipegang sebagai sebuah kebenaran mutlak, banyak faktor yang mempengaruhi kebenaran tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah “kebenaran”. Karenanya penting kiranya melirik pemikiran Michel Foucault untuk melihat lebih jernih apa itu kebenaran dan hubungannya dengan jidal digital.
Mempersamakan antara jidal dengan pertarungan wacana mungkin bisa disebut sebuah usaha subjektif, sebab perbedaan diantara keduanya juga tak bisa disamakan keseluruhan tapi kita bisa melihat bahwa jidal sebagai salah satu bagian dalam menyebarkan pengetahuan dan usaha untuk mempengaruhi massa. Sedangkan Michel Foucault mendedahkan pemikirannya soal wacana sebagai sebuah produk pengetahuan. Wacana dianggap sebagai bagian dari kekuasaan yang memproduksi wacana untuk mempertahankan pengaruhnya.
Kutipan percakapan seorang tokoh berinisial RG mengatakan bahwa ‘produsen hoax terbesar adalah pemerintah, karena mereka yang memiliki semua sumber dayanya’ adalah kata yang tidak sepenuhnya benar tapi juga tidak sepenuhnya salah. Sebab RG tidak menjelaskan bahwa pemerintah atau pihak berkuasa itu bukan cuma penguasa suatu daerah atau teritori, di sinilah kurangnya penjelasan RG hingga mengakibatkan sebuah ketidaklengkapan pemahaman, kekuasaan dimaknai oleh pemikir pascamodern bersifat lunak dan jaringan. Kekuasaan di masa pascamodern bukan lagi bekerja melalui mekanisme atas-bawah yang berlangsung di mana penguasa menerapkan aturan koersif untuk mengatur massa.
Foucoult melihat kekuasaan lebih pada pola hubungan diferensial yang kompleks meluas ke setiap aspek kehidupan sosial, budaya, politik, juga melibatkan semua bentuk “posisi-subjek” dan menjaga kesepakatan bukan dengan ancaman hukuman melainkan dengan membujuk kita untuk menginternalisasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan sosial.
Kekuasaan tidak lagi melihat penguasaan akan subjek dalam ranah tubuh fisik tapi lebih pada kontrol tubuh pengetahuan. Sebab, Foucault mengasumsikan penguasaan atas subjek tersebut tidak lagi bersifat organisasi namun bisa siapa dan apa saja. Penguasaan akan klaim kebenaran lebih ditekankan oleh Foucault sebagai produk kehendak untuk berkuasa yang tersebar luas dalam bahasa, wacana, atau representasi.
Jika kita melirik fenomena yang sedang ramai perang tagar (tanda pagar), di mana hampir semua isu seakan-akan tidak akan lupa membuat tagar untuk mengidentifikasi gerakan yang dibuat. Dari #2019gantipresiden, #diasibukkerja, #7meiHTImenang hingga guyonan kawan-kawan liverpudillan (sebutan untuk pendukung klub bola FC Liverpool) yaitu #2018gantijuarachampion, selalu menghiasi kebisingan dunia maya. Perang tagar ini seakan melegitimasi bagaimana perdebatan atau dalam agama Islam jidal lebih pada usaha untuk mempengaruhi massa dan bertarung wacana bukan lagi perdebatan untuk mencari mashlahah atau kemaslahatan bersama. Kehadiran Islam di ruang publik virtual memang terlihat sering meninggalkan masalah jidal versi virtual terjebak pada pertarungan wacana, bukan mencari kemaslahatan bersama.
Ketika Islam terjebak pada pertarungan wacana, maka dampak yang bisa kita rasakan adalah segregasi antar paham atau golongan yang berbeda semakin mengeras dan meruncing. Kebenaran tidak lagi dijadikan acuan, sebab yang ada hanyalah klaim kebenaran dari masing-masing golongan.
Kebencian akan satu golongan bisa menutupi mata kita untuk melihat kebaikan atau kebenaran dari golongan tersebut. Sebuah adagium terkenal di kalangan pesantren Ain ar-ridha an kulli ‘aibin kalilatun, kama anna ain as-shukhthi tubdi’u masawi sudah memperlihatkan kepada kita soal dampak pertaruangan wacana.
Oleh sebab itu jangan sampai kaum muslimin bisa terjebak kepada apa yang disebut Argentum ad Nausem atau kebohongan besar, sebuah teknik yang dipelopori oleh Joseph Goebbels, seorang Nazi kepecayaan Hitler, untuk menarik simpati rakyat Jerman masa itu dengan menyebar kebohongan atau propaganda melalui media massa sebanyak dan sesering mungkin hingga kemudian dianggap sebagai sebuah “kebenaran”.
Jika kita persepsikan teknik ini ada dalam jidal digital dan perang tagar saat ini, maka sudah seharusnya kita sebagai muslim selalu bertabayyun atas semua informasi yang bersileweran dengan cepat dalam kehidupan kita. Sebab bisa saja informasi yang kita terima adalah bagian dari wacana untuk mempengaruhi kita untuk tunduk pada mereka yang ingin berkuasa. Jadi menjadi trending topic atau viral di dunia belumlah tentu sebuah kebenaran, sebab bisa saja itu adalah permainan kebenaran yang semu.
Kembali ke persoalan awal dari tulisan ini, janganlah kita bertengkar atau berdebat kecuali hanya untuk mencari kemaslahatan bersama, bukan mendebatkan siapa yang paling viral atau trending topic. Wallahu a’lam. Fatahallahu alaihi futuh al-arifin