Islam, Pengetahuan, dan Gerakan Anti Ilmu Pengetahuan

Islam, Pengetahuan, dan Gerakan Anti Ilmu Pengetahuan

Islam, Pengetahuan, dan Gerakan Anti Ilmu Pengetahuan

Yogyakarta sebagai The City of Tolerance, sedang diuji oleh gerakan anti ilmu pengetahuan yang mengancam diturunkannya spanduk penerimaan mahasiswa baru di UKDW karena memajang foto seorang muslimah. Kejadian ini lantas memicu berkembangnya opini bahwa Yogya darurat intoleransi.

Agar suasana ke depan kembali kondusif, ada baiknya saya mengajak saudara-saudaraku yang ikut dalam aksi tersebut melihat sejarah hubungan keilmuan antara ilmuan Muslim, Nashrani, Yahudi, dan Shabiah. Mudah-mudahan sejarah singkat ini bisa jadi cermin kita dalam bersikap.

Peradaban Islam yg unik ini bukan hanya produk kreativitas ilmuan Muslim, tetapi juga hasil dari kontribusi ulama Musyrikin, Nasrani, Yahudi, dan Shabiah (ishamat ulama ghayri mualimin min musyrikin wa nashara wal yahudi wa shabiin).

Umat Muslim pada generasi awal dikenal dengan umiyyah, yakni umat buta huruf. Mereka kemudian belajar menulis dan membaca dr orang2 pintar kaum musyrikin yg tertangkap sebagai tawanan perang. Para tawanan perang akan dibebaskan jika sudi mengajari umat Islam menulis dan membaca. Itulah strategi pendidikan yang digagas oleh Nabi Muhammad, sebuah konsep pendidikan inklusif dimana umat Islam boleh belajar bahkan dari kaum musyrikin.

Di era yang lain, saat Khalifah Harun al-Rasyid membangun Baitul Hikmah, ia menunjuk Yohana bin Masawayh dan Hunain bin Ishak sebagai penerjemah kitab-kitab Yunani. Keduanya mendapat julukan Syaikh Atiba’ Nashara, ahli kedokteran Nashrani, yg memiliki kontribusi besar bagi pengembangan keilmuan empirik di bidang medis.

Ada pula ulama Nashrani kenamaan, yakni Abi bin Rabbin dan Tsabit bin Qurrah al-Harani. Konon, Abu Bakar al-Razi–seorang ulama Muslim ternama–belajar dari mereka ttg ilmu kedokteran, arsitektur, matematika, astronomi, dll. Bayangkan, seorang ulama Tafsir al-Quran dgn hati dan pikiran terbuka sudi menimba ilmi dari ilmuan Nashrani.

Ulama Yahudi juga ada yang memberi kontribusi pada pengembangan keilmuan dlm peradaban Islam, antara lain adalah Musa bin Maimun (Maemonides), Samoel bin Yahudza, dan Sahl bin Basyar bin Habib bin Hani’. Mereka memberi sumbangsih dlm bidang kedokteran dan astronomi, bahkan Maimonides dipercaya menjadi dokter pribadi khalifah pada masanya.

Tidak hanya Nashrani dan Yahudi. Ada juga ulama dari agama Shabiah (zoroastrianism) bernama Ibnu Jabir Al-Batani. Menurut para sejarawan Muslim, al-Batani merupakan pakar astronomi dan peletak pertama ilmu sistem mekanik dlm kebudayaan Islam.

Tidak hanya di bidang ilmu empirik dan filsafat, kontribusi ulama non Muslim juga besar di bidang sastra Arab, antara lain Abu Husayn Hilal bin al-Shabi, Ibrahim bin Sanan, Said bin Ibrahim al-Tustari, Ali bin Nashr al-Nashrani dll. Mereka semua adalah pakar sastra Arab non Muslim yang menyumbangkan ide-idenya untuk mengembangkan bahasa Arab dan peradaban Islam.

Sebaliknya, para ilmuan Nashrani, Yahudi, dan Shabiah secara terbuka berguru pada ulama Muslimin di berbagai bidang. Salah satunya, Roger Bacon belajar sistem pesawat dari Ibnu Firnas, ulama Muslim penemu sistem pesawat dari Spanyol pada tahun 800-an.

Dari fakta itu, kita dpt menyimpulkan bahwa Islam adalah agama keilmuan. Umat Muslim boleh mengajar non Muslim dan boleh belajar dari non Muslim. Konon, sahabat Ali bin Abi Thalib RA, pernah menyatakan bahwa ilmu/kebijaksanaan adalah harta kaum Muslimin yg hilang, bisa diambil dr mana saja jika ditemukan. Islam memberi kebebasan berpikir kepada para ilmuan, baik Muslim maupun non Muslim.

Saat peradaban Barat berada dalam era kegelapan (dark ages) dimana Galileo dieksekusi akibat penemuan ilmiahnya, peradaban Islam berada di era keemasan (‘ashr al-izdihar/ashr al-dzahabi) dimana ulama Muslim-Nashrani-Yahudi bekerjasama memajukan keilmuan.

Namun, dgn adanya gerakan garis keras di Yogya yang mengusik dinamika pendidikan, nampaknya peradaban Islam di Yogya seolah-olah kembali ke era kegelapan, di mana wacana kebencian (khitab al-karahiyyah) mendominasi dan mengalahkan wacana keilmuan (khitab al-ilmi).

Akhirulkalam, wes ojo podo ribut, ayo ngaji meneh bareng-bareng ben ora nesunan.

Pesantren Assalafiyyah II Terpadu, Yogyakarta