Islam, Pancasila dan Suara Lirih Para Mustadhafin

Islam, Pancasila dan Suara Lirih Para Mustadhafin

Harusnya kita mengingat, Pancasila itu sangat menyuarakan kaum mustadh’afin

Islam, Pancasila dan Suara Lirih Para Mustadhafin

Salah satu titik temu antara ajaran Islam dan Pancasila adalah perintah untuk menegakkan keadilan. Sila kelima dalam Pancasila, “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”, merupakan salah satu prinsip dasar penyelenggaraan negara kita. Sementara di dalam Islam, al-Qur’an dengan tegas menyerukan bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan.

Sayangnya, ketidakadilan lebih banyak direspon sebatas  retorika politik elite daripada menjadi prioritas kebijakan negara. Belakangan ini, misalnya, kesenjangan ekonomi menjadi sorotan masyarakat. Alih-alih mendapatkan perhatian dari para pejabat negara (legislatif maupun eksekutif), masalah ini justru dijadikan alat propaganda politik untuk saling menjatuhkan.

Salah satu contoh ketimpangan adalah persoalan penguasaan tanah yang dimonopoli oleh segelintir konglomerat yang mendapatkan keistimewaan dari pemerintah. Kesenjangannya sangat mencolok, 25 perusahaan perkebunan menguasai lahan 5,1 juta hektare atau seluas setengah pulau Jawa. Sementara petani kita yang jumlahnya jutaan, rata-rata hanya menggarap lahan di  bawah 1 hektare.

Gambaran nyata tentang ketidakadilan juga terjadi dalam ranah pelayanan publik, seperti penyediaan air bersih bagi masyarakat. Di Jakarta, total air tanah yang disedot tiap tahun mencapai 600 juta m3. Angka ini adalah data kasar yang diperkirakan hanya 10 persen yang baru tercatat. Salah satu pengguna terbesar air tanah tersebut adalah perusahaan swasta perhotelan.

Untuk menghindar dari pajak, biasanya mereka mengakali dengan pasang PAM, tapi hanya pajangan saja agar tagihannya kecil. Pajak air tanah yang dibebankan kepada mereka tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.

Sementara orang miskin di ibukota, per KK bisa bayar hingga 250 ribu perbulan. Bagi yang tidak punya sambungan pipa, di daerah Jakarta Utara bisa mengeluarkan lebih dari 500 ribu per bulan karena harus beli air. Biasanya mereka membeli air per gerobak Rp. 50ribu, dan dalam sebulan bisa butuh sampai 10 gerobak. Pengeluaran tersebut tentu sangat membebani bagi warga miskin.

Tanah dan air merupakan sumber daya alam yang terkait hajat hidup orang banyak. Konstitusi memberikan mandat kepada negara untuk menguasai dan mengelolanya untuk seluas-luasnya kesejahteraan rakyat. Mengapa negara yang harus mengelola, agar tidak ada privatisasi dan monopoli oleh segelintir orang.

Aset yang tergolong strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dilindungi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi: المسلمون شركاء فى ثلاث،  فى الماء والكلاء والنار. Umat Islam bersekutu dalam tiga hal: air, hutan, dan api (energi). Artinya, tiga sumber kekayaan ini tidak boleh diprivatisasi.

Namun fakta yang terjadi, banyak perusahaan air minum swasta yang beroperasi telah menguasai sumber-sumber air untuk komoditas, sementara warga masyarakat harus membelinya dengan harga mahal untuk mengonsumsi. Inilah ironi di negeri Pancasila yang berlandaskan keadilan sosial itu.

Baik dalam ajaran Islam maupun Pancasila dikenal konsep kepemilikan pribadi. Seseorang tidak dilarang untuk memiliki aset; tanah misalnya. Namun, baik prinsip perekonomian dalam Islam maupun Pancasila, sama-sama melarang adanya monopoli. Ekonomi Pancasila, setidaknya yang digagas oleh para founding fathers seperti Bung Hatta, jelas tidak menghendaki sistem pasar persaingan bebas. Bahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, beliau menawarkan perlunya dibentuk koperasi sebagai wujud ekonomi kekeluargaan dan kebersamaan.

Begitu pula dalam Islam, tidak diperbolehkan kekayaan hanya berputar di segelintir orang, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 7: كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ.. supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

Ketimpangan adalah masalah struktural yang berlangsung sejak zaman kolonial, yang bertahan pasca kemerdekaan sampai sekarang. Perubahan struktur ekonomi masyarakat yang lebih berkeadilan sosial belum terwujud.

Sayangnya, umat Islam kurang begitu peduli dengan masalah ketidakadilan ini, dan lebih banyak ribut-ribut masalah khilafiyah (perbedaan). Padahal perbedaan, baik itu perbedaan agama atau aliran mazhab, merupakan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Umat Islam juga banyak tersedot energinya untuk urusan dukung-mendukung politik kekuasaan dan mengabaikan masalah yang lebih esensial.

Reformasi memberikan peluang bagi bangsa Indonesia  untuk mewujudkan agenda keadilan sosial. Otonomi daerah telah mendistribusikan keuangann negara ke daerah secara lebih merata, dari yang sebelumnya terpusat. Bahkan desentralisasi telah dibuka hingga tingkat desa, sehingga desa diberikan kewenangan untuk mengatur keuangan dan kebijakannya sendiri, termasuk dalam mengelola aset desa.

Peluang untuk mewujudkan ekonomi yang lebih berkeadilan sangat terbuka, dan semestinya menjadi perhatian oleh seluruh masyarakat, terutama umat muslim. Hal ini tentu mensyaratkan adanya kesadaran mayoritas muslim untuk konsisten memperjuangkan keadilan tersebut. Agenda perjuangan  umat Islam saat ini adalah mewujudkan pemerintahan  yang mampu menegakkan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.