Islam Non-Mainstream

Islam Non-Mainstream

Islam sering disalahpahami di Dunia Barat sebagai agama kekerasan, patriarkal, poligamis, ekslusif, penuh fanatisme, dan anti kemajuan. Inilah pandangan sebaliknya dari intelektual Muslim yang sering dianggap kontroversial

Islam Non-Mainstream
Seorang warga di Prancis memakai hijab dengan bendera pada sebuah aksi protes. Pict by AP

Beberapa waktu lalu www.icarusfilms.com – sebuah situs yang mendistribusikan film-film dokumenter  garapan para produser film independen dari seluruh dunia – menurunkan serangkaian talk-show tentang Islam. Yang menarik, talk-show itu menampilkan percakapan dengan beberapa tokoh intelektual dan aktivis Muslim yang selama ini dikenal kontroversial karena sering mengemukakan pandangan-pandangan non-mainstream tentang Islam. Acara itu mendapatkan respons positif terutama di kalangan pemirsa Barat, terutama karena selama ini mereka hanya mengenal versi Islam konvensional yang banyak dilumuri prasangka dan stereotipe. Inilah ikhtisar singkat percakapan-percakapan itu. 

Abdullah Ahmed An-Na’im – “Saya Percaya pada Sekularisme”

Abdullah Ahmed An-Na’im adalah seorang sufi yang ingin berdedikasi kepada Islam maupun sekularisme. Ia tak pernah ragu dalam penentangannya terhadap setiap negara-Islam. Dan itu dilakukannya dengan sepenuh hati. Ia mengatakan bahwa gagasan tentang negara-Islam tidak ada dalam Quran, dan baru menjadi populer pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap kolonialisme Eropa. Lebih jauh dia mengatakan bahwa “gagasan negara Islam adalah bid’ah.”

Pengarang buku Islam and the Secular State, Na’im hijrah dari Sudan ke Amerika Serikat pada 1985 segera setelah gurunya – salah satu tokoh paling religius yang pernah dikenal dalam sejarah – dihukum mati karena dianggap murtad. Pengalaman ini begitu mempengaruh pandangannya bahwa agama hanya bisa berkembang jika negara bersifat  netral. Dia mengatakan bahwa fatwa – misalnya fatwa hukuman mati terhadap Salman Rusdhie – kurang lebih tak lain merupakan perampasan kekuasaan atas nama agama.

Sementara sebagian orang beranggapan bahwa ada keniscayaan untuk koeksistensi antara Islam dan sekularisme, seperti misalnya dengan merujuk pengalaman Turki, pandangan Na’im mengenai sekularisme jauh lebih radikal. Na’im yakin bahwa seNasrkularisme sama sekali tak pernah menjadi halangan bagi agama, bahkan hanya sekularisme yang bisa menjamin orang-orang beragama bebas mempraktekkan keyakinannya.

Asma Barlas – “Kesetaraan Gender adalah Manifestasi Tauhid, karena Tuhan Tak Berjenis Kelamin”

Profesor Asma Barlas tak pernah menyebut dirinya seorang feminis – tetapi ia adalah pemegang teguh suatu keyakinan mengenai “kesetaraan seksual radikal” yang didasarkan pada bacaan atas ayat-ayat Quran. “Sayangnya … kaum lelaki menafsirkan ayat-ayat Quran itu menurut kepentingan mereka sendiri, dan kemudian tafsir itu menjadi lingkaran yang tertutup sehingga kini benar-benar sulit untuk menentangnya,” kata pengarang buku berjudul Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of Quran, itu.

Dia beranggapan bahwa seperti halnya teks-teks lain, Quran terbuka terhadap cara pembacaan yang jamak, dan bahwa Tauhid – konsep dasar tentang keesaan Tuhan – sangat jelas mentransendensikan perbedaan-perbedaan gender.

Barlas adalah seorang pemikir yang sangat antusias dan dinamis yang secara kritis sangat akrab dengan tradisi keagamaannya sendiri, seraya pada saat yang sama juga sangat kritis pada stereotipe anti-Islam yang tertanam sangat lama dalam kebudayaan Barat yang masih terus muncul dalam bentuk-bentuk baru hingga sekarang.

Nasr Hamed Abu Zayd – “Kebenaran dengan K besar adalah konsep yang sangat berbahaya.”

Nasr Hamed Abu Zayd lahir dan besar di Mesir tapi pada 1980an ia terpaksa hijrah keluar negeri karena tuduhan murtad. Dia selalu melihat Islam sebagai agama yang berakar pada gagasan mengenai keadilan sosial. Karena pandangannya ini ia menjadi sangat kritis pada kebijakan ekonomi pemerintah Mesir. Ia mulai mempertanyakan munculnya kesenjangan sosial begitu Mesir menerapkan liberalisasi ekonomi – kebijakan yang melahirkan munculnya kekayaan di tangan segelintir orang sekaligus menciptakan kemiskinan yang begitu luas.

Zayd beranggapan bahwa sikap kolonial terhadap Islam telah menyebabkan jebakan politiko-kultural berkepanjangan, membuat baik kaum Muslim maupun orang-orang Kristen memiliki persepsi yang keliru satu sama lain. Persepsi yang keliru ini diperbarui dan diperkuat kembali melalui perang, termasuk perang-perang yang terjadi dewasa ini, seperti di Irak, Afghanistan, dan Suriah.

Setelah puluhan tahun di pengasingan, dia tetap seorang Muslim yang saleh dan menganut pandangan tentang keragaman tafsir terhadap Kitab Suci. “Jika kita setia pada interpretasi rasional, maka sesungguhnya kita melihat Quran hanya dengan satu mata. Jika kita menganut interpretasi literal, kita melihat Quran dengan mata yang lain. Kita harus membuka kedua mata kita,”  begitu katanya. “Iman yang benar adalah iman yang percaya pada ketidakpastian. Pada ambiguitas.”

Amna Nusayr – “Kesetaraan Manusia Diajarkan dan Dijamin oleh Syariah”

Dewasa ini, menurut Amna Nusayr, gagasan dan praktek tentang syariah dan jihad sungguh-sungguh menyesatkan.

Menurutnya syariah harus dibedakan dari tradisi budaya – seperti tradisi yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, tradisi yang masih banyak dipraktekkan dalam masyarakat Muslim. Islam mengajarkan kaum laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Tuhan, di dalam pengharapan yang sama atas rahmat-Nya.

Lebih dari sekadar melihat syariah sebagai penerapan dan pelaksanaan hukum, Amna Nusayr menganggap syariah memiliki makna spiritual yang sangat dalam. Makna spiritual inilah yang harus digali untuk menemukan akar Islam dalam pengakuan atas nilai-nilai hak asasi manusia dan kesetaraan manusia.

Sedangkan mengenai jihad, makna sejatinya yang utama adalah perjuangan spiritual internal untuk meningkatkan kualitas manusia. Jihad sebagai perjuangan eksternal yang bersifat fisik hanya dibenarkan untuk membela diri terhadap agresi. Dia melihat bahwa konflik Arab-Israel pada dasarnya merupakan konflik yang berakar pada konflik politik, bukan agama.

Reza Aslan – “Identitas Muslim Begitu Cair di Amerika”

Banyak imigran di Eropa dan Amerika Serikat berasal dari negeri-negeri Muslim. Menurut pengamatan Reza Aslan, dalam beberapa aspek kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan, imigran Muslim lebih merasa nyaman hidup di Amerika ketimbang di Eropa. Kendatipun demikian, di kedua wilayah itu, kaum Muslim tetap menghadapi kebutuhan untuk pemenuhan identitas-diri.

Aslan melihat Islam sebagai agama yang lebih didasarkan pada amal daripada doktrin. Kredo pokok Islam – tidak ada tuhan selain Tuhan – begitu mudah diterima sehingga kaum Muslim bisa menjadi apapun sesuai yang mereka inginkan tanpa hambatan doktrinal yang ruwet. Hasilnya, Islam akhirnya memang  cenderung menjadi agama yang beragam dan eklektik. Ini juga yang membuat kaum Muslim bisa dengan mudah didefinisikan oleh kekuatan-kekuatan kolonial; dan yang pada gilirannya juga begitu rentan didefinisikan oleh kekuatan anti-kolonial. Dalam konteks sekarang, ketika dunia didominasi oleh kekuatan imperialis, kelompok-kelompok jihadis menyediakan definisi mereka sendiri untuk disebarluaskan sebagai naratif alternatif terutama di kalangan kaum muda Muslim di seluruh dunia.

Kejeniusan bin Laden misalnya adalah karena “kemampuannya membuat koneksi antara keresahan lokal dengan keresahan global untuk menciptakan naratif tunggal – sebuah naratif tentang penderitaan dan ketidakadilan yang disebabkan oleh kekuasaan Barat.” Maka, demikianlah seorang pemuda Arab Muslim di Belanda misalnya dengan mudah bisa mengaitkan rasisme yang dia alami dengan perang yang terjad di Chechnya, dengan kesengsaraan bangsa Palestina, dan pendudukan Amerika di Irak. Dia dipasok dengan identitas yang siap-pakai.

Meskipun ada retorika-retorika yang menyesatkan mengenai “perang melawan teror,” Aslan – yang tinggal di Los Angeles – mengatakan bahwa kaum Muslim Amerika tidak mudah terseret oleh retorika semacam itu; ini karena sifat identitas Amerika yang luwes. “Identitas Amerika adalah identitas yang terus menerus bermutasi … Anda bisa menjadi bagian dari kami, dan Amerika berubah menjadi bagian dari Anda.”

Anouar Majid – “Islam dan Barat Bisa Membangun Identitas Bersama”

Anouar Majid melihat sejarah bagaimana Eropa dan Islam pernah mendefinisikan diri mereka masing-masing dalam pertentangan satu sama lain. Ini bukannya tidak mungkin diubah. Dalam hubungannya yang baru sekarang, hubungan yang didasarkan pada kebudayaan, mereka bisa mengembangkan multiplisitas berbagai titik-pandang untuk membangun identitas bersama.

Sementara konflik-konflik yang berlangsung antara kelompok jihadis Muslim dan xenofobis Barat masih akan mewarnai hubungan tegang antara keduanya, konflik-konflik itu tidaklah bersifat permanen. Majid mengingatkan bahwa memang ada bentrokan yang bersifat asali antara Islam dan tradisi Barat yang sudah berlangsung selama berabad-abad sebelumnya. Eropa muncul lebih dari seribu tahun lalu ketika mereka mengembangkan kesadaran bersama mengenai ancaman Islam.

Majid menelusuri bahwa munculnya gagasan negara-bangsa baru terjadi bersamaan dengan pengusiran orang-orang Yahudi pada 1492 dan orang-orang Muslim pada 1609 dari Spanyol. Kedua peristiwa itu merefleksikan gagasan bahwa negara dan identitas agama sesungguhnya merupakan gagasan yang satu. Orang-orang Islam dan Yahudi diusir dari kawasan Eropa ketika Eropa membangun negara-negara dengan identitas kebangsaan Kristen. Di pihak lain orang-orang Yahudi dan Muslim yang terusir itu akhirnya juga mengembangkan negara-bangsa mereka sendiri. Proliferasi negara-bangsa akhirnya meluas manakala negara-negara Eropa meluaskan pengaruhnya melalui kolonialisme.

Kini, menurut Majid, khususnya di Eropa identitas-identitas negara-bangsa berbasis agama sudah nyaris hilang akibat sekularisme. Pada saat yang sama komunitas-komunitas Muslim banyak yang berdatangan ke kawasan Eropa untk menjadi imigran. Inilah saatnya identitas-identitas bisa dipertukarkan. Islam dan Barat bisa memiliki kesempatan untuk membangun identitas bersama dalam kerangka kebudayaan baru. Mungkin memang masih akan lama tercapainya afinitas itu. Tapi kemungkinan itu bukannya tidak ada, karena negara-bangsa sebenarnya juga sedang mengalami pemudaran akibat ekspansi kapitalisme. Kini masyarakat Barat dan masyarakat Muslim di Eropa menghadapi problem bersama untuk kelangsungan hidup bersama, bukan sekadar untuk berkoeksistensi tetapi juga untuk membangun landasan-landasan hidup kolektif supra-negara.

Mehmet Asutay – “Keadilan Kini Harus Menjadi Esensi Moral Ekonomi Baru”

Di tengah krisis kapitalisme finansial, banyak orang kini mulai mencari alternatif untuk menggantikan sistem ekonomi global. Mehmet Asutay adalah salah seorang yang mencarinya di dalam Islam. Ia yakin Islam menyediakan jawaban khususnya untuk membangun ekonomi dengan landasan keadilan sosial.

Asutay meyakini bahwa krisis ekonomi dewasa ini terjadi karena diskoneksi antara sektor finansial dan sektor riel. Tapi dia berpendapat bahwa jawaban untuk menanggulangi problem ini tidak terletak pada penerapan sistem perbankan Islam yang, menurutnya menggunakan pendekatan yang terlalu sempit dan legalistik. Jawabannya terletak pada sistem ekonomi yang memberikan kesempatan yang sama ke sumberdaya dan yang mengakui bahwa, tak peduli apapun perbedaannya, manusia memiliki kesetaraan di hadapan Tuhan.

Bagi Asutay, moral ekonomi Islam tidak harus meliputi segala aspek. Setiap masyarakat bisa mengembangkan model ekonomi mereka sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya. Ekonomi Islam tidak boleh mendiskriminasi antara Muslim dan non-Muslim. Menegaskan apresiasinya pada apa yang disebutnya “sifat humanistik dari sekularisme,” Asutay melihat bahwa ekonomi Islam berakar pada gagasan tentang keadilan dan pada ide mengenai rahmat Tuhan bagi semua makhluk. Trust adalah basis dari kegiatan ekonomi. Partisipasi dalam sebuah masyarakat konsumen hanya membuat masing-masing kita dinilai karena “daya-beli” kita; padahal seharusnya masing-masing kita harus berperan dalam kapasitas produktif untuk disumbangkan dalam mekanisme produksi dan distribusi sumberdaya. Jadi, sumbangan Islam harus diartahkan untuk meredefinisi konsep mengenai “homo-economicus” ala kapitalisme.

Ömer Özsoy – “Menghapuskan Prasangka-prasangka Semitisme dan anti-Semitisme”

Ömer Özsoy mengatakan bahwa penutup-kepala ala jilbab bagi perempuan Muslim tidak diwajibkan oleh Quran. Kendatipun dia juga berpandangan bahwa perempuan Muslim di negeri-negeri Barat yang ingin menggunakan jilban harusnya tidak boleh dilarang. Bagi Özsoy, jilbab bukan masalah agama tetapi masalah hak-asasi.

Dalam masyarakat sekuler, penegasan-penegasan teologis dalam perdebatan soal jilbab sesungguhnya memang harus dianggap tidak relevan. Memang masih ada argumen-argumen anti-semitik di kalangan masyarakat Barat, bersamaan dengan klaim-klaim mengenai kewajiban teologis di kalangan Muslim, mengenai masalah ini. Keduanya sebenarnya berada pada posisi yang keliru. “Jika kita meletakkan isu jilbab dalam kerangka kebudayaan sekuler sebagai sekadar hak asasi, maka semestinya perdebatan harus diakhiri dengan penghargaan pada tradisi masing-masing.

Dalam konteks ini, kaum Muslim seharusnya menghentikan dan menghapuskan prasangka yang didasarkan pada gambaran mengenai “Eropa yang imoral,” sementara orang-orang Barat juga harus menghapuskan stereotipe mereka tentang “Islam yang irasional.”