Islam: Nalar dan Akhlak

Islam: Nalar dan Akhlak

Islam: Nalar dan Akhlak

Agama itu nalar, tidak ada agama bagi yang tidak punya nalar (ad-din ‘aqlun, la dina liman la ‘aqla lah). Itu bunyi hadis Nabi. Porsi akal dan nalar penting sekali dalam Islam. Bahkan salah satu tujuan syari’ah adalah melindungi akal (hifdzul ‘aql).

Belakangan saya lihat cara ber-Islam sebagian orang Indonesia semakin mundur, semakin tidak pakai nalar dan akal. Semakin banyak orang Islam merujuk dalil, tetapi membuang nalar dalam memahami dalil. Orang terobsesi menerapkan syariah Islam, tetapi melupakan nalar syari’ah yang termuat dalam maqasidus syari’ah. Syari’ah diturunkan ada maksud dan tujuannya. Tujuannya adalah menyempurnakan akhlak manusia, baik akhlak kepada Allah (hablun minallah), akhlak kepada sesama (hablun minannas) maupun akhlak kepada alam. Akhlak adalah muara dan tujuan misi profetik Nabi sebagaimana bunyi hadis: “Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.” Kalau kita belajar nahwu, innama adalah adatul hasr, artinya ‘hanya.’ Terjemahnya: “Aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Jadi, yang selain akhlak, dikecualikan dari misi profetik Nabi. Mafhum muwafaqah-nya, penerapan syariah yang tidak bermuara pada penyempurnaan akhlak bukan bagian dari misi Nabi.

Dewasa ini sebagian besar gerakan Islam, ormas Islam, parpol Islam, dan lembaga Islam bicara tentang syariah Islam dan obsesi penegakannya. Ada yang ingin menegakkannya melalui negara, karena itu target gerakannya mendirikan negara Islam. Ada juga yang ini ingin mengamalkannya secara ‘swasta’ tanpa campur tangan negara. Ceramah Islam dan khutbah jum’at sibuk sekali dengan isu halal-haram, elemen pokok syariah Islam. Khutbah Jum’at bulan-bulan kemarin didominasi oleh materi haramnya memilih pemimpin kafir. Bulan ini mulai diwarnai materi haram mengucapkan selamat Natal dan mengenakan atribut natal. Yang dikutip referensi-referensi hukum. Pelajaran akhlak Rasul kepada keluarga, sahabat, dan musuh-musuhnya atau orang yang secara sepihak memusuhi Nabi mulai ditinggakan di majelis-majelis ta’lim di mimbar-mimbar Jum’at. Yang menonjol adalah Islam dalam aspek jalaliyyah (keperkasaannya) bukan jamaliyyah (keindahannya). Jalaliyyah menjelma dalam fikih yang ditandai oleh kepastian hukum yang memaksa. Jamaliyyah menjelma dalam tasawuf yang lentur dan humanis. Adegan “Tangkap Ahok kafir!” adalah adegan jalaliyyah. Adegan Aiptu Sutisna yang dicium tanggannya oleh Dora Natalia yang minta maaf dan kemudian dimaafkan secara tulus adalah adegan jamaliyyah.

Saya heran, Islam sekarang banyak diobsesikan tampil dalam wajah jalaliyyah-nya, bukan jamaliyyahnya. Padahal, jika kita perhatikan asma’ul husna, 2/3 adalah asma’ jamaliyyah, selebihnya jalaliyyah. Maskot sifat Allah adalah asma jamaliyyah yaitu Rahman-Rahim. Ini dituangkan dalam doa pembuka setiap amal baik:

Bismillahirrahmanirrahim. Artinya, setiap perbuatan baik harus mengusung misi kasih-sayang, bukan murka dan jumawa. Jika kita perhatikan juga, Islam isinya bukan sekadar hukum yang mencerminkan aspek jalaliyyah. Hukum malah sebagian kecil. Dari 6666 ayat al-Qur’an, menurut catatan Abdul Wahhab Khallaf, hanya 500 ayat (8 persen) yang merupakan ayatul ahkam. Dari jumlah itu, hanya 228 ayat (3,5 persen) yang bicara hukum sosial kemasyarakatan. Selebihnya adalah aspek-aspek keimanan dan keislaman serta kisah-kisah yang muaranya adalah perbaikan dan penyempurnaan akhlak.

Penegakan hukum atau syariah Islam yang tidak bermuara pada penyempurnaan akhlak bukanlah bagian dari misi profetik Nabi. Karena itu, saya meragukan klaim penegakan syariah Islam tetapi tidak tercermin dalam akhlak pengusungnya, baik akhlak kepada Allah, akhlak kepada sesama, maupun akhlak kepada alam. Lebih baik majelis kegamaan kita dimulai dengan materi akhlak ketimbang syariah. Jika dimulai dengan syariah, Islam tidak akan berkembang di Tanah Jawa dan Nusantara. Wali Songo tidak memulai dakwah hukum dan fatwa halal-haram, tetapi dengan akhlak dan budaya. Hasilnya, Islamisasi Nusantara berlangsung sangat cepat dan nyaris tanpa cap darah. Bandingkan seandainya yang digunakan adalah pendekatan hukum atau syariah. Setiap hukum butuh instrumen pemaksa. Orang akan dipaksa, tanpa atau dengan kekerasan, untuk menjalankan dan mematuhi hukum. Pemaksaan mengandaikan kekerasan. Dengan pendekatan akhlak dan budaya, penduduk Nusantara menerima Islam dengan sukarela, tanpa pertumpahan darah. La ikraha fid din.

Mari kita nomorsatukan akhlak di atas hukum. Rasulullah tidak pernah bersabda: “innama bu’itstu li uqawwima syari’atal Islam” atau “li uqawwima daulatan Islamiyyah.” Sabda Nabi adalah…. “li utammima makarimal akhlaq.” Jika kita bicara syariah Islam tetapi perangai kita buruk, itu bukan hanya bertentangan misi Nabi tetapi justeru merusak Islam itu sendiri. Mari kita didik anak-anak dan umat dengan akhlak yang baik sebelum mengajari mereka berhukum halal dan haram.

*) Kholid Syeirozi, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU (ISNU)