Islam, masa gitu? (Bagian 2)

Islam, masa gitu? (Bagian 2)

Islam, masa gitu? (Bagian 2)

Begini loh, padahal kalau si Topel dan Jonru atau model umat Islam yang se-madzhab dengan kedua orang tersebut mau sedikiiiiit saja melihat ke belakang bagaimana Islam lahir, mestinya mereka akan malu bukan kepalang. Islam lahir sebagai agama yang hendak memperbaiki kondisi masyarakat saat itu. Islam lahir untuk memperbaiki relasi sosial yang sudah tidak seimbang. Islam lahir sebagai bandul yang menciptakan equilibrium oleh peradaban sosial-kekuasaan sudah rusak akut.

Islam lahir membawa misi utama untuk membebaskan umat manusia dari ketertindasan atas nama apapun. Golongan muslim yang mempraktekkan aqidah Tofeliyah wa Jonruniyyah harusnya belajar dong bagaimana di masa-masa awal kenabian, Muhammad mendapat pertentangan yang luar biasa oleh kaum kafir Quraish yang merasa eksistensinya terusik atas ajaran Islam yang membawa semangat pembebasan itu.

Apakah mereka tidak pernah belajar betapa Nabi sepanjang hidupnya melakukan ajaran-ajaran revolusioner yang mengubah tata-sosial peradaban masyarakat Arab yang jahiliyyah saat itu? Loh iya kan….Nabi Muhammad itu liberal kan. Penganut madzhab Tofeliyah wa Jonruniyyah pasti makin bingung. Ah, aku maklum, mereka bukan hanya kurang piknik, mereka juga kurang ngaji dan berinteraksi dengan kemiskinan atau masyarakat miskin.

Islam mendeklarasikan dirinya sebagai agama kasih bagi semua manusia (rahmatan lil ‘alamin), oleh golongan terakhir ini, seakan dibalik serratus depalan puluh derajat menjadi agama yang penuh kemarahan dan kebencian. Mereka tidak ngeh apa makna rahmatan lil ‘alamin itu. Mereka justru mempraktikkan keimanan yang sama sekali tidak diajarkan oleh Islam, yakni ekslusifitas yang luar biasa dalam mengekspresikan keislamannya sehingga kemudian menihilkan yang lain.

Dalam kasus Saeni, mereka secara fisik sedang beribadah puasa, tetapi lupa untuk berempati kepada wong cilik yang mungkin setiap hari merasakan kekurangan sebagaimana orang sedang berpuasa. Mereka secara fisik membaca ayat-ayat suci, tetapi sepertinya lupa merefleksikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di lingkungan terkecilnya.

Kita jangan sekali-kali tanya pada golongan ini kenapa harga bahan makanan melonjak tinggi dan tidak terbeli oleh orang miskin di bulan puasa. Kita tidak mungkin bertanya kepada penganut madzhab ini kenapa negeri yang agraris ini tidak ada yang bercita-cita jadi petani karena petaninya miskin dan semakin terpinggirkan. Jangan sekali-kali tanya kepada golongan ini kenapa untuk komoditas pangan yang mendasar saja kita harus impor, padahal petani kita rajin-rajin dan tanahnya subur sehingga kata Koes Plus tongkat-batu saja bias jadi tanaman.

Percayalah, mereka tidak akan ‘bunyi’ bila ditanya soal ginian. Saya tidak meremehkan kemampuan atau pengetahuan golongan ini. Bukan seperti itu. Tidak percaya? Saya ambil satu contoh saja ya.

Minggu lalu di saat dunia sedang gempar karena keputusan publik Inggris untuk keluar dari Uni Eropa atau dikenal dengan tagar #Brexit publik mulai menganalisa dengan serius apa kira-kira dampak #Brexit tersebut bagi dunia. Apa dampak #Brexit bagi imigran di masa mendatang. Apa dampak #Brexit bagi ekonomi Indonesia.

Golongan ini malahan membuat analisa yang sama sekali tidak bermutu dan bagi saya menghinakan Islam yang mereka bangga-banggakan itu! Mereka membuat analisa dengan peta Eropa di mana #Brexit dianggap sebagai orang yang sedang bersujud dan kemudian dianggap bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan berdampak ditaklukkannya Uni Eropa oleh Islam. Stupid banget engga sih?

Di saat yang sama mereka lupa bahwa gelombang migrasi dunia saat ini didominasi oleh umat Islam akibat konflik berkepanjangan yang menyebar di Timur Tengah. Boro-boro mereka tahu bahwa salah satu motivasi Inggris keluar dari Uni Eropa itu adalah untuk membendung gelombang datangnya imigran ke Inggris karena selama ini Uni Eropa termasuk yang paling permisif dan akomodatif terhadap imigran dan pencari suaka.

Kesimpulannya, wahai umat Islam penganut aqidah Tofeliyyah wa Jonruniyyah, janganlah sekali-kali kau pelihara kebodohanmu itu dalam inferioritas iman yang sempit. Beragama kok minder itu lho. Kalian mbok sekali-kali merenungkan sabda Rasulullah “man yuridillahu bihi khairan yufaqqihhu fid dien.” Mohon terjemahin sendiri. Semoga hari-hari terakhir bulan puasa ini mengilhami kita semua untuk semakin baik.

Penulis Irham Ali Saifuddin, Seorang pejalan kaki, resah terhadap muslim yang inferior dan “minder iman”. Facebook: Ali fet Ai