Kalimat tauhid “Laa Ilaaha Illa allah” adalah kalimat suci yang tidak akan dipungkiri oleh siapapun dari kalangan muslimin. Bahkan terdapat berapa banyak hadist yang menjelaskan bagaimana “Seseorang yang mengucapkan la ilaha Illa allah, maka haram atasnya untuk dimasukkan ke dalam neraka jika ia mengucapkannya ikhlas karena Allah.” [HR. Bukhori].
Terlalu banyak hadist jika ingin menguraikan keutamaannya. Namun yang cukup menghebohkan adalah ulah beberapa oknum Ormas tertentu yang sengaja membakar bendera laa ilaaha Illa allah di tengah keramainan jamaah yang sedang memeriahkan Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober 2018. Sehingga serangan berupa kutukan, laknat, dan kecaman pun tidak terhindarkan lagi. Terlebih sebagian orang yang mengait-ngaitkannya dengan keimanan, dan tuduhan atas hilangnya rasa kecemburuan Islam di dalam hati jika tidak bersikap seperti mereka yang mengutuk pembakaran bendera tersebut.
Apakah Islam hanya sekedar simbol? Dan jika simbol itu diberantas maka apakah hilang nilai-nilai Iman dan Islam di dalam hati seseorang?.
Penulis teringat dengan Perang Uhud, di mana ketika Rasulullah saw diserang oleh sekawanan musyrikin yang dapat menerobos pertahanan muslimin yang khusus mengamankan Rasulullah saw di atas sebuah bukit; karena mereka tidak menuruti perintah Rasulullah saw untuk tidak turun dari posisi mereka dalam kondisi apapun. Dan ternyata kondisi perang belum selesai, setelah mereka turun untuk mengambil rampasan perang, ternyata Kholid bin Walid -dan belum masuk Islam pada waktu itu- bersama pasukannya dari arah belakang menyerang balik pasukan pemanah yang turun dari bukit dan berhasil menyerang Rasulullah saw.
Maka, muncullah berita HOAX bahwa Rasulullah saw terbunuh. Namun yang perlu dicermati, Bagaimana kondisi umat Islam ketika mendengar berita bahwa Rasulullah saw terbunuh? apakah agama mereka luntur dan keislaman mereka hilang dengan hilangnya Rasulullah? Tidak.
Justru keimanan para sahabat masih dengan kekuatannya, tidak kembali kepada kekufuran. Karena nilai-nilai keislaman diukur dari keimanan, bukan simbol. Allah menjadikan Rasulullah sebagai contoh pembelajaran bagi para sahabat, dan mencoba keimanan mereka dengan munculnya berita kewafatan Rasulullah saw. Dan ternyata mereka masih berada dalam keimanan, tidak kembali kepada kekufuran atau kemurtadan. Itu merupakan contoh real bahwa agama Islam bukanlah agama simbol, tetapi agama keimanan dan keyakinan.
Meskipun simbol sudah tiada, maka iman tidak akan hilang. Jangankan hanya sekedar bendera laa ilaaha illa allah yang dibakar, sesosok nabi Muhammad saw jika meninggal, hal itu tidak akan mengubah agama ini. Karena berita terbunuhnya Nabi Muhammad itu merupakan ujian agar keimanan muslimin menjadi stabil dan sebagai persiapan jika Rasulullah saw benar-benar meninggal, agar keimanan mereka tidak goyang. [Dr. Muh. Said Romadhon Al Buthi, Fiqih Siroh, hlm 181-182]. Allah swt berfirman:
{وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (144)} [آل عمران: 144]
“Tidaklah Muhammad itu kecuali seorang rasul yang telah yang telah didahului oleh rasul-rasul terdahulu, jika ia mati atau terbunuh apakah kalian akan membalikkan punggung kalian (kembali dalam kekafiran)? Tidaklah hal itu membahayakan Allah sedikitpun, dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur” [Qs: Ali Imron 144].
Sehingga, Islam lebih mendahulukan nilai-nilai keyakinan dan keimanan dari pada hanya sekedar simbol-simbol, apalagi hanya pembakaran bendera. Hal itu tidak akan mempengaruhi keimanan, dan tidak menggoyangkannya sedikitpun.
Jangankan bendera, Sayyidina Utsman membakar mushaf dan tidak ada yang mengingkarinya. [Imam Badruddin Al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulu,il Qur’an, 1/240]. Apakah ada yang lebih mulia dari Al Qur’an –selain Rasulullah saw-? Dan ternyata dia dibakar tanpa ada kritik, pengingkaran, apalagi hujatan kepada Sayyidina Utsman.
Maka dalam menyikapi masalah pembakaran bendera tauhid, kenapa harus diributkan? Dan mengapa sebagian menyudutkan ormas tertentu, apalagi tanpa adanya klarifikasi siapakah pelakunya? Latar belakangnya? Keanggotaannya dalam ormas tersebut? Dst. Karena saat ini ada saat-saat di mana kondisi politik mulai memanas.
Segala isu dapat diviralkan, untuk memojokkan kelompok tertentu. Bisa saja itu adalah ulah pihak ketiga yang sengaja membenturkan dua kubu. Dan kemungkinan tersebut masih ada. Lebih-lebih jika terdapat klaim bahwa itu adalah bendera/liwa’/royah Rasulullah. Padahal sudah jelas status hadistnya menurut penilaian pakar hadist, yang di antaranya adalah Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqollani, dan lainnya. Sehingga, bendera hitam yang bertuliskan laa ilaaha Illa allah tidak dapat diakui sebagai bendera Rasulullah saw.
Dan sekali lagi penulis ingatkan bahwa simbol dalam Islam tidak menjadi prioritas, tetapi yang menjadi prioritas adalah makna kalimat tauhid yang terdapat di dalam dada.
Imam Harist Al Muhasibi (w. 243 H), seorang ulama ‘arifin yang menguasai ilmu dhohir dan bathin, serta memiliki produktifitas yang besar dalam menulis. Beliau menyatakan bahwa sahnya keyakinan seseorang terdapat dalam tiga hal: “Tenangnya hati untuk percaya sepenuhnya kepada Allah, tunduk kepada perintah-Nya, merasa kasihan serta khawatir dengan ketentuan Allah yang terdahulu.” [Imam Harits Al Muhasibi, Risalatul Mustarsyidin, hlm 175]. Dan untuk mengaplikasika hal ini tentu bukan perkara tidak mudah. Tetapi minimal kita berupaya untuk memupuk nilai-nilai ketauhidan dalam diri kita, dan tidak terkecoh dengan isu-isu yang sedang booming. Tentunya kaum ‘arifin ialah golongan yang ketauhidannya sangat tinggi dan sulit dicapai oleh selain golongan mereka. Hal itu tidak mudah bukan. Jadi, pembakaran bendera tauhid tidak menggoyahkan iman bukan?