Agama sekarang ini berada pada posisi “bermanfaat” dan “dimanfaatkan”. Agama dimanfaatkan ketika suatu kelompok tertentu bertindak, berbuat, dan berdalih atas nama agama demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selanjutnya agama bermanfaat ketika agama benar-benar difungsikan sesuai esensi dan nilai-nilai agama itu sendiri, sebagai sistem pengajaran yang mendidik, sistem sosial yang menyejahterakan, dan sebagai ajakan yang menentramkan. islam internet
Namun, kedua posisi itu tidak bisa dielakkan dalam situasi dan dinamika yang terus berkembang. Memang, agama tidak berubah, tetapi agama dianut oleh masyarakat baik secara menyeluruh maupun individu dalam gerak sejarahnya mengalami perubahan. Apalagi perubahan itu dibarengi pula dengan perkembangan teknologi tanpa batas. Pasti akan melahirkan jenis dan model pergerakan agama yang berbeda-beda, salah satunya adalah “Islam internet”.
Kehadiran “Islam internet” mengisyaratkan, model keislaman di Indonesia telah mengalami perubahan, ada “wilayah baru pengetahuan Islam”. Banyak pilihan “makanan” keislaman yang ditawarkan. Namun, menu-menu tersebut sebagian belum melahirkan karakter pemikiran Islam yang produktif.
Jika kita tengok dekade sebelumnya, pertentangan yang muncul dalam wacana keislaman Indonesia memperlihatkan model keislaman transformatif. Proses yang ditawarkan tidak hanya mengajak umat Islam untuk melawan keburukan, juga mengajak umat berpikir lebih dalam tentang pemikiran Islam.
Kita tentu ingat bagaimana Gus Dur menawarkan “Pribumisasi Islam”, Munawir Sadzali dengan “Reaktulisasi/Kontekstualisasi Islam”, Jalaludin Rahmat dengan “Islam Alternatif/Islam Aktual”, Kuntowijoyo dengan “Paradigma Islam/Pengilmuan Islam”, Cak Nur dengan “Islam Inklusif”, Quraish Shihab dengan “Membumikan Alquran”, dan banyak lainnya.
Wacana-wacana akademik tersebut saat ini jarang kita temui. Produktifitas para pemikir Islam di Indonesia seperti lahan kering tak bertuan. Apakah demikian? Tidak, gagasan-gagasan pemikiran keislaman masih bergelimang di Indonesia, hanya saja suaranya nyaris tak terdengar. Kita bisa menyebut beberapa tokoh yang masih concern dalam pengembangan pemikiran Islam di Indonesia, seperti: Syafi’i Ma’arif, Haidar Bagir, Azyumardi Azra, Nadirsyah Hosen, Ulil Abshar Abdalla, Husein Muhammad, dan lainnya.
Namun, ada sebuah ganjalan, kenapa hiruk-pikuk yang muncul sekarang ini seperti tidak menandakan kemajuan berpikir, dan model keislaman yang nampak tidak cukup luwes memahami agama dan cenderung abu-abu?
Di sini masalahnya, “Islam internet” yang mondok di Pesantren Sosmediyah dan Youtubiyah memiliki pola berbeda dalam menggali pengetahuan agama. Begitupun model pendalaman ilmu agama, terjadi pergeseran yang cukup kental. Generasi sekarang yang tidak mengenyam tembok pesantren (pendidikan tradisional ala Indonesia) menikmati berbagai macam pengetahuan keislaman secara spontan dan instan. Mereka tidak melalui tahapan pembelajaran yang sistematis.
Padahal, untuk memahami Islam secara menyuluruh harus melalui proses mendalam. Babak baru “Islam internet” ini mau tidak mau merubah pola pemahaman keislaman umat yang mempunyai spirit agama luar biasa namun kering dalam modal pemahaman keagamaan. Artinya, untuk memahami substansi ajaran Islam tidak cukup hanya berguru di internet saja dan tidak cukup hanya mendengarkan ustaz A dan ustaz B saja.
Karena itu, otoritas keagamaan menjadi variatif. Menjamurnya pendakwah-pendakwah baru sedikit banyak membawa problem bagi pemahaman ajaran Islam. Efeknya, banyak terlahir otoritas baru dan hidup dalam kultur baru, dengan tanpa kelamin ideologis.
Fenomena kemunculan Sugi Nur dan Maher Thuwailibi bagi saya cukup mencederai nilai-nilai keilmuan Islam, apalagi mereka dianggap sebagai tokoh agama yang perkataannya didengarkan umat. Model dakwah yang disebarkan cenderung kurang menyejukkan dan kurang mendidik bagi kebanyakan orang. Narasi-narasi yang dibangunpun hanya narasi kebencian dan kering pengetahuan keislaman. Inilah model otoritas baru yang cukup mengkhawatirkan bagi kedewasaan umat dalam berpikir mengenai ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Melihat hal tersebut, otoritas keagamaan tidak lagi terpaku pada tokoh yang memiliki kecakakapan pengetahuan Islam mumpuni. Melainkan melalui pilihan masing-masing selera umat. Selera tersebut diukur dari berbagai macam jenis, yang paling menonjol adalah selera politik.
Tidak hanya itu, “Islam internet” pun melahirkan fenomena cocokologi dalam menafsirkan teks-teks suci, teks-teks suci ditarik paksa untuk memenuhi dahaga pembenaran. Anda bisa melihat banyak contoh di sistem pencarian internet Anda.
Dari berbagai peristiwa tersebut, “Islam internet” mengarahkan kita pada suatu masa “habis terang terbitlah gelap”. Inilah era di mana pendakwah virtual menjadi lokus pembiakan agenda keislaman. Gagasan-gagasan mereka terlalu gagap untuk diwacanakan. Berbeda dengan Gagasan-gagasan keislaman yang diusung para cendekiawan muslim terdahulu walaupun sekarang kurang diminati.
Agenda intelektual para cendekiawan memiliki pengaruh utama dalam membangaun kecerdasan umat, khususnya sebagai ikhtiar membangun masyarakat madani. Dan ini yang harus kita kembalikan.
Tapi, sekeras apapun kritik yang kita ajukan dan pertentangan yang kita suarakan, tetap saja komunitas “Islam internet” akan terus bertumbuh dan menggelinding menghiasi ruang publik kita di periode-periode ke depan. Yang harus kita lakukan adalah, meminimalisir kerja-kerja negatif dari “Islam internet” ini untuk menggeser fokus umat pada wacana-wacana yang lebih bermutu, agar tradisi berpikir/keilmuan yang diusung para cendekiawan muslim terdahulu menjadi sajian utama kembali.
Dengan demikian, salah satu cara untuk menghalau kesalahpahaman kita mengenai “Islam internet”, kita harus membiasakan kembali membaca. Membaca berbagai macam literatur pengetahuan, dari mulai sumber yang klasik hingga modern. Karena kebiasaan sebagian dari kita ada yang menutup diri dari pandangan pengetahuan lain. Dianggapnya, pandangan-pandangan yang tidak sesuai dengan seleranya dianggap salah.
Pada pijakan ini, para pemikir menekankan sumber pengetahuan yang kredibel merupakan acuan penting sebagai perspektif universal dari sebuah sudut pandang ideal dan kompleks dalam memahami agama khususnya dinamika yang berkembang.
Munculnya “Islam internet” dengan berbagai variannya, membutuhkan filter pengetahuan yang mumpuni. Walaupun tidak bisa dipukulrata semua yang muncul dari “Islam internet” itu salah. Cuma, usaha ini bisa menjadi penyaring ideal bagi kemungkinan salah kaprah yang datang dari “Islam internet”, yang acapkali menganut paham “cocokologi”.
Islam dan dinamika harus dimaknai sebagai proses mencari bentuk oprasional agama yang sesuai untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, walaupun dengan corak dan karakter pemikiran yang berbeda. Namun, tetap dilandasi dengan pijakan-pijakan data, refrensi yang ilmiah—tanpa gegabah mengambil kesimpulan apalagi tindakan.
Itu yang harus disemarakkan. Jika “Islam internet” adalah keniscayaan, maka siapapun yang peduli atas kualitas umat dan bangsa (tidak hanya diam) melainkan ikut ambil bagian dalam menetralisir wacana-wacana kaku. Agar “Islam internet” menjadi personifikasi Islam yang melahirkan gagasan keislaman mendidik, mencerahkan, menyadarkan, membahagiakan, dan menentramkan.
Wallahu a’lam.