Islam Indonesia dan Demokrasi

Islam Indonesia dan Demokrasi

Islam Indonesia dan Demokrasi

:id]Pertautan antara Islam dan demokrasi telah menjadi perhatian sarjana Barat sejak lama. Keduanya dianggap mewakili simbol peradaban yang sama sekali berbeda, secara norma, akar dan tradisi. Banyak pandangan sarjana Barat yang skeptis dalam melihat kesesuaian antara demokrasi dan Islam, seperti Fukuyama (1992), Huntington (1997), Lipset (1994), Lewis (2002). Namun demikian, ada juga beberapa sarjana yang justru sependapat bahwa terdapat kesamaan dan kesesuaian yang inheren antara Islam dan demokrasi secara fundamental, seperti Price (1999), Sachedina (2000), Khatab dan Bouma (2007), Hefner (2005).

Kompatibilitas Islam dan Demokrasi

Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Pileg 1999, Pileg dan Pilpres 2004, 2009 dan 2016 secara damai merupakan tesis kuat bahwa terdapat kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Hal ini karena kaum Muslim menjadi partisipan aktif dalam proses politik demokrasi termasuk melalui parpol-parpol Islam dan parpol non-Islamic oriented. Sebagai negara-bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa tidak ada masalah antara Islam dan demokrasi, keduanya bisa berjalan secara beriringan.

Tidak heran kalau pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia menjadi titik perhatian banyak sarjana dan peneliti dari berbagai penjuru dunia. Hal ini karena berbagai penelitian dan survei tentang demokrasi di dunia Islam umumnya menyimpulkan bahwa terdapat defisit demokrasi (democracy deficit) di banyak negara Muslim. Sedangkan di Indonesia, relatif tidak terjadi defisit demokrasi. Memang awalnya terlihat tanda-tanda yang kurang meyakinkan bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia yang menunjukkan gejala too much democracy. Namun hanya dalam waktu sekitar satu dasawarsa, konsolidasi dan pendalaman demokrasi terus berlanjut di Indonesia.

Harus diakui, tidak mudah mengembangkan demokrasi di dunia Muslim. Setiap negara mempunyai tantangan dan masalah yang dihadapi. Beberapa faktor karena kondisi ekonomi yang lemah, pendidikan yang terbelakang, serta kelemahan dalam modal-modal sosial lainnya. Lebih jauh, belum ada model ideal demokrasi di negara Muslim. Yang pernah sering disebut adalah Turki, namun negara ini menganut demokrasi sekuler yang cenderung bermusuhan (hostile) terhadap agama.

Berbeda dengan Turki, demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang tidak bermusuhan dengan agama, karena sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun pada saat yang sama, Indonesia bukanlah negara agama, atau negara Islam. Bahkan Islam tidak menjadi agama resmi negara meski penganut Islam merupakan mayoritas terbesar. Oleh karena itu, Indonesia sejak masa reformasi, khususnya setelah berhasil melakukan transisi secara damai dari otoritarianisme ke demokrasi semakin sering disebut sebagai model.

Beberapa Faktor

Pertanyaannya adalah mengapa Indonesia menjadi contoh terbaik transisi demokrasi dibandingkan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim? Untuk menjawab pertanyaan ini maka bisa dilihat dengan beberapa faktor. Pertama, Indonesia mempunyai falsafah/dasar negara berupa Pancasila, sehingga memungkinkan prinsip-prinsip demokrasi dapat dijadikan sebagai konsensus bagi berbagai arus ideologi politik, keragaman agama dan suku di negeri ini. Para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai pondasi bagi prosedur demokrasi yang meniscayakan kompetisi, pergulatan, dan perdebatan.

Kedua, semboyan bernegara “Bhineka Tunggal Ika” sebagai kekuatan untuk merajut kebhinekaan dalam bingkai kebangsaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, kebhinekaan telah menjadi potret yang menonjol dari negeri ini. Menurut J.S. Furnival, saat orang-orang Eropa sedang menghadapi berbagai macam persoalan dengan kebhinekaan, terutama pada tahun 30-an dan 40-an, Indonesia telah menjelma sebagai bangsa yang mampu menerima kebhinekaan, hal ini ditandai dengan disepakatinya Pancasila sebagai common platform.

Ketiga, kultur demokrasi dan kearifan lokal turut mendorong transisi demokrasi. Kultur gotong-royong dan kolektivisme yang mendarah-daging dalam landskap sosial-politik telah memungkinkan demokrasi tidak menjadi ajang zero sume game. Demokrasi pada hakikatnya kemampuan untuk mewujudkan keseimbangan dan kontrol di antara berbagai pusat-pusat kekuasaan, baik ekonomi, politik maupun hukum. Maka dari itu, Muhammad Hatta menegaskan bahwa demokrasi Indonesia mempunyai akar yang kuat di dalam tradisi kolektivisme, ajaran keislaman yang menegaskan pentingnya keadilan, dan sosialisme yang mendorong tumbuhnya kebangsaan yang berperikemanusiaan.

Keempat, kelompok masyarakat sipil yang turut membangun tradisi demokrasi dan keadaban publik, serta berpendirian, serta berpendirian sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap negara. Robert W. Hefner menyebut kekuatan ini sebagai “Civil Islam”, karena sebagai kekuatan masyarakat sipil mereka menganggap kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi tidak hanya milik Barat, melainkan juga bagian dari prinsip-prinsip yang ditegaskan di dalam Islam. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi dua organisasi keislaman terbesar yang memainkan peran-peran masyarakat sipil, yang secara vertikal melakukan kontrol terhadap negara, di samping melakukan pemberdayaan masyarakat secara horizontal. Peran-peran ini sangat membantu dalam transisi demokrasi. []

Ahmad Hifni  adalah mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID<