Apakah kiranya di tengah di tengah ketegangan antar umat agama atau intra agama kita membutuhkan humor? Ya, ternyata, kita membutuhkannya meskipun secuil humor? ya, secuil saja. Sebab humor mampu melampaui batas normal. Mampu menyelinap ke ruang-ruang terlarang sehingga mampu melahirkan literatur baru yang lebih luas dan segar.
Melalui humor, akibatnya kita tak kaku dan mampu memandang siapapun sebagai orang yang akan terus kita gembirakan. Sebab para pelaku humor tak lain selalu menggali tiap realitas, diramu lalu dilahirkan canda, tawa–kegembiraan. Maka bagi saya, selain cara-cara yang lain, humor ini lah lawan termapuh utuk meminimalisir para eksploitator agama. Yang implikasinya cenderung memberhalakan simbol-simbol. Baik simbol-simbol yang aktif (nyata) mapun pasif (maya).
Desember merupakan bulan di mana kodisi publik akan mulai sampai pada puncaknya disaat para tokoh, bahkan yang bukan tokoh sekalipun akan banyak berkomentar seolah menjadi dai’, publik figur, mufti. Sebab Desember diisi dengan momen-momen yang bagi saya akan banyak mengundang para “komentator” dadakan. Soal Natal, misal–momen besar kaum kristiani ini bakalan heboh, sebetulnya hal sederhana yang tidak begitu perlu dibesar-besarkan dan biasa saja. Tapi entahlah.
Namun juga perlu dicatat, Desember juga merupakan “Bulan Gus Dur” (bulan di mana Gus Dur Wafat). Lalu apa hubungannya peringatan Natal dengan Bulan Gus Dur?
Ada humor segar dalam perbincangan singkat antara Rocky Gerung dan Gus Dur. “Gus Dur selalu mengucapkan ‘Selamat Natal’ pada saya, tapi saya katakan kepada Gus Dur bahwa saya tidak serius dalam beragama,” cerita Rocky Gerung.
Tak cukup disitu, pernyataan Rocky Gerung justru direspon singkat pula oleh Gus Dur, “Saya juga tidak serius mengucapkan selamat.”
Gus Dur santai. Saya haqqul yakin keduanya lalu tertawa terpingkal-pingkal (meski keyakinan saya ini tidak saya dapati dalam cerita singkat ini). Tapi sudahlah. Sebab begitulah sosok Gus Dur. Selalu meramu apapun hingga melahirkan jok-jok yang ringan tapi berkualitas.
Kiranya humor singkat ini meninggalkan pesan kuat bagi kita semua bahwa, mempermudah itu perlu diutamakan dari mempersulit. Meringankan perlu didahulukan dari memberatkan. Pun menjelaskan bagi kita bahwa lebel itu tidak begitu penting. Sehingga stabilitas hidup mampu berjalan sebagimana mestinya.–penuh kedamaian dan kerianggembiraan. Sebab ini sebetulnya esensi keberagamaan.
Namun tak itu saja, sikap raksioner dalam menyikapi apapun, hari ini sangat mudah kita jumpai. Iyakah ini jelas merupakan distruption effect? Yang jelas, sebanarnya sudah sangat banyak sekali literatur yang mengajarkan kepada kita semua untuk bagaimana menyikapi realitas dari berbagai sudut padang. Sebab fakta hari ini, sulit membedakan antara kritik dan bully? Sekali lagi, semua terlelak pada sudut pandang.
Baik sudut pandang pengkritik dan yang dikritik, maupun para komentator yang justru ikut-ikutan memposisikan diri diantara keduanya. Oleh sebabnya, peta (asumsi) harus selaras dengan realita. Dalam khazanah pesantren, biasa dikenal dengan istilah tabayyun.–fas aluu ahladdzikro in kuntum laa ta’lamun.
Pun objektivitas problem perlu diramu untuk bagaimana tak menyakiti siapapun. Sehingga keberadaan islah–damai akan hadir dan dalam kesempatan apapun akan kuat sebab dipraktekkan dan diasakan.
Maka memahami konsep “khilafu ummati rahmatun” menjadi sangat penting. Penting untuk memposisikan esensi makna dari sabda suci ini. Bahwa perbedaan itu rahmah–harus berimplikasi pada kasih sayang. Sebab yang dilarang bukan perbedaan, tapi perpecahan. Jika titik esensi yang kita kedepankan, maka nilai-nilai kemanusiaan–bahwa kita sama-sama berhak untuk hidup dan menghidupi, aman mengamankan, saling menghargai, akan terus terpupuk sebagaimana warisan dari sifat-sifat ketuhanan yang dibawa kanjeng nabi.–Anittum harisnu ‘alaikum bilmukminiina roufurrahim.
Dalam hal ini, maka beragamalah secara gembira. Melalui kekuatan humor lah tiap apapun akan cair. Sekat-sekat, kelas-kelas, akan terposisikan sama. Semua akan menyatu dalam kegembiraan. Sebab esensi hidup tak lain adalah mengambalikan realitas pada diri sendiri. ‘Akibat’ lahir dari ‘sebab-sebab’ yang kita upayakan–yang kita lakukan. Maka sikap mengendalikan diri untuk meletakkan pada posisi ‘sama rata, sama rasa’ jauh lebih penting dari sekedar terus-terusan mendiskursuskan atau bahkan memperumit realitas.
Pun melatih diri agar tak membiasakan melihat siapapun dari segi negatifnya, ini yang harusnya kita latih sedini mungkin. Agar apapun tetap mengali, sejuk, dengan ritme yang selayaknya. Tak mudah reaksioner, sadar diri terhadap bidang kita dengan tak gampang mengomentari apapun, dan konsisten dengan apa yang menjadi esensi berkehidupan.
Pada akhirnya kita sadar, bahwa kebesaran apapun tak lain adalah elaborasi dan kerjasama dari sekian macam perbedaan, bukan?