Islam di Taiwan: Kebebasan Beragama, Demokrasi, dan Politik Global

Islam di Taiwan: Kebebasan Beragama, Demokrasi, dan Politik Global

Arah Islam di Taiwan, sedikit banyak ditentukan oleh kehidupan komunitas muslim migran yang terus berkembang

Islam di Taiwan: Kebebasan Beragama, Demokrasi, dan Politik Global

Dosen saya di Indonesia datang berkunjung ke Taiwan. Kami berkeliling beberapa tempat di Taipei, dan sebagai penutup hari, kami mampir ke Masjid Agung Taipei di daerah Daan, Taipei City. Tidak jauh dari sana, ada kedai yang menjajakan makanan Indonesia. Namanya Royal Indonesian Food.

Kami masuk, dan berjajar di etalase macam-macam barang khas Indonesia: kerupuk, sambal, bawang goreng, dan bumbu-bumbuan. Menu makanannya pun lumrahnya warung Indonesia. Ada gado-gado, bakso, soto, nasi goreng, dan beberapa lainnya. Musik latarnya dangdut koplo yang dinyanyikan Yeni Inka. Di dindingnya, terpampang besar-besar tulisan “Halal” menggunakan kaligrafi Arab, dengan logo dari Chinese Muslim Association (CMA).

Kami berdua memesan bakso, dan ndilalahnya, tidak mengecewakan. Rasanya seperti yang ada di Indonesia. Selain kami, ada dua orang perempuan pekerja migran yang sedang bersantai setelah makan, dan seorang pria warga lokal berbahasa Mandarin. Pria itu, memesan kare ayam dan nasi.

Ini hal lumrah saja di Taiwan. Banyak warung makan Indonesia yang sudah tersertifikasi halal oleh lembaga muslim setempat, dan ia menjadi tempat berjumpanya diaspora Indonesia dan kalangan muslim di Pulau Formosa ini. Mungkin bisa menjadi pertanyaan, bagaimana relasi Islam, masyarakat muslim dan Taiwan selama ini dibentuk?

Asal-Usul Muslim Taiwan

Berdasarkan data, tak kurang dari sekitar 250.000 muslim mendiami Taiwan, kira-kira 1 persen dari total populasi. Kebanyakan kalangan muslim ini adalah pekerja dan mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, atau Asia Selatan.

Dalam esainya Islam in Taiwan: The Unlikely Story of Important Global Partnership, Kelly Anne Hammond mencatat bagaimana relasi Islam dan Taiwan tak lepas dari beragam dinamika politik, dan memiliki rentetan kisah yang panjang bahkan sejak era Dinasti Qing di akhir abad ke-17, saat para pedagang dan pelancong muslim mulai banyak menetap di Cina mainland, dan juga mulai menyebar ke Taiwan.

Setelah era revolusi Cina, perang dunia kedua, dan berlanjut pada perang sipil Cina antara kubu nasionalis partai Kuo Min Tang (KMT) yang dipimpin Chiang Kai Sek dan partai komunis Cina, dukungan masyarakat muslim Cina juga terbagi. KMT sebagai kubu nasionalis anti-komunisme, turut mengembangkan CMA (Chinese Muslim Association) – yang selanjutnya mengikuti Chiang Kai Sek ke Taiwan, setelah kemenangan Partai Komunis Cina di Cina mainland/“daratan”.

Di Taiwan, komunitas CMA bergerak untuk mendirikan masjid, sebagai ruang ekspresi keagamaan dan bentuk dukungan pemerintah Taiwan untuk kebebasan beragama secara luas. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Agung Taipei, tepat di samping kedai Royal Indonesian tempat kami makan di awal cerita.

Mulanya, representasi “Cina” di PBB adalah Republic of China atau Taiwan. Namun sejak 1971, representasi itu berpindah ke Republik Rakyat Cina yang terletak di “daratan”. Hal ini juga membentuk bagaimana relasi negara-negara di dunia terhadap Taiwan.

Hari ini, lewat kebijakan “Satu Cina”/One China Policy, banyak negara mendaulat Republik Rakyat Cina sebagai representasi Cina, dan mulai memutus hubungan diplomatiknya dengan Taiwan. Saat ini, kedaulatan Taiwan hanya diakui oleh 12 negara di dunia, dan negara-negara inilah yang masih memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan.

Terlepas dari dinamika geopolitik tersebut, di akhir dekade 80-an dan awal 90-an, Taiwan mengalami lonjakan ekonomi luar biasa yang dinamai era “The Taiwan Miracle” atau keajaiban ekonomi Taiwan, di mana Taiwan menjadi salah satu dari “Macan Asia”, dan banyak imigran datang untuk bekerja di sana, tak terkecuali, dari kalangan warga muslim.

Di saat Republik Rakyat Cina melakukan revolusi kebudayaan yang dipimpin Mao Zedong, muslim setempat disebutkan mengalami banyak represi. Tekanan tersebut berlangsung sebagai usaha penguatan pengaruh politik Republik Rakyat Cina. Meski sudah mengalami banyak penyesuaian seiring sejarah, beberapa tahun lalu masih ada represi oleh negara, seperti yang dialami kalangan Uyghur di Xinjiang.

Sebagaimana dicatat oleh Kelly Hammond, Taiwan mengambil sikap yang berbeda dengan Republik Rakyat Cina secara politik terhadap komunitas muslim – dan hal ini juga bagian dari bagaimana mereka “membedakan diri” dengan Republik Rakyat Cina.

Taiwan dan Masyarakat Ramah Muslim

Pada tahun 2019, presiden Taiwan Tsai Ing-wen, menyampaikan bahwa Taiwan berusaha menjadi Muslim-friendly society, dalam hal turisme, perdagangan, budaya, dan lainnya. Memelihara kerukunan antara muslim dan non-muslim di Taiwan menjadi salah satu agenda penting pemerintahannya.

Pernyataan tersebut lahir dalam konteks ketika Tsai Ing-wen sedang menjumpai jamaah haji “embarkasi” Taiwan. Selain itu, pernyataan presiden perempuan pertama Taiwan itu dalam konteks kebijakan New Southbond Policy yang digagasnya. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama regional Taiwan dalam hal ekonomi dan perdagangan, sumber daya manusia, serta budaya dan konektivitas antar negara dengan negara-negara yang berada “di selatan” Taiwan, meliputi sebagian Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan sebagian negara Pasifik.

Di Taiwan, mudah dijumpai perempuan berkerudung di pasar atau tempat-tempat publik lain. Atau di waktu Jumatan, daerah sekitar Daan Park menuju Masjid Agung Taipei akan dilalui banyak masyarakat muslim Indonesia maupun India, Pakistan, dan lainnya. Seusai Jumatan, biasanya ada bagi-bagi makanan, yang cukup sering adalah bubur kari a la India. Pedagang daging halal juga menjajakan produk mereka di waktu Jumat siang ini.

Restoran dan kedai halal, jika dicari lewat Google Maps misalnya, meskipun jumlahnya tidak sangat banyak, namun jaraknya relatif masih bisa dijangkau. Untuk sertifikasi halal kedai dan restoran, CMA menjadi salah satu mitra pemerintah Taiwan dalam hal tersebut.

Terkhusus komunitas Indonesia, mereka biasa mengadakan pengajian Umum atau “Tabligh Akbar”, dan mengundang mubaligh populer Indonesia. Terakhir, masyarakat Indonesia di daerah Yuanlin mengundang Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, pimpinan Majelis Al Fachriyah, Jakarta. Begitupun dalam pernikahan, mereka yang muslim dibimbing oleh Pengurus Cabang Istimewa NU dan Muhammadiyah setempat, bahkan diadakan even nikah massal. Bisa dibilang: muslim Indonesia di Taiwan tidak “pedhot oyot” atau lepas dari asal-usul mereka.

Arah Islam di Taiwan, sedikit banyak ditentukan oleh kehidupan komunitas muslim migran yang terus berkembang ini. Islam di Taiwan menjadi bagian dari diakuinya ekspresi kebebasan beragama dan demokrasi, serta bagian dari usaha politik di tengah masyarakat Internasional, khususnya di kalangan negara-negara mayoritas muslim.