Bawean, atau Bebhien, adalah sebuah pulau kecil yang berada di antara Pulau Jawa dan Kalimantan. Bagaimana tidak kecil, jika diameter pulaunya hanya kurang lebih 12 km saja dan keliling +50 km. Topografinya dipenuhi dengan gunung dan perbukitan. Di tengahnya, di atas gunung terdapat sebuah danau, yang dikenal sebagai Danau Kastoba. Konon danau ini dulunya adalah sebuah kawah. Mirip dengan banyak gunung berapi lainnya, yang kawahnya tertutup oleh air membentuk sebuah danau kecil.
Berdasar hasil penelusuran struktur geologis tanah dan analisa terhadap sedimentasi batuan, memang ada bukti sejarah bahwa dulunya gunung dengan danau kastoba itu adalah gunung yang aktif. Namun, kini, gunung itu sudah tidak lagi menunjukkan aktifitasnya, menyisakan keindahan alam sejauh mata memandang. Bagaimana tidak? Dari atas gunung, nampak seluruh pelosok Bawean dari berbagai penjuru. Apalagi bila matahari terbit, bagaikan emas yang memancar kemilauan. Muncul dari sela ombak yang datang menerjang, di kejauhan.
Kokok ayam jantan turun dari kandangnya, mengais memanggil sang induk dan anaknya. Para nelayan pulang membawa hasil tangkapan ikan. Kapal-kapal merapat dan berjajar di tepi pantai, bagaikan perahu-perahu kertas di atas air yang biru, dipandang dari puncak ketinggian, gunung dengan Danau Kastoba-nya.
Saat pagi menjelang, berbagai alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sayup-sayup terdengar dari surau dan masjid-masjid di seantero wilayahnya. Para santri mendaras pelajaran, disimak oleh para Kyai dan para ustadz. Pulau santri, kiranya yang pas tuk disematkan, pada setangkup tanah di tengah luasnya Laut Jawa ini.
Burung-burung pergi meninggalkan sarang mencari makanan. Sambil hinggap di dahan dan ranting, berkicauan, menambah syahdu suasana alam. Bawean, bagaikan negeri surga yang disegerakan, oleh Sang Khaliq Dzat Yang Maha Mengatur Kehidupan.
Itulah kenyataan, gambaran tentang negeri yang ada di seberang Pulau Jawa ini. 150 km, dari Gresik, atau kurang lebih 90 mil jauhnya.
Konon, Bawean adalah berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti sinar mentari. Ada sebuah cerita rakyat, bahwa pada tahun 1350, ada sekelompok pelaut dari Kerajaan Majapahit terjebak oleh badai di Laut Jawa. Mereka terdampar di Pulau Bawean ini, bertepatan dengan saat terbitnya sang mentari.
Agama Islam masuk ke wilayah ini kurang lebih terjadi pada abad ke-16. Adapun tokoh yang menyebarkannya adalah Maulana Umar Mas’ud. Makamnya ada di samping Masjid, Alun-Alun Sangkapura. Banyak peziarah yang datang berkunjung, baik masyarakat lokal maupun masyarakat pendatang.
Di wilayah pesisir Bawean sebelah utara, juga terdapat makam seorang waliyah Zaenab. Tepatnya ada di lokasi desa Diponggo. Banyak versi mengenai cerita pewayangan adalah istri dari Begawan Palasara. Tapi, ini kan legenda. Tidak mungkin dilacak kebenarannya. Bukankah Begawan Palasara itu adalah tokoh pewayangan, nenek buyutnya Para Pandhawa dan Kurawa dalam Kisah Mahabharata? Jadi, mustahil bila benar itu merupakan sosok salah satu pewayangan itu. Lalu beliau itu siapa?
Yang jelas, karakteristik bahasa masyarakat Diponggo ini berbeda nian dengan karakteristik masyarakat Bawean pada umumnya. Bahasanya lebih dekat dengan bahasa pesisir Pantai Utara Jawa. Bahkan kalau saat ini, mungkin lebih dekat dengan dialeg orang Surabaya. Dalam strata bahasa Jawa, mereka lebih dekat dengan “ngoko kasar.” Dan ciri khas bahasa ini memang adalah bahasa pesisiran, pantai utara Jawa, khususnya Jawa Timur. Kalau Jawa Tengah, masih terbilang halus.
Di Bawean, ada jejak para wali songo, khususnya Sunan Bonang. Bahkan ada dua makamnya. Yang pertama ada di desa Tampo, Sangkapura, dan satu lagi ada di desa Tambak Keramat Kecamatan Tambak. Lho… Terus bagaimana dengan makam beliau yang ada di Tuban? Wah, kalau itu saya nggak tahu runtutannya. Yang jelas, beliau Sunan Bonang, sakit dan wafat di Bawean. Kemudian, terjadilah sengketa di tengah laut, antar para santri beliau, ketika hendak membawanya ke Tuban. Singkat cerita, layon beliau kemudian berubah menjadi tiga. Masing-masing santri yang memperebutkan, sama-sama mengaku membawa layon. Dan kebetulan, murid yang ada di Bawean, membawa dua layon, yang masing-masing dimakamkan di Tampo dan Tambak Keramat.
Sekian dulu ya, sekilas tentang Bawean. Kapan-kapan akan disambung lagi. Masih banyak budaya muslim di Bawean yang menarik. Termasuk shalawat yang sering dilantunkan dalam ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia), Sang Mushannifnya adalah dari Bawean, bergelar Syeikh Abdul Hadi dan Syeikh Abdul Rahman. Tunggu saja! Atau kalau tidak sabar menunggu, bisa main ke Bawean. Dijamin, anda nggak akan puas bila cuma sehari di sini. Nggak percaya? Coba saja!!