Pengalaman awal saya dengan Teka-Teki Silang (TTS) cukup unik. Saya mengenal TTS pertama kali sejak sekolah menengah di salah satu pesantren. Setiap balik dari pesantren, saya selalu menyempatkan untuk melihat-lihat buku-buku yang dijual di salah satu pasar besar. Selain buku, sang penjual juga menyediakan beberapa buku kumpulan TTS yang biasanya bergambar perempuan.
Kala itu, saya masih tidak begitu suka dengan TTS. Namun, sejak bisa mengakses TTS di salah satu media massa lokal, saya sangat menyukainya. TTS, bagi saya, memberikan pengalaman untuk mengakses beragam kosa kata, dan menghadirkan pengalaman mengeksplorasi kekayaan bahasa Indonesia.
Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kiriman foto dari penulis ternama, yang menangkap halaman majalah Tempo di tahun 1979. Menariknya, halaman tersebut cukup banyak mencantumkan kata yang akrab dengan Islam. Majalah Tempo edisi tersebut mencantumkan beberapa kata yang berkaitan dengan agama Islam.
Ketika Islam muncul dalam majalah Tempo sebagai salah satu media massa cukup populer kala itu, tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Terlebih, jika ditelisik lebih dalam, kita akan banyak menjumpai beragam cerita unik. Sejak diciptakan pertama kali oleh Arthur Wynne, TTS memiliki banyak cerita unik dan luar biasa hingga hari ini.
Bagi saya, TTS jauh dari sekedar “olahraga otak,” namun juga rekaman sejarah “kecil” yang kadang kita sendiri tidak menyadari bahkan kadang mengabaikannya. Bahasa yang dihadirkan lewat kata-kata di TTS tanpa kita sadari merekam secuil cerita kehidupan kita, termasuk agama.
***
TTS dan Islam di majalah Tempo di atas memperlihatkan kepada kita bahwa bahasa tidak terlepas dengan sejarah kehidupan masyarakat, termasuk kalangan Muslim. Beberapa kata yang berkaitan dengan ajaran agama Islam di TTS majalah Tempo tersebut bisa terdengar cukup asing bagi masyarakat Muslim hari ini.
Sebelum lebih jauh, kita bisa mengulik kata-kata di masyarakat Muslim hari ini bisa jadi jauh berbeda. Perbincangan atau percakapan di setiap kalangan Muslim pun bisa jadi memiliki kosa kata yang berbeda, bukan saja perbedaan bahasa dan kultur, namun juga dipengaruhi ideologi, pengalaman keseharian, hingga perkembangan teknologi dan modernisasi.
Salah satu contoh paling kentara adalah kata “kajian.” Sepertinya, masyarakat pedesaan atau kelompok Muslim tradisionalis sangat mungkin kurang familiar dengan kata ini, khususnya jika dihubungkan dengan agama Islam. Sebaliknya, bagi kelompok Hijrah dan Islam perkotaan, kata ini justru cukup populer.
“Kajian” merujuk pada salah satu model transmisi pengetahuan di masyarakat Muslim perkotaan, yang menonjolkan wacana yang menonjolkan rasionalitas, model penyampaian yang mengadopsi modern, narasi yang relate dengan kehidupan modern dan perkotaan, hingga tempat yang beragam. Kajian “dianggap” hadir sebagai model baru mengganti model lama, yang telah usang dan tidak lagi efektif.
Jadi, setiap masa dan komunitas Muslim bisa saja memiliki kata-kata kunci atau khas. Sebuah kata bisa saja hilang atau muncul seiring perkembangan di masyarakat Muslim. Kata sebagai tanda zaman bukanlah hal yang asing di masyarakat Muslim, mulai dari perihal kata serapan hingga urusan penanda sebuah ideologi bisa direkam dalam kata-kata yang muncul, beredar, diperbincangkan, hingga dipakai.
***
TTS yang tayang di majalah Tempo di tahun 1979, misalnya, memunculkan kata “Menolak Tuhan.” Jawaban di TTS tersebut adalah “Kafir.” Kata ini cukup unik. Hari ini, kata tersebut boleh jadi cukup problematis. Sebab, kata tersebut malah diseret menjadi kata yang negatif dan berpretensi aroma perundungan dan serangan verbal kepada non-muslim. Walaupun, di tahun 1979, kata tersebut belum mengarah ke sana, malah lebih netral.
Kompas, misalnya, sebagai media massa yang rutin mencantumkan TTS di lembaran cetaknya, juga merekam bagaimana perubahan sejarah yang terjadi. Di buku kumpulan TTS yang dicetak rutin oleh Kompas, para penyunting harus mengganti pertanyaan dalam TTS yang sebelumnya dicetak di koran. Contohnya: Mantan pelatih kesebelasan Chelsea diganti menjadi Pelatih sepak bola yang dikenal sebagai “The Special One.”
Perubahan ini jelas menggambarkan kepada kita soal TTS dan sejarah kehidupan manusia. Islam sebagai salah satu agama yang memiliki angka pemeluk terbesar di dunia tidak akan luput daripadanya. Bahasa yang direkam oleh TTS jika didalami bisa jadi menjadi titik awal bagi kita untuk menyelami bagaimana Islam dipraktikkan, terutama dalam bahasa.
Lebih dari semua itu, kata-kata yang direkam dalam TTS di tahun 1979 juga memperlihatkan bagaimana Islam dan beragam nilai atau kepercayaan lain bisa berdampingan. “Dewi Cinta” dan “Tarikh” yang berasal dari memori dan imaji yang berbeda, namun bisa berada dalam sebuah TTS. Inilah manusia. Kita telah memiliki pengalaman dan pengetahuan dari beragam kultur, agama, hingga sejarah yang berbeda yang bisa menjadi modal membangun manusia yang paripurna.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin