Fenomena buruh sedikit banyak telah menyedot perhatian umat manusia sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad XV yang memaksa manusia untuk bekerja di pabrik-pabrik, lahan tambang, perkebunan dan lain-lain. Revolusi industri yang diklaim sejarawan sebagai tonggak kebangkitan Eropa setelah sejak berabad-abad lamanya tenggelam dalam masa kegelapan, melahirkan fenomena-fenomena baru di tengah masyarakat.
Di antaranya, muncul kelas pemodal (kaum borjuis) yang mengorganisasi dan ‘mengeksploitir’ buruh untuk bekerja pada pabrik-pabrik mereka. Pada sisi lain, sistem feodalistik ini melahirkan kelompok masyarakat miskin, kelas pekerja (kaum proletar), yang menjadi budak bagi para pemodal. Mereka diperas tenaganya secara paksa.
Di dalam Islam, problem perburuhan diatur oleh hukum-hukum kontrak kerja (ijarah). Secara definisi, ijarah adalah transaksi atas jasa/manfaat tertentu dengan suatu konpensasi atau upah. Syarat tercapainya transaksi ijarah tersebut adalah kelayakan dari orang-orang yang melakukan aqad, yaitu penyewa tenaga atau majikan dengan orang yang dikontrak atau pemberi jasa/tenaga. Kelayakan tersebut meliputi: kerelaan (ridha) dua orang yang bertransaksi, berakal dan mumayyiz dan jelas upah dan manfaat yang akan di dapatnya.
Dengan pengertian di atas, maka kontrak kerja dalam Islam meliputi tiga jenis yaitu: 1) Manfaat yang didapat seseorang dari benda, sebagai contoh seseorang menyewa rumah, kendaraan, komputer dan sejenisnya; 2) Manfaat yang didapat seseorang atas kerja /amal seseorang, semisal arsitek, tukang kebun, buruh pabrik dan sejenisnya; 3) Manfaat yang didapat seseorang atas pribadi atau diri orang lain, semisal mengontrak kerja atau menyewa seorang pembantu, satpam dan sejenisnya.
Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut sesuai dengan QS al-Zukhruf ayat 32:
أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS: al-Zukhruf ayat 32 )
Transaksi kontrak kerja dalam Islam, sangat memperhatikan masalah waktu. Ini dikarenakan ada akad kerja yang menggunakan waktu dan ada pula yang tidak. Apabila pekerjaan yang memang harus disebutkan waktunya tetapi tidak terpenuhi maka pekerjaan tersebut menjadi tidak jelas dan tentu saja hukumnya menjadi tidak sah.
Apabila waktu kontrak sudah ditentukan misalnya dalam jangka waktu 1 tahun atau 1 bulan, maka tidak boleh salah seorang diantara kedua belah pihak membubarkannya, kecuali apabila waktunya telah habis. Begitu pula tidak boleh seseorang bekerja untuk selamanya (tanpa waktu yang jelas) dengan perkiraan gaji yang juga tidak jelas.
Ibnu Syihab meriwayatkan dengan mengatakan, Aku diberitahu oleh Urwah bin Zubeir bahwa Aisyah r.a berkata: “Rasulullah SAW dan Abu Bakar pernah mengontrak (tenaga) orang dari Bani Dail sebagai penunjuk jalan, sedangkan orang tersebut beragama seperti agamanya orang kafir Quraisy. Beliau kemudian memberikan kedua kendaraan beliau kepada orang tersebut. Beliau lalu mengambil janji dari orang tersebut (agar berada) di gua Tsur setelah tiga malam, dengan membawa kedua kendaraan beliau pada waktu Subuh di hari yang ketiga.
Islam sebagai suatu sistem kehidupan yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan mengatur adanya hubungan antara sesama manusia. Islam menghubungkan majikan dan buruh dalam jalinan persahabatan dan persaudaraan. Dalam Islam, sangat ditekankan agar orang-orang yang beriman terjalin dalam cinta dan kasih sayang serta memiliki kepentingan bersama. Terdorongnya menghormati hak-hak orang lain, persamaan dan kejujuran dan cinta kasih menciptakan adanya hubungan yang harmonis antara majikan dan buruh. Dari nilai-nilai luhur inilah, tidak akan ada perbedaan kepentingan majikan dengan kepentingan pekerja meskipun dalam kemampuan dan kedudukan yang berbeda.
Islam telah membantu terjalinnya hubungan yang baik antara buruh dan majikan terutama melalui ajaran moral dan pengalaman keteladanan hidup Rasulullah SAW Dalam cerita Nabi Musa dan Nabi Syu‘aib, terdapat pelajaran untuk meningkatkan hubungan dalam perniagaan dan menghilangkan konflik antara buruh dan majikan.
Prinsip-prinsip hubungan antara buruh dan majikan dalam Islam adalah kesetaraan dan keadilan. Kesetaraan menempatkan majikan dan buruh pada kedudukan yang setara. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masih didasarkan pada asas kesetaraan. Keadilan menempatkan para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya.
Hak-hak pokok buruh dalam Islam menurut Afzalurrahman dalam Doktrin Ekonomi Islam Jilid Pertama adalah sebagai berikut. Pertama, pekerja berhak menerima upah yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang layak. Kedua, pekerja tidak boleh diberi pekerjaan yang melebihi kemampuan fisiknya. Jika dia dipercaya menangani pekerjaan yang berat, maka ia harus diberi imbalan dalam bentuk beras atau modal yang lebih banyak atau kedua-duanya. Ketiga, pekerja harus diberi bantuan pengobatan yang tepat jika sakit dan membayar biaya pengobatan yang sesuai pada saat itu. Keempat, penentuan yang layak harus dibuat untuk pembayaran pensiun bagi pekerja. Majikan dan pegawai bisa dimintai untuk dana itu, tapi sebagian besar akan disumbang oleh negara dari zakat. Kelima, para majikan harus didorong untuk mengeluarkan sedekah terhadap pekerja dan keluarganya. Keenam, pekerja harus dibayar dari keuntungan asuransi pengangguran pada musim pengangguran yang berasal dari dana zakat. Ketujuh, pekerja harus dibayar dengan ganti rugi yang sesuai dengan atas kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan. Kedelapan, pekerja harus diperlakukan dengan baik dan sopan dan dimaafkan jika mereka melakukan kesalahan dalam bekerja. Kesembilan, pekerja harus disediakan akomodasi yang layak agar kesehatan dan efisiensi kerja mereka tidak terganggu.
Selain dari hak-hak yang diperoleh seorang buruh, Islam juga mengatur kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, baik kepada perusahaan maupun kepada negara. Dikatakan bahwa pendapatan terbaik adalah pendapatan seorang pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan berhati-hati dan ia hormat kepada majikannya. Bagi mereka yang bekerja menjalankan perintah atasannya dengan setia.
Konsep Islam dalam hubungan buruh majikan adalah membuat kompromi yang langgeng antara keduanya dengan memberikan nilai moral kepada seluruh persoalan mengenai hubungan mereka, dan dengan menjadikan kewajiban dari masing-masing pihak sebagai bagian dari iman, dengan menekankan prinsip kesetaraan dan keadilan sehingga terbebas dari kesewenang-wenangan dan eksploitasi.
Setiap permasalahan yang timbul, haruslah diselesaikan dengan cara-cara yang baik. Tidak diperkenankan sebagian orang atau kelompok menindas sebagian lainnya dengan alasan apapun. Jika timbul suatu kezaliman yang dilakukan oleh suatu pihak, maka pemerintah berhak campur tangan dalam penyelesaiannya. Berkaitan dengan itu, negara tidak boleh lalai dan diam dalam melakukan pengawasan pelaksanaan regulasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran hak-hak buruh sebagai upaya meminimalisir terjadinya pelanggaran hak-hak buruh. Negara memainkan peranan penting sebagai pengatur (regulator), mediasi (mediator/arbitrator) dan pelindung (protector), bahkan berperan aktif dalam menjamin kesejahteraan semua pihak.