“Dia adalah penilaian saya terhadap Islam. Apapun yang diperbincangkan dunia tentang Islam. Dialah pandangan saya tentang Islam. Perempuan yang menyisir dan mengetuk pintu kabin, sampai dia menemukan orang yang menderita dan merawatnya“
Kutipan di atas merupakan kesaksian Elizabeth Gilbert, penulis novel Eat, Pray, Love dan buku manifesto kehidupan kreatifnya Big Magic: Creative Living Beyong Fear, dalam sesi wawancaranya bersama Oprah Winfrey beberapa tahun lalu.
Akibat depresi, sakit hati, dan keterpurukan pasca bercerai dengan sang mantan suami, Elizabeth memutuskan pergi ke Pulau Lombok untuk menenangkan diri. Dia berencana menjalani puasa bicara selama sepuluh hari. Dia ingin berjemur di pantai dan berjalan santai menyisiri pulau kecil nan indah itu. Setiap kali berangkat menelusuri pantai, dia bertemu dengan seorang perempuan Muslim nelayan lokal yang memberikan penghormatan kepadanya. Perempuan itu menatapnya dari kejauhan, meletakkan tangan di dada, dan membungkukkan badan kepadanya. Liz, nama panggilannya, juga melakukan hal yang sama.
Pada suatu hari, Liz tidak bisa berkeliling seperti biasa. Perutnya terasa mual, mengalami dehidrasi hebat, dan tidak ada seorang pun yang bisa dimintai pertolongan. Dia hanya berdiam diri di kabin kapal. Perempuan Muslimah nelayan itu, yang selalu berpapasan dan menyalaminya, mengetuk dari pintu ke pintu, mencari Liz dan menemukannya sedang tergeletak menahan sakit. Dia lalu mengangkat jari telunjuknya, sebuah isyarat agar Liz tetap tenang dan menunggunya.
Beberapa saat kemudian, perempuan itu kembali mendatanginya dengan membawa aneka makanan dan buah segar dan air putih untuk Liz. Dia merawatnya seperti merawat anaknya sendiri. Liz tidak bisa menahan airmatanya untuk pecah dan tumpah di dalam pelukan perempuan nelayan itu. Hal itu merupakan pengalaman yang terus melekat dalam ingatan seorang Elizabeth Gilbert. Kemurahan hati sang perempuan nelayan yang tidak dikenalnya, tidak memiliki hutang budi kepadanya, datang memberikan pertolongan secara tulus kepadanya.
Cuplikan wawancara itu sempat beredar luas di media sosial, termasuk numpang lewat di beranda Facebook saya. beberapa media Muslim memuatnya menjadi konten di kanal Youtube dan di bagian komentar banyak sekali netizen yang mendoakan agar Liz mendapatkan hidayah dan memeluk Islam.
Elizabeth Gilbert dan Kehidupan Kreatif
Elizabeth Gilbert adalah seorang penulis yang, dalam proses kreatifnya, pernah mengalami penolakan demi penolakan dari media selama hampir enam tahun. Enam tahun! Baginya, menulis adalah panggilan hati. Vokasinya. Dia tidak bercita-cita menjadi penulis tersohor seperti sekarang, dia hanya ingin menulis sepanjang hidupnya.
Kehidupan kreatif di sini tidak diartikan, misalnya, kamu harus menjadi penyair atau hidup menyendiri di puncak gunung untuk mendapatkan inspirasi. Namun, kehidupan kreatif yang dimaknainya sebagai hidup yang lebih kuat didorong oleh rasa ingin tahu atau antusiasme ketimbang ketakutan-ketakutan dalam laku penciptaan. Saya membayangkannya seperti teman-teman di kampung yang menjadwalkan diri berlatih musik dangdut, tergerak oleh hasrat keingintahuan, belajar secara mandiri lalu mengunggahnya di kanal Youtube. Bisa juga seperti Mas Cito yang pada pagi hari, setelah prepare kafe selesai, dia mulai menggambar sambil menunggu penikmat kopi datang. Menggambar dan menggambar dan menggambar. Dia bukan lulusan sekolah seni atau produk kursus online tentang bagaimana menjadi pelukis hebat dalam satu bulan, misalnya. Rasa ingin tahu dan ingin terus menggambar telah mendorongnya untuk belajar dan belajar dan belajar. Dari berbagai sumber. Berbagai orang. Berbagai medium.
Teman-teman di dusun siang harinya ada yang bertani, jualan sayur, ngarit dan macul, Mas Cito menjaga kafe, dan Liz dulunya juga menjadi pelayan di sebuah rumah makan. Singkatnya, mereka bekerja untuk urusan perut. Sedangkan bermusik, menggambar, dan menulis, katakanlah, sebagai panggilan hati mereka. Bolehlah disebut sebagai “bakat”.
Tentang Inspirasi: Dari Dalam atau Luar Dirimu?
Ketika melihat karya luar biasa dari seseorang, kita biasanya dengan mudah menganggapnya sebagai seorang jenius. Pandangan seperti ini, kata Liz, bermula sejak era Renaisans, kurun waktu peralihan dari Abad Pertengahan menuju Abad Modern di Eropa. Tuhan dan hal-hal gaib telah disingkirkan dan manusia menjadi pusat semesta. Padahal, pada masa sebelumnya, Jenius adalah nama salah satu dewa dalam tradisi Romawi atau Daimon dalam tradisi Yunani yang memberikan bisikan inspirasi kepada manusia. Terjadi pergeseran dalam melihat jenius yang awalnya dipahami sebagai hal gaib atau supranatural yang mendatangi manusia kemudian menjadi sesuatu yang melekat dalam diri manusia.
Konsekuensi yang tidak disadari dari pandangan bahwa manusia sebagai ‘pemilik’ jenius ini adalah menjadikannya besar kepala saat karyanya diapresiasi dan, sebaliknya, menjadi depresi ketika karyanya mendapatkan kritik atau katakanlah disebut gagal.
Bahkan, yang lebih ekstrem lagi, seringkali ke-jenius-an seseorang dilekatkan dengan penderitaan. Seperti yang pernah dikatakan Aristoteles: tidak ada jenius agung yang eksis di dunia ini tanpa disertai kegilaan atau penderitaan. Pelukis ternama Frida Kahlo, misalnya, seringkali dipandang bahwa kebesarannya dalam seni lukis disebabkan oleh penderitaan dan romantisasi atas derita dalam hidupnya. Dan masih banyak lagi para seniman besar pasca Renaisans yang secara perlahan meninggal muda karena penderitaan yang dijalani selama proses kreatifnya.
Hal semacam inilah yang tidak diharapkan oleh Elizabeth Gilbert. Dia ingin kehidupan kreatif manusia berumur panjang dan dijalani dengan gembira. Dengan begitu, jika pandangan tentang jenius, ide, dan inspirasi berasal dari luar diri manusia ini dianggap sebagai pendekatan yang lebih relevan dan menyehatkan dalam proses kreatif, kenapa kita tidak mencobanya?
Dunia ini, lanjutnya, tidak hanya diisi oleh manusia, tumbuhan, bakteri, dan virus saja kok, tetapi juga ide-ide. Mereka bersliweran di sekitar kita. Meski tidak berwujud fisik seperti manusia, mereka memiliki kesadaran, kehendak, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan kita. Keinginan mereka cuma satu: eksis di dunia. Jalan satu-satunya agar ide itu bisa mewujud tidak lain adalah dengan berkolaborasi dengan manusia.
Hanya saja, seringkali, kita mengabaikan kehadirannya. Kamu sibuk dengan dramamu sendiri dan mungkin pekerjaan yang membuatmu tidak menyiapkan diri untuk menerima mereka. Kamu mungkin kehilangan sinyal ide itu karena sedang menonton TV, shopping, disesaki oleh rasa marah kepada seseorang, terlarut memikirkan kegagalan dan kesalahan, atau terlalu sibuk. Ketika ide itu mendatangimu seperti ombak di lautan, (mungkin dalam waktu sekejap, mungkin beberapa bulan, atau beberapa tahun), tetapi pada akhirnya dia menyadari bahwa kamu tidak peka terhadap pesan-pesan yang dibawanya. Maka, ide itu pun akan berpindah ke orang lain (Gilbert, 2015: 29).
Terkadang, pada suatu hari saat kamu sedang santai, tidak begitu tegang, ide itu benar-benar menyusup ke dalam dirimu. Secara paripurna. Dia ingin bekerja bersamamu. Ide itu tidak akan meninggalkanmu sendirian sampai telah mendapatkan perhatian penuh darimu. Sampai akhirnya dia berkata, “maukah kamu bekerja denganku?” pada saat seperti itulah kamu memiliki dua pilihan jawaban untuk menanggapinya: ya atau tidak!
Ketika jawabanmu adalah tidak, ya udah, tinggalkan saja dan lupakan. Mudah saja bukan? Sebaliknya, ketika kamu menjawabnya ya, maka kamu akan membuat kontrak bersamanya. Menyambutnya dengan gembira. Menjadikan ide itu sebagai partnermu. Menerimanya dengan penuh hormat dan antusiasme, bukan dengan drama dan hal-hal yang menyakitkan. Ketika karyamu baik, kamu berterima kasih kepada ide-ide itu. Kalau katakanlah buruk atau gagal, itu tidak semata-mata karena salahmu. Bisa jadi ide yang datang itu kebetulan pas yang pekok dan kurang cerdas saja.
Kreativitas vs Rasa Takut
Kehidupan kreatif adalah jalan menuju keberanian, katanya. Ketika keberanian telah dimatikan, maka kehidupan kreatif itu juga mati bersamanya. Ya, rasa takut adalah musuh utama kreativitas. Takut dikritik. Takut dianggap tidak layak. Takut ditolak.
Perasaan takut adalah bagian penting dalam hidup kita. Alih-alih membunuhnya, Elizabeth Gilbert menawarkan pendekatan agar kita berkomunikasi dengannya secara baik-baik. Ibarat sebuah mobil dengan tiga penumpang, kamu dan kreativitas berada di bagian kemudinya. Sedangkan rasa takut berada di jok bagian belakang. Dalam kehidupan kreatifmu, rasa takut itu tetap mendapatkan tempat, tetapi tidak memiliki hak untuk bersuara. Katakan, misalnya: Hei, ini cuman karya sederhana. Bukan perang Badar. Untuk itu, kamu tidak perlu cemas dan khawatir. Kamu tetap duduk di belakang, ya…
Apakah dunia kreatifmu menjamin sebuah kesuksesan? Belum tentu. Tidak ada yang pasti dalam dunia kreativitas, seperti halnya dalam dunia percintaanmu.
Kesuksesan dalam kehidupan kreatif itu, kata Liz, ditentukan oleh tiga kartu: bakat, keberuntungan, dan disiplin. Dua kartu pertama berada di luar kendali kita. Satu-satunya kartu yang kita miliki dan dapat kita mainkan adalah kartu kedisiplinan. Oleh karenanya, berkaryalah untuk kebahagiaanmu sendiri. Tidak perlu dibebani dengan hal lain semisal dalam rangka dakwah, atas nama kemanusiaan, demi NKRI, dunia literasi, kesusastraan dan kesenian nasional, misalnya. Tidak perlu seperti itu.
Cintai saja karyamu dan berharap semoga karya itu juga mencintaimu. Ketika di tengah jalan mengalami frustasi, putus asa, dan kegagalan, misalnya, semua itu adalah bagian alamiah saja dari proses kreatifmu. Dengan cara seperti itu, mungkin suatu hari kamu akan sampai pada karya yang otentik dan orisinal dan, siapa tahu, orang lain akan menemukan sesuatu yang berguna di sana. Nah, sebagai tambahan, jika Anda seorang Muslim, dalam proses penciptaan itu, Anda dapat menambahkan frasa penting ini: lillahi ta’ala.
Wallahu A’lam…