Dalam ajaran Islam, secara eksplisit dan formal dikemukakan bahwa kesabaran adalah bagian mutlak dari ajaran Islam. Surat Al-qur’an paling populer juga menyatakan hal ini: “demi masa, manusia akan selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, membawakan suara kebenaran dan mengajak pada kesabaran” (wa al-‘asyri, inna al-Insana la fii khusrin, illa ladziina ‘aamanuu wa ‘amiluu al-ashaalihati wa tawashaw bi al-haqqi wa tawashaw bi al-sabri).
Ajaran tentang kesabaran itu dikaitkan dengan ketentuan tidak boleh melakukan kekerasan, kecuali kalau diusir dari rumah tempat tinggal. Itulah sebabnya, mengapa penulis memanggil Jenderal Luhut Panjaitan sebelum lengser dari Istana Merdeka. Pak Luhut, kata penulis, tolong carikan surat perintah meninggalkan Istana, agar saya tidak usah bertindak keras menentang siapapun yang mengusir saya dari tempat ini. Kewajiban saya untuk taat pada pemerintah dilambangkan oleh adanya surat perintah tersebut. Tanpa adanya surat perintah itu, saya terpaksa akan melawan dengan kekerasan, keinginan orang agar saya meninggalkan Istana dengan cepat.
Saya tidak menilai tinggi arti kepresidenan, yang tidak lain adalah jabatan untuk mengabdi pada rakyat. Karenanya, jabatan seperti Presiden Republik Indonesia (RI) tidak harus dipertahankan dengan mengorbankan jiwa penduduk negeri ini. Kalau cara memandang arti jabatan pemerintahan dilakukan secara wajar, maka pergantiannya-pun dapat pula dilakukan secara sama dengan jabatan-jabatan lain di negeri ini. Sama alaminya dengan banyak tindakan lain yang hanya mementingkan ambisi pribadi atau kepentingan kelompok terbatas. Kesabaranlah yang menjadi kata kunci dalam hal ini. Lain halnya dengan konstitusi, yang harus dipertahankan habis-habisan. Kalau perlu dengan menggunakan semua kekuatan yang ada, guna meyakinkan rakyat untuk mempertahankan atau menggantikannya melalui pemilihan umum. Karenannya, diperlukan kemenangan mutlak lebih dari dari separuh keanggotaan DPR-RI dan MPR-RI, guna memungkinkan terbentuknya mayoritas tunggal (single majority) melalui pemilu dalam kerangka ini.
Uraian di atas, menunjukkan sebuah kerangka kesabaran pribadi/mikro, ataupun kesabaran kolektif/makro yang meliputi seluruh warga bangsa ini. Itupun sudah dijalankan oleh para pendahulu kita, dengan melakukan pembentukan negara melalui sistem politik yang bersifat sementara. Tidak pernah jelas dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, adakah negara kita ini teokratis ataukah sekuler. Kalau dibaca dengan teliti, batang tubuh UUD 1945 hanya menunjuk pada negara bukan sekuler dan bukan teokratis. Yang berarti, negara kita sekarang adalah negara yang bukan-bukan. Kewajiban kitalah untuk melakukan perubahan mendasar terhadap pasal-pasal UUD 1945, mengenai batang tubuhnya saja.
Benarkah kita menginginkan sebuah pemerintahan yang memiliki kekuasaan berimbang antara pihak-pihak yudikatif, legislatif dan ekskutif? Jika itu benar diinginkan, maka presiden-wakil presiden-gubernur-wakil gubernur-bupati-wakil bupati-wali kota-wakil wali kota, haruslah dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan Mahkamah Agung (MA) diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR-RI. Bukannya seperti sekarang, yaitu diusulkan DPR-RI dan ditunjuk oleh Presiden. Ini berarti, lembaga perwakilan rakyat kita (DPR-RI), didampingi dalam pembuatan UU oleh DPD-RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia).
Setiap lima tahun sekali DPR-RI berkumpul menjadi satu untuk menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sebuah sidang gabungan, yang dinamai MPR-RI dan berlangsung sekitar setengah bulan. Seorang wakil ketua, baik dari DPR-RI maupun dari DPD-RI berfungsi menyusun rancangan GBHN itu, sehingga MPR-RI memiliki dua buah konsep GBHN yang disatukan yang menjadi produk resmi dari lembaga gabungan tersebut. Dengan demikian, kita dapat menyusun sebuah sistem bi-kameral di bidang perwakilan rakyat, mengangkat langsung pihak ekskutif dan memelihara MPR-RI sebagai sebuah lembaga yang kita perlukan setiap lima tahun sekali.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa untuk menyusun sistem politik yang sehat, diperlukan waktu yang cukup lama bagi negara kita. Ini memerlukan waktu hampir 70 tahun merdeka, sedangkan bagi Amerika Serikat (AS) ia memerlukan lebih dari 100 tahun kemerdekaan. Perancis juga demikian, terbukti dari konstitusi kelima yang disyahkan ketika Charles de Gaule berhasil meng-gol-kan rancangan undang-undang baru, yang berakhir pada sistem politik cohabitation (kebersamaan sistem ganda), dengan adanya Presiden yang memiliki wewenang dalam lima bidang pokok dan Perdana Menteri yang dipilih parlemen yang berwenang dalam bidang-bidang selebihnya.
Banyak sistem politik yang ditawarkan, di luar sistem politik AS dan Perancis tersebut. Mungkin kita juga harus menambah jumlah sistem politik itu, yang membuat kita lain dari AS dan Perancis. Ini dapat terjadi, karena kita tidak sama dengan AS yang mempunyai 50 negara bagian, dengan masing-masing memiliki kedaulatan sendiri, sedangkan kita memiliki propinsi yang masing-masing dengan kedaulatan politik yang kurang dari kedaulatan politik negara bagian (state). Sebaliknya, keragaman propinsi-propinsi dan otonomi khusus memerlukan ruang gerak yang cukup besar bagi kegiatan masing-masing, hal mana terkait dengan letak daerah yang secara geografis sangat luas dan terpencar di berbagai pulau di negeri kita.
Dalam pengertian ini, jangka waktu sekitar 70 tahun kemerdekaan yang digunakan untuk menyusun sebuah sistem politik yang definitif adalah sesuatu yang masuk akal. Dengan tidak terasa, sebagai bangsa kita telah melakukan sesuatu yang diajarkan oleh kitab suci Al-qur’an; “bersabarlah kalian dalam menjalani apa yang mengenai diri kalian sendiri” (fa ashbiruu ‘ala maa aataakum). Di sinilah ternyata arti makro dari salah satu karakter Tuhan yang tidak terbatas kadarnya, yaitu penghargaannya atas kesabaran mikro dan makro kita (sabrun jamiil, kesabaran adalah keindahan). Menarik sekali, bukan?