Islam dan Kepekaan Kultural

Islam dan Kepekaan Kultural

Jakarta – Kerap kita jumpai sebuah fakta bahwa kecenderungan seseorang menjadi radikal disebabkan oleh, lagi-lagi, kegagalan dia dalam memahami teks agama.

Islam dan Kepekaan Kultural

Jakarta – Kerap kita jumpai sebuah fakta bahwa kecenderungan seseorang menjadi radikal disebabkan oleh, lagi-lagi, kegagalan dia dalam memahami teks agama. Kegagalan yang disebabkan karena sedikitnya pengetahuan seseorang tentang diskursus cabang ilmu islam yang sejatinya saling dibutuhkan dan melengkapi dalam melahirkan sebuah pemahaman yang benar. Sehingga akhirnya muncul lah stereotip Islam radikal.

Setiap orang bisa saja mengklaim bahwa pendapat dan pemahamannya lah yang benar. Semua pun bisa menyanggah bahwa kebenaran itu relatif dan hanya kepunyaan Allah lah kebenaran mutlak. Lalu pertanyaannya “apakah pemahaman yang benar” itu?

Menurut hemat saya, cara paling mudah mengetahui batasan akan sebuah pemahaman yang benar adalah semua pemahaman yang di dalamnya membawa semangat hifdzu ad-din (menjaga eksisitensi agama), hifdzu an-nafs (menjaga eksistensi jiwa), hifdzu al-‘Aql (eksistensi akal), hifdzu al-‘Ardh (eksistensi kehormatan), dan hifdzu al-mal (eksistensi kekayaan). Kiranya tak berlebihan, karena semangat ini pula yang dibawa oleh para cendekiawan usul fiqih dalam meletakkan kaidah-kaidah dasar hukum fiqih.

Yang perlu digaris bawahi bahwa teks agama, dalam hal ini hadis, yang terekam dalam banyak kitab merupakan respon yang menjawab kebutuhan sosial atas realita yang terjadi pada masa nabi, yaitu sosio-cultur yang berlaku 14 abad yang lalu, jauh sebelum peradaban kita hadir. Sosio-cultur Arab pada masa itu, tentu berbeda jauh dengan budaya, pemikiran, apalagi norma kebiasaan yang berlaku pada masa ini.

Teks agama ini merupakan salah satu sumber syariat Islam, yang terdiri dari banyak instrumen ajaran dan hukum yang dicatat oleh para Sahabat melalui proses melihat dan mendengarkan apapun yang berasal dari Nabi Muhammad Saw., dan catatan inilah yang akhirnya sampai kepada kita saat ini, secara estafet dari generasi ke generasi.

Bukan berarti teks agama telah kehilangan relevansinya sebagai acuan hukum dalam konteks dunia modern. Hanya saja dalam memaknai sebuah dalil harus mengenali dulu apa alasan atas sebuah perintah atau larangan yang terkandung dalam teks tersebut. Setelah itu cari titik persamaan antara ke dua permasalahan dalam teks dengan masalah yang terjadi dalam konteks modern. Dari proses ini akan diketahui, sudah sesuai kah hukum tersebut diaplikasikan dalam konteks modern, ataukah tidak.

Selain itu, juga perlu dipahami bahwa perbedaan sosio-cultur di mana teks tersebut muncul juga akan memberikan efek dan implikasi berbeda saat diterapkan dalam konteks dunia modern. Hal ini mengaca pada perbedaan implikasi teks agama serta kaidah hukum fiqih yang terapkan oleh dua imam madzhab, yaitu antara Imam Hanafi dan Imam Malik.

Imam Hanafi dalam budaya masyarakat Bagdad yang lebih modern dengan berbagai masalah kehidupan yang lebih kompleks. Serta Imam Malik dalam budaya masyarakat Madinah yang tidak begitu kompleks, karena kesamaan masalah masyarakat Madinah pada masanya masih tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaan sosio-cultur pada masa Nabi Saw.. Sedangkan Bagdad merupakan peradaban yang jauh berbeda dengan apa yang ada pada masa Nabi, di samping juga perbedaan budaya, adat, serta iklim tentunya.

Perangkat analis (Usul Fiqih) yang mereka gunakan hampir sama. Sumbernya pun satu, yaitu berasal dari Alquran dan Hadis. Tapi mereka mempunyai ideologi berbeda, Imam Hanafi ahlu ra’yi sedangkan Imam Malik ahlu naqly. Tentu cara pandang mereka ini berangkat dari latar belakang kondisi sosial, geografis, dan tradisi yang berbeda.

Salah kaprah juga dialami oleh sebagian muslim Indonesia dalam memahami teks jihad. Memang sejarah mencatat, ekspansi kekuasaan Islam memang diwarnai oleh peperangan dan pertumpahan darah. Namun hal ini juga tak lepas dari latar belakang kondisi sosial Arab saat itu bahwa persengketaan antar klan hanya bisa terselesaikan dengan peperangan atau pertumpahan darah.

Tapi Nabi Muhammad Saw. tidak pernah memerintahkan perang kecuali sudah sangat terdesak dengan serangan musuh. Jikalau terpaksa berperang Nabi selalu berpesan jangan sampai membunuh orang-orang sipil yang tidak ikut berperang terutama anak-anak dan perempuan, jangan menghancurkan rumah-rumah pendudukan apalagi fasilitas umum. Berbanding terbalik dengan aksi ‘jihad’ segelintir sekte garis keras saat ini.

Dan melihat kondisi sosio-cultur Indonesia, jihad perang tidak tepat jika diberlakukan di negara yang bukan merupakan negara dalam keadaan siaga perang. Karena itulah, untuk menghindari kecenderungan cara fikir radikal, teks (Alquran dan Hadis) juga perlu dipahami dari segi sosio-cultur teks tersebut pertama kali muncul dan pada kondisi sosio-cultur seperti apa teks akan diaplikasikan.

*Penulis adalah Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Peneliti Hadis di El-Bukhari Institut