Sejarah telah mencatat bahwa Islam masuk di Indonesia melalui jalur Gujarat. Jalur yang berawal dari Arab, Persia, Gujarat, hingga Asia Tenggara dan Indonesia. Dengan begitu Islam singgah terlebih dahulu di daerah-daerah tersebut sebelum melanjutkan perjalanannya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa di setiap persinggahannya Islam berinteraksi dengan budaya sekitar. Di Persia Islam berinteraksi dengan budaya sekitar, setelah itu ke Gujarat juga berinteraksi dengan budaya sekitar, dan sesampai di Indonesia Islam juga berinteraksi dengan budaya sekitar.
Dengan demikian, penyebaran Islam di Indonesia tidak serta merta langsung memberikan gambaran hitam putih suatu agama, melainkan berinteraksi dulu dan dikemas dengan cara halus tanpa ada pemaksaan di dalamnya. Apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, para penyebar Islam akan menelaah terlebih dahulu apakah hal tersebut sesuai dengan Islam atau tidak.
Jika hal itu sesuai dengan nilai-nilai Islam maka akan dipertahankan keberadaannya, dan jika tidak maka akan diganti dengan yang baru. Dengan berpegang teguh pada kaedah al-muhafadlotu a’la al-qodimi al-sholih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus) maka Islam akan berinteraksi dahulu dengan budaya lokal.
Ini menjadi modal utama dalam menyiarkan Islam oleh para ulama terdahulu. Seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dalam menyiarkan Islam. Pada saat itu masyarakat gemar melihat pertunjukan wayang kulit dengan cerita dari India. Dari situlah Sunan Kalijaga memiliki inisiatif untuk mengadopsi budaya wayang kulit dan dikolaborasikan dengan nilai-nilai dalam Islam. Dengan demikian alur cerita, yang awalnya dari India, juga diganti oleh Sunan Kalijaga dengan memasukkan nilai-nilai ketauhidan, etika dan moral dalam Islam, dan seterusnya. Pada akhirnya cara seperti ini mampu untuk memikat hati masyarakat untuk masuk Islam.
Hingga sekarang model seperti ini masih tetap dipertahankan oleh ulama-ulama kita. Sebab, arus globalisasi yang tidak bisa dibendung lagi memaksa ulama kita untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Dengan kolaborasi antara budaya lokal, arus globalisasi, dan cita-cita Islam tidak akan membuat Islam terpinggirkan. Bahkan dengan cara seperti itu akan menunjukkan nilai-nilai Islam universal, Islam yang bisa mendatangkan rahmat bagi yang lain di manapun dan kapanpun.
Seperti halnya Gus Dur ketika menerima dan mendukung sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Menurut Gus Dur dalam sistem demokrasi tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Keadilan, kesejahteraan, kesetaraan di mata hukum, adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang sesuai dengan semangat demokrasi. Bahkan Islam dapat mengisi moral dan etika masyarakat dalam sistem demokrasi, sehingga di situ akan tercipta masyarakat demokratis yang memiliki moralitas yang tinggi.
Dengan demikian, Islam akan menunjukkan sifat rahmat bagi semua, tidak hanya umat muslim saja melainkan juga non muslim. Sebab, model kolaborasi ini menjadikan Islam lebih menghargai, toleran, dan inklusif bagi budaya dan agama lain. Wallahhua’lam.
Muhammad Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Gusdurian Jogja.