Islam dan Internet (V): Literasi Digital dan Aktor Keislaman Tradisional

Islam dan Internet (V): Literasi Digital dan Aktor Keislaman Tradisional

Islam dan Internet (V): Literasi Digital dan Aktor Keislaman Tradisional

Kini, gerakan digitalisasi dakwah ihwal pengetahuan keagamaan semakin ramai. Dalam konteks kedisinian, pengetahuan keagamaan yang diarus-utamakan dengan pengadopsian teknologi digital sangat familiar dan begitu dekat dengan golongan Islamisme, radikalisme, dan ekstrimisme. Sebuah golongan yang kata Azyumardi Azra (2008) lahir sebab alienasi sosial Muslim mainstream di Indonesia. Mereka kemudian memanfaatkan teknologi—karena mayoritas pengikutnya ahli dalam hal eksakta—sebagai alat penyebaran ideologi yang mengusung berdirinya kekhalifahan Islam di dunia.

Cita-cita mendirikan Negara Islam dianasirkan melihat kondisi bangsa yang didominasi pemikiran sekuler;mengabaikan nilai-nilai keagamaan sebagai poros utama pergerakan bangsa. Sehingga, masih dengan dalih itu, kolusi, korupsi, nepotisme, dan penyelewengan kekuasaan banyak ditemukan.

Gerakan itu bergerak masif usai reformasi. Bentuk pergerakan yang paling dominan adalah penggunaan simbol-simbol keagamaan. Sebagai realisasi kampanye mendirikan “Negara Islam”, simbol-simbol keagamaan ditampakkan sehingga memperjelas gradasi, dan segmentasi Islam di Indonesia.

Menariknya, simbol yang dipakai sangat jauh berlainan dengan kultur keindonesiaan dan cenderung condong ke dunia Arab. Semisal cadar bagi perempuan Muslim, yang merupakan hasil produksi budaya Arab dalam soal menutup aurat. Sedangkan bagi laki-laki diharuskan memakai jubah putih yang menjulur panjang sampai di atas tengkuk kaki.

Kedua contoh tersebut merupakan bagian dari tafsir agama. Representasi dari keyakinan yang ditelan secara leterlejk/taklid buta dalam memahami Islam. Meskipun keyakinan teologis yang mereka anut sama halnya dengan NU ataupun Muhammadiyah, yaitu ahlusunnah waljama’ah dan salafus-salih. Namun, yang membedakan adalah penyampaian ajarannya, dalam ruang digital klaim agama seperti itu direpresentasikan oleh akun-akun yang berafiliasi pada HTI dan FPI. Adapun beberapa akun yang berafiliasi pada aliran tersebut adalah @indonesiabertauhidofficial, @indonesiabertauhid, @dakwahtauhid, @felixsiauw, @khalidbasalamah, @dakwahpedia, yang masing-masing telah mengikuti follower lebih dari satu juta.

Endang Suryana (2012) mengomentari jaringan radikalisme yang banyak tergelar di dunia maya. Bahwa limitasi wilayah negara sama sekali tidak mempengaruhi gerakan terorisme di Indonesia. Sebab mereka memanfaatkan perluasan jaringan dengan perluasan kemajuan teknologi dan informasi. Ruang maya lalu menjadi salah satu medan juang dan perlawanan bagi para teroris ataupun aktifis Islam radikal.

Baru setelah era kaum Islam fundamentalisme-radikal ini, sekitar tahun 2014, NU mencoba terlibat aktif pula dalam jagad maya. Meski portal berita Nu-Online sudah lama berdiri, namun pihak NU mulai mengembangkan sayap-sayap portal berita lainnya, seperti Islami.co, Duta Islam, Bincangsyariah.com, Alif.id, Iqra.id, dan beberapa website yang didorong oleh Direktur Nu online, yakni Savic Ali.

Gagasan literasi digital pada dasarnya bukan gagasan baru. Sebagai barang yang dinilai mempunyai nilai penting, gawai menjadi sumber referensi dalam menggalih berita atau sumber keagamaan. Perlu dipertegas kembali, golongan pemakai internet terbanyak ialah generasi milenial. Sebagai pembaca baru potensial, milenial berjejaring tanpa dibarengi dengan basic pengetahuan yang jelas terhadap persona (ideologi keagamaan) yang mereka ikuti.

Dalam penelusuran penulis, kegagapan ini dialami oleh anak-anak SMA dan mahasiswa di Perguruan Tinggi. Seringkali terutama mahasiswa, menyalin keilmuan dari sumber internet yang diidentifikasi berafiliasi terhadap golongan fundamentalisme yang menyebut Pancasila sebagai toghut, seperti muslim.or.id, portal-islam.id, eramuslim.com, almanhaj.com, dan lain-lain.

Munirul (2018) menyebut wacana literatur keislaman sangat beragam. Terdiri dari literatur salafi, literatur tahriri dan literatur Islamisme populer. Peralihan model penyampaian agama dari ketiga jenis literatur itu berusaha memotivasi, self-help dan menjamah pergulatan mental milenial—sebab stabilitas mental merupakan barang yang sangat dibutuhkan bagi milenial kini.

Pasar bebas literatur keislaman juga sangat menguntungkan, potensi pasa terhadap pembaca Islam baru yang potensial membuat distribusi literatur yang mereka produksi. Selain mereka juga menjadi aktor dan sangat aktif di media sosial.

Studi mengenai literatur keislaman dan pengaruhnya terhadap konstruksi pengetahuan dan ideologi keislaman yang berkembang di Indonesia, menurut Noorhaidi (2018) secara umum dapat dibedakan ke dalam dua fokus perhatian. Klasik  dan kontemporer.

Studi literatur keislaman klasik memfokuskan pada transmisi pengetahuan keislaman melalui teks-teks kitab kuning yang dibaca dan dipelajari di lingkungan pesantren tradisional. Sedangkan lilteratur keislaman kontemporer lebih banyak memberi perhatian pada penerbitan ulang buku-buku terjemahan dari Timur Tengah dan ideologi yang terkandung dalam buku-buku tersebut. sejak tahun 1980-an, wacana kebangkitan Islam di negara-negara Timur Tengah dan Iran memengaruhi pemikiran kalangan muda Muslim Indonesia.

Melalui karya-karya Hasan al-Banna, Abul A’la al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Sayyid Hawwa, Ali Shariati, dan Yusuf al-Qaradawi yang membangun obsesi tentang pendirian negara Islam dan sistem sosial masyarakat ideal tanpa kelas.

Membaca karya Sayyid Qutb yang berjudul Ma’alim fi al-Thariq misalnya, kita akan mendapati bahwa ideology Ikhwanul Muslimin ini menggunakan metode berpikir dialektika-dikotomis yang mengandaikan hanya ada dua kutub dalam berpikir dan keduanya diposisikan secara berhadapan. Qutb menyebut dua kategori metode berpikir, yakni metode qur’ani dan metode jahiliah. Ia selalu menghadapkan Islam dengan jahiliah. Kebenaran itu hanya ada pada Islam. Jahiliah, sebagai lawan dari Islam, adalah kesesatan.

Oleh karena itu, identitas Islam tradisional menantang untuk disuarakan. Melalui  diaspora santri dalam gelombang modernisasi yang mengalami proses ‘banalisasi’, dengan cara berkamuflase pada nafas gerakan  civil society untuk membentuk wajah Islam ramah di ruang publik.

Hal itu dilakukan dengan tanpa menghilangkan spektrum lokalitas yang menjadi infrastruktur peradaban Islam di Indonesia. Sekaligus dalam ranah penguatan prevalensi etika keagamaan di masyarakat dengan menyemaikan kaidah kesalihan sosial. sehingga muslim milenial yang gemar berselancar di internet tidak lagi membicarakan negara Islam beserta variannya, tetapi merespons wacana global tentang kebebasan dan masyarakat pluralis.