Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh paham komunisme dirumuskan dengan kata rakyat, dalam teori dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi dalam praktek justru yang dibela terbanyak adalah kepentingan kaum Aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa dari pada kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam merumuskan orientasi paham ke-Islaman, agar tidak mengalami nasib seperti paham komunisme tersebut.
Orientasi paham ke-Islaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja kata “maslahah ‘ammah”, yang berarti kesejahteraan umum. Inilah yang menjadi objek dari segala macam tindakan yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci dalam adagium teori hukum Islam (Ushul Fiqh): “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan/kesejahteraan mereka” (tasharruf al-Imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah).
Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan” (dar’u al-mafasith muqaddam ‘ala jalbi al-masholih). Artinya, menghindari hal-hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti dari pada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang digunakan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. Karena ia yakin bangsa ini waktu itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden negara, hingga dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.
*****
Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/keutuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi pegangan gerakan-gerakan Islam di negeri kita semenjak dahulu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta tersebut dari UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal-usul mereka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia. Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU), itu jelas menonjolkan semangat persatuan pada tingkat paling tinggi. Bahwa para Ulama Fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejahteraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.
Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam hanya bersandar pada formalitas belaka, secara kultural, masuknya beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau sebaliknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang digambarkan dengan indahnya oleh James Siegel dalam the rope of God, mengenai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktek-praktek kaum sufi itu jelas menunjukkan hal itu. Demikian pula, diciptakannya tembang Ilir-ilir oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi saling pengaruh-mempengaruhi yang sangat halus antara budaya daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.
Demikian pula, bagaimana dengan mudahnya manifestasi budaya santri dalam budaya daerah yang disebut Tabot di Sumatera barat dan Bengkulu, dengan budaya daerah setempat menjadi wahana bagi ekspresi keagamaan kaum Syi’ah di hadapan tindakan-tindakan “budaya Sunni” dalam beberapa abad terakhir ini, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang terjadi. Penggunaan “budaya adat” sebagai wahana apa yang tadinya dikenal sebagai budaya agama adalah sesuatu yang benar-benar hidup dalam perkembangan sejarahnya.
*****
Nah, hal inilah yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat kitab suci Al-Qur’an “dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan tanda-tanda kebesaran Allah” (la qad kaana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah li man kaana yarju Allaha wa al-yauma al akhira wa dzakara Allaha kathira), dapat digunakan sebagai pengingat bagi kita akan pentingnya arti pelestarian lingkungan alam dan penjagaan kepentingan kita dalam apa yang dinamakan kasus makro.
Hal-hal seperti inilah yang seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun sebuah bangsa, justru bukannya mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama tersebut dalam kehidupan. Karena itu, persoalan formalisasi idiologi Islam dalam kehidupan bernegara tidak menjadi kebutuhan utama dalam bernegara. Justru penampilan non-formal dari agama tersebut dari kehidupan bernegara harus terwujud tanpa formalisasi dirinya dalam kehidupan bernegara, seperti di negara ini. Dengan demikian, agama Islam menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara.
Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya mengilhami juga lahirnya partai-partai CDU (Christian Democratic Union, Uni Demokratik Kristen), di Jerman dan sejumlah negara lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, dari pada membuat dirinya menjadi wahana bagi formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang telah ditangkap dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Ceritera yang indah, bukan?
Duta Masyarakat Baru, 8/7/2002