Islam dan Bendera Hitam: Menyoal Klaim HTI

Islam dan Bendera Hitam: Menyoal Klaim HTI

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengklaim bendera yang mereka pakai sama dengan Rasulullah. Apakah klaim tersebut memang benar atau justru kebohongan belaka?

Islam dan Bendera Hitam: Menyoal Klaim HTI
Salah satu petinggi HTI, Shiddiq Al Jawi saat berorasi tentang HTI.

Awal penggunaan bendera pada masa Islam, menurut al-Thaibawi, yaitu ketika Rasulullah pertama kali masuk ke kota Yatsrib. Pada masa itu, oleh golongan Anshar, Rasulullah Saw diminta membawa sesuatu yang mampu menunjukkan bahwa itu Rasulullah Saw ketika masuk ke kota tersebut. Rasulullah kemudian menggunakan imamahnya yang diletakkan di sebuah kayu sebagai simbol bahwa itu adalah Rasul Saw.

Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perang Abwa’, tahun pertama Hijriah, pasukan Islam yang dipimpin Hamzah membawa bendera putih sebagai simbol dari laskar perangnya, dan pada waktu itu bendera tersebut dipegang oleh Abu Marsyad.

Pada perang Badar tahun kedua hijriah, panji (al-Liwa’) Islam dipegang oleh Mush’ab bin Umair, dan bendera kalangan Muhajirin di bawah kendali Ali bin Abi Thalib, sedang bendera kaum Anshar di bawa oleh Sa’d bin Mu’adz, yang mana kedua bendera tersebut berwarna hitam. Selanjutnya pada masa perang Uhud, awalnya bendera dipegang oleh Mush’ab bin Umair, karena Mush’ab gugur di medan perang, estafet pemegang bendera dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib dipercaya sebagai pembawa bendera pada masa perang Khaibar.

Eksistensi bendera tidak cukup sampai perang Khaibar, pada masa perang Quraizhah, pasukan muslim juga membawa bendera sebagai pembeda antara pasukan Islam dan pasukan Romawi Arab. Dalam perang ini awalnya bendera dipegang oleh Zaid bin Haritsah, kemudian Ja’far bin Abi Thalib, dan terakhir dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.

Di masa-masa akhir kehidupan Rasulullah Saw, beliau menyiapkan pasukan yang dikomandoi oleh Usamah bin Zaid, dan ia juga yang memegang bendera kepemimpinan. Pada masa ini bendera yang dipakai Rasul hanya meliputi bendera hitam dan putih.

Setelah Rasul Saw wafat, bendera-bendera yang tadinya dipakai pasukan Rasul ketika perang, masih dipakai sampai berakhirnya masa kekhilafahan Khulafa’ al-Rasidin. Selain itu, setiap kabilah –ketika menghadapi perang- diperboleh untuk memakai benderanya masing-masing.

Setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir, estafet perpolitikan Islam dilanjutkan oleh Bani Umayah. Pada masa ini, menurut al-Qalansandi, Bani Umayah memakai bendera hijau. Ada yang mengatakan untuk membedakan antara Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, maka Bani Umayah memakai bendera putih, sedang Bani Abbas berbendera hitam. Namun menurut al-Thaibawi, bahwa bendera Bani Umayah itu berwarna putih dan bertuliskan “La Ilaha Illah Allah Muhammad Rasulallah” dan juga ayat “Nashrun Min Allahi Qarib

Pada masa Bani Abbas, bendera yang digunakan adalah bendera hitam karena banyaknya tentara Bani Abbas yang meninggal. Selanjutnya karena terjadi perpecahan di kalangan Bani Abbas dan kaum pengikut Ali, maka akhirnya Bani Abbas mengganti bendera dengan warna putih. Ketika tampuk kepemimpinan Bani Abbas dipegang al-Makmun, warna bendera Bani Abbas dirubah menjadi hijau. Akan tetapi setelah wafatnya al-Makmun, Abbasiyah kembali memakai bendera hitam sebagai bendera kenegaraannya. Hal tersebut untuk membedakan antara kalangan pendukung Bani Abbas dan kelompok Alawiyyin.

Hukum Penggunaan Bendera Hitam

Pada masa Nabi Saw pengunaan bendera begitu intensif, yang mana setiap kali perang Rasul dan para sahabatnya tidak pernah meninggalkan yang namanya bendera. Sehingga kalau kita mengikuti kaidah fikih yang berbunyi “sesuatu yang diulang-ulang pada suatu masa yang mana hal tersebut berujung kepada syariat maka ia bisa masuk perkara umum dan bisa juga masuk dalam perkara khusus”. Pada masalah ini terdapat dua ungkapan, sebagaimana dinukil oleh Abdul Hamid Hakim, al-Syafii dan para pengikutnya, mengatakan bahwa kalau kita kembalikan ke makna aslinya sebagai suatu budaya maka ia tidak termasuk syariat, sedang kalau kita ambil dari makna dzahirnya maka ia termasuk syariat.

Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan bahwa sunah menggunakan bendera ketika perang. Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zad al-Ma’ad mengatakan bahwa sunah menggunakan bendera di saat perang dan ia menganjurkan panji (al-Liwa’) yang digunakan itu putih, dan bendera (al-Rayat) yang digunakan itu hitam. Sedang ulama-ulama kontemporer yang tergabung dalam Markaz al-Fatwadalam laman Islamweb mengatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun yang mewajibkan bendera umat Islam ketika perang itu pada jenis dan warna tertentu.

Untuk memahami apakah masalah penggunaan bendera ini syariat atau bukan? Maka menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, dalam menentukan apakah itu syariat atau bukan maka kita harus tahu, 1) Kalau hal tersebut merupakan agama, maka hanya kaum Muslimlah yang menjalankannya. 2) Sebagian budaya tersebut sudah dilaksanakan sebelum Islam datang, dan ketika Islam datang budaya tersebut masih dijalankan, sedangkan yang namanya agama itu tidak dijalankan sebelum datangnya Islam. Dan penggunaan bendera serta bendera itu sendiri digunakan oleh umat Islam dan kalangan kafir, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa Ibnu Ubaid (tentara Quraisy dan ia masih dalam keadaan kafir) ketika perang Badar menjadi pembawa bendera Bani Hasyim.

Maka yang wajib kita ambil dari Rasul Saw itu hanya berhubungan dengan syariat, sedangkan apa saja yang berhubungan dengan kebudayaan Arab atau penghidupan dunia maka umat Islam boleh mengambilnya atau meninggalkannya. Dan menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah-nya mengatakan bahwa memperbanyak, memberi warna, serta mamanjangkan bendera itu semata-mata hanya untuk menakut-nakuti musuh dan untuk kepentingan politik suatu pemerintahan. Wallahu A’lam. []