Islam Buih, Islam Kuantitas Bukan Kualitas

Islam Buih, Islam Kuantitas Bukan Kualitas

Melihat sebagian umat Islam begitu rajin turun ke jalan, berteriak-teriak mengusung bendera kelompoknya sembari mengutuk dan mencaci saudaranya sendiri. Dan mereka merasa bangga seakan sedang memerjuangkan ajaran Islam.

Islam Buih, Islam Kuantitas Bukan Kualitas

Kanjeng Nabi Muhammad Saw pernah mewanti-wanti umatnya akan datang suatu masa kelak umat Islam unggul dalam segi kuantitas. Nubuwat ini disabdakan Nabi ketika umat Islam masih segelintir. Ribuan tahun kemudian Islam menjelma menjadi kekuatan yang terlihat unggul dari ukuran jumlah.

Namun, apa yang disampaikan kanjeng Nabi bukanlah sebuah kebanggaan. Sebab, Nabi tidak sedang mengabarkan sebuah kabar gembira. Sebaliknya kabar prihatin. Prihatin, karena di zaman itu, -menurut Nabi- meski unggul jumlah, kuantitas, atau massa, tapi justru serba kekurangan dari segi kualitas.

Nabi memberikan perumpamaan yang tepat. Beliau Saw menyamakan kondisi umat Islam pada zaman itu seperti “buih.” Sifat buih tentu kita mengetahuinya. Terlihat banyak, namun centang perenang dan terombang-ambing dipermainkan gelombang atau ombak lautan.

Redaksi dari Sabda Nabi Saw adalah sebagai berikut : “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).

Dan nubuatan Nabi bisa jadi terwujud di zaman ini. Lihatlah fenomena dunia Islam sekarang. Alih-alih melecut dirinya sendiri mengejar ketertinggalan hampir di segala bidang,  yang ada malah berkutat dengan nostalgia masa lalu.

Mereka membangga-banggakan sebuah masa ketika ratusan cendekiawan muslim bermunculan ibarat jamur di musim hujan. Mereka memuja-muja ilmuwan dan cendekiawan muslim yang telah berhasil menjadi mercusuar di bidangnya masing-masing. Namun, mereka jarang membicarakan pencapaian mereka di masa kini.

Apa sebab ? Karena pencapaian mereka hari ini bisa dikatakan jauh ketinggalan dari bangsa-bangsa Barat. Dan seperti biasa, kambing hitam atas kegagalan dan kemunduran umat dinisbahkan kepada kaum lain. Merekalah yang dianggap sebagai sumber kemunduran dan kemandulan umat Islam hingga kini.

Menunjuk hidung pihak eksternal sebagai biang keladi keterpurukan umat Islam memang cara yang paling mudah. Dan itulah yang dilakukan sebagian elemen dalam dunia Islam selama ini. Menunjuk hidung Barat atau kelompok non muslim sebagai “The Common Enemy seolah sudah menjadi kewajaran yang tercermin tidak hanya di mimbar-mimbar khutbah Jum’at, bahkan juga di media-media Islam kita.

Seakan-akan kita manut dan nrimo provokasi Huntington dalam buku kontroversialnya “The Clash Of Civilization” bahwa Islam adalah “sparing partner” bagi pihak Barat, seringkali sikap kita sendiri seolah membenarkan tesis Huntington tersebut.

Hal ini sesungguhnya memrihatinkan bahwa –seperti diungkap Khaled Abou El Fadl- pemikiran muslim tetap berbentuk pro-Barat atau anti–Barat daripada memfokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih penting: Apakah pemikiran umat Islam di dunia modern ini promanusia atau antimanusia? Apakah pernyataan doktrinal Islam modern manusiawi tidak? Pertanyaan penting ini harus segera dijawab, sebab penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia di sebagian besar negara-negara muslim masih jauh tertinggal.

Posisi umat dan dunia Islam sesungguhnya tergambar dari survei ini. Dalam sebuah studi pada 2014 lalu yang dilakukan Hossein Askari, seorang Guru Besar Politik dan Bisnis Internasional di Universitas George Washington, Amerika Serikat untuk mengetahui negara manakah yang paling banyak mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dan hasilnya ternyata di luar dugaan.

Hasil penelitian Askari yang meliputi 208 negara itu ternyata sangat mengejutkan, karena tak satu pun negara Islam menduduki peringkat 25 besar. Justru, negara-negara seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg dan Selandia Baru mendapatkan nilai paling tinggi dan dinilai sebagai negara lima besar yang paling islami di dunia. Negara-negara lain yang menurut Askari justru menerapkan ajaran Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.

Lalu, bagaimana dengan nasib negara-negara Islam? Malaysia hanya menempati peringkat ke-33. Sementaraitu, negara Islam lain di posisi 50 besar adalah Kuwait di peringkat ke-48, sedangkan Arab Saudi di posisi ke-91 dan Qatar ke-111. “Kami menggarisbawahi bahwa banyak negara yang mengakui diri Islami tetapi justru kerap berbuat tidak adil, korup, dan terbelakang.  Faktanya mereka sama sekali tidak Islami,” ujar Askari.

Askari juga menambahkan, justru negara-negara Barat yang merefleksikan ajaran Islam, termasuk dalam pengembangan perekonomiannya.   “Jika sebuah negara memiliki ciri-ciri tak ada pemilihan, korup, opresif, memiliki pemimpin yang tak adil, tak ada kebebasan, kesenjangan sosial yang besar, tak mengedepankan dialog dan rekonsiliasi, negara itu tidak menunjukkan ciri-ciri Islami,” lanjut Askari (kompas.com, 10 Juni 2014).

Kondisi menyedihkan ini  seakan menegaskan pernyataan, Syaikh Muhammad Abduh yang berkata, ” Aku pergi ke Barat dan melihat Islam, tetapi tidak ada umat Islam, aku kembali ke Timur dan melihat Muslim, tapi bukan Islam.”

Lalu, hari ini kita disuguhi tontonan yang tidak lucu. Melihat sebagian umat Islam begitu rajin turun ke jalan, berteriak-teriak mengusung bendera kelompoknya sembari mengutuk dan mencaci saudaranya sendiri. Dan mereka merasa bangga seakan sedang memerjuangkan ajaran Islam. Padahal sejatinya ini membuktikan sabda Nabi Saw, bahwa umat Islam ibarat buih, yang banyak dari segi kuantitas, namun miskin kualitas.