Seorang teman nyeletuk, apa kehebatan iblis di Indonesia? Saya meraba-raba jawaban untuk pertanyaan unik ini. Kemudian saya cukup terheran-heran karena ia mengatakan seperti ini: “Iblis mampu membuat masyarakat kita menjadikan agama yang mulanya adalah jalan hidup menjadi sekedar gaya hidup.”
Pernyataan ini cukup mak jleb di hati saya. Betapa tidak, baru beberapa waktu lalu saya terlibat dalam sebuah forum diskusi, membahas tema yang cukup identik dengan pernyataan tadi. Kami mendiskusikan cukup serius fenomena “komersialisasi agama” baik di tataran ekonomi hingga politik. Istilah ini menguat bersamaan dengan banyaknya produk-produk, lembaga-lembaga, festival-festival, peraturan-peraturan daerah, serta forum-forum yang berbalut agama.
Sayangnya, ketika kita hendak masuk ke ranah kritis untuk melihat berbagai fenomena tersebut, ada saja yang tega menyebut kita sebagai orang yang anti Islam.
“Kamu gak suka ya lihat syariat ditegakkan?” Begitu kira-kira pertanyaan berbau tuduhan yang kerap dialamatkan. Padahal tidak ada hubungannya antara mengkritisi fenomena komersialisasi agama dengan sikap anti pada agama. Justru pandangan kritis bisa menjadi sebuah otokritik atau penyadaran bagi kita, umat beragama, agar bisa meletakkan agama sesuai tempat dan porsinya.
Sebagai seorang muslim yang pernah belajar di pondok pesantren selama lebih dari 10 tahun, saya selalu ingat pesan universal agama yang diajarkan oleh para kiai (guru, ulama) saya. Setiap tahun saya mendengar sebuah hadis Nabi Muhammad yang berbunyi “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Kenapa akhlak? Karena konteks bangsa Arab di masa sebelum itu terjadi krisis moral yang luar biasa.
Bangsa Arab biasa untuk mengubur anak perempuannya hidup-hidup, memperdagangkan manusia, memperlakukan perempuan seperti harta benda yang bisa diwariskan, dan lain sebagainya. Muhammad kemudian membawa sebuah misi untuk mengubah keadaan yang demikian menjadi keadaan yang lebih baik. Agama menjadi medium perubahan ini sehingga agama dijadikan pedoman atau jalan hidup.
Oleh karena itu, kiai saya sering berkata bahwa seseorang yang berjuang atas nama agama pasti meletakkan akhlak di atas segalanya. Apabila ada orang yang mengaku berjuang atas nama agama tetapi tidak disertai akhlak yang baik, maka bisa dipastikan dia hanya berjuang atas dasar nafsu yang dibalut dengan agama.
Akhir-akhir ini saya sering mendengar keluhan dari teman-teman yang miris dengan berbagai kasus kekerasan dan intoleransi yang terjadi di Indonesia. Ironisnya, agama menjadi hal yang dipertontonkan dan dipertaruhkan di sana.
Di media sosial, saya merasa sedih ketika beberapa tokoh mencerminkan sikap yang jauh dari kata santun dan berakhlak. Belum lagi komentar-komentar yang ada ditulis oleh para pengikutnya, sekali pun postingan tokoh tersebut positif. Misalnya, akun seorang ustad yang mem-posting kabar sakitnya ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj. Ia mendoakan agar sang ulama tersebut segera sehat. Namun komentar para followers-nya sungguh memprihatinkan.
‘Semoga segera bertemu dengan Allah’
‘Kok tidak sekalian mati?’
‘Orang yang zalim terhadap agama lebih baik didoakan agar segera mati’
Ironisnya, akun-akun media sosial tersebut menggunakan atribut-atribut agama, mulai hijab, kalimat tauhid hingga kutipan ayat yang begitu sakral. Hal ini menjadikan celotehan teman saya tadi menemukan konteksnya.
Saat ini kita sedang memasuki fase penting dalam sejarah peradaban manusia.
Banyak orang memperlakukan agama seperti baju. Ketika ia melihat orang lain memakai baju yang sama, maka sekonyong-konyong, apapun yang diucapkan dianggap benar adanya.
Sebaliknya, sebenar apapun yang diucapkan orang dengan baju berbeda, belum tentu dipercaya. Inilah era post-truth di mana kebenaran tidak begitu penting dibuktikan (melalui proses objektivikasi), hanya cukup dilihat dari siapa yang mengatakan (subjektif).
Islam dan Atribut
Tidak ada yang mendebat mengenai posisi agama dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang sakral (sacred). Namun agama harus dibedakan dengan berbagai atribut agama seperti model jilbab, bahasa, dan aksesoris. Hal-hal tersebut adalah bentuk profan. Jika yang pertama adalah jalan hidup, yang kedua bisa disebut sebagai gaya hidup.
Idealnya, antara hal yang sakral dan profan ini berjalan beriringan dan seimbang. Namun jika harus memilih, mana yang lebih penting dari kesakralan agama dengan sesuatu yang pofan, hal ini tergantung sudut pandang yang kita gunakan.
Saya tertarik dengan tulisan Sheila Janmohamed berjudul Generation M (2017). Ia menyoroti gerakan anak muda muslim di Amerika yang mulai membawa agama di ranah budaya pop. Janmohamed melihat ada usaha keras dari kalangan muslim muda untuk menyingkirkan stigma agama Islam sebagai agama yang ‘bukan gue banget’, terutama setelah peristiwa 9/11 yang membuat islamophobia menguat. Mereka ingin mengampanyekan Islam yang ramah, bersahabat, dan bisa jadi nilai positif di kalangan masyarakat Amerika.
Sementara di Indonesia, Yuswohady (2016) pernah menyebut fenomena yang hampir serupa, yang disebutnya sebagai generation muslim (Gen-M). Gen-M disebutnya memiliki empat karakteristik utama: (1) relijius (religious), (2) melihat Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (universal goodness), (3) berwawasan luas, melek teknologi (modern), dan (4) memiliki daya beli yang tinggi (high buying power).
Baik Janmohamed dan Yuswohady sama-sama menyebutkan kemunculan generasi ini salah satunya sebagai tanggapan atas modernisasi yang melanda seluruh dunia. Generasi ini menggunakan budaya pop sebagai bagian dari kehidupan beragama, bukan melihatnya sebagai ancaman.
Sementara kalangan tradisional masih memisahkan antara ajaran agama yang sakral dengan modernitas yang profan, gen-M menawarkan sinergitas keduanya. Berbagai simbol budaya pop diproduksi dan diakui sebagai bagian dari budaya beragama. Bahkan semakin kesini bentuk produk yang ditawarkan semakin menjadi-jadi. Semua harus ada standar cap halal atau syariah, mulai produk kosmetik, pakaian, hingga pakan binatang peliharaan.
Di satu sisi, meningkatnya kesadaran beragama tentu saja menggembirakan. Namun produksi simbol yang berlebihan juga bisa menjebak kita dalam keterasingan. Kita seolah-olah sangat islami dengan berbagai aksesoris bersimbol agama, tetapi di sisi lain kita sangat jauh dengan agama karena masih suka mencaci maki yang berbeda.
Ujung-ujungnya kita akan kebingungan ketika mendapati berbagai hal yang tidak ditempeli simbol agama padahal sebenarnya tidak melanggar ajarannya. Misalnya saja mempermasalahkan ketiadaan cap halal pada warung pecel lele. Padahal ada kaidah hukum fikih dalam Islam bahwa pada dasarnya semua hal itu diperbolehkan (halal) sampai ada dalil yang melarang.
Jika demikian, yang diperlukan sebenarnya bukan stempel halal, tetapi stempel haram. Apalagi jika kita berada di lingkungan yang mayoritas adalah muslim seperti di Indonesia.
Sudah saatnya kita kembali menjadikan agama sebagai jalan menuju kebenaran dan kebaikan, bukan dilihat sebagai pasar yang bisa sekenanya dibuat bahan penglarisan. Bukankah kita ingin agama menjadi jalan hidup, bukan sekadar gaya hidup?
Sarjoko adalah aktivis Jaringan Gusdurian Indonesia dan santri PP Nailul Ula Plosokuning, Yogyakarta.