Sejak awal 1990-an, Soeharto telah membangun sekutu dengan beberapa kelompok Islam. Namun alih-alih dengan NU yang moderat, Soeharto bersekutu dengan kelompok Islam konservatif. Tidak heran pada 1998 kelompok ini berusaha keras mempertahankan kekuasaan Orde Baru yang mau tumbang.
Setelah Soeharto tumbang, kelompok Islam konservatif ini mengorganisasikan diri lebih formal. Di antaranya adalah Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Rizieq Shihab. Kiprah sosial-politik tokoh ini melesat pesat, termasuk sejumlah figur keturunan Arab lainnya.
Belakangan Rizieq Shihab kabur ke Saudi, lalu muncullah Bahar bin Smith. Jelas kualitasnya jauh di bawah Rizieq. Dia hanya anak muda berangasan yang kebetulan ditakdirkan lahir sebagai keturunan Arab. Lalu orang-orang menyebutnya dengan penuh hormat sebagai habib, sebutan yang sejatinya bernilai spiritual tinggi.
Kalau kemudian dia muncul bareng Tommy Soeharto, ini tidak mengejutkan. Tommy hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Sebaliknya, Bahar juga hanya meneruskan apa yang telah dijalin oleh para seniornya.
Para politisi, mulai Soeharto hingga Tommy dan juga Prabowo, sangat paham bagaimana menggunakan kendaraan Islam. Tentu karena mereka sulit mengajak NU, meraka membangun sekutu dengan kelompok Islam yang semakin mencuat di bawah kepemimpinan sejumlah habib konservatif. Sebagai organisasi besar dengan fondasi intelektual-keagamaan yang kuat, NU tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu seperti itu.
Sulit menemukan alasan agama di balik aliansi tersebut. Kehormatan dan uang adalah faktor penjelas yang masuk akal. Kita boleh mengutuk ini, tetapi kenyataannya sebagian umat tidak mempedulikannya.