Dibalik lahirnya Kitab fenomenal Shahih Bukhori dalam bidang hadis, ternyata terdapat sosok kunci yang membuat Imam al-Bukhari menyusun sebuah Kitab kompilasi hadis-hadis sahih Rasulullah SAW. Sosok itu tak lain adalah sang guru, Ishaq bin Ibrahim Rahawaih.
Hal tersebut bermula ketika suatu saat Imam al-Bukhari menemui sang guru. Cerita ini diabadikan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Hadyus Sari Muqaddimah Shahih Bukhori. Pada pertemuan tersebut Ishaq bin Rawaihah memberikan satu permintaan khusus kepada Imam Bukhori:
لو جمعتم كتابا مختصرا لصحيح سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Jikalau engkau mau mengumpulkan Hadis-hadis Sahih Nabi SAW secara ringkas dan padat”
Mendapatkan perintah tersebut, Imam al-Bukhari seketika terenyuh dan tergerak hatinya untuk memulai mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah SAW. Sebenarnya sebelum Ishaq bin Rahawaih memberikan perintah untuk menyusun kitab hadis, keduanya sudah menyaksikan fenomena yang begitu mengkhawatirkan sedang menghampiri umat Islam. Pada saat itu tren mengarang kitab hadis sudah marak dilakukan. Namun pada saat yang sama, karya-karya tersebut masih tercampur antara hadis-hadis daif, hasan maupun sahih. Hal itulah yang kemudian membuat Ishaq bin Rahawaih mendorong muridnya tersebut untuk mengumpulkan hadis-hadis Sahih, yaitu sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga otentitas kalam-kalam Rasulullah.
Sebagai guru, Ishaq bin Rahawaih banyak berperan dalam karir intelektual Imam al-Bukhari. Berikut biografi Ishaq bin Rahawaih.
Lahirnya ‘Anak jalanan’
Bernama lengkap Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih Al-Maruzi al-Handzali. Dilahirkan di Kota Moro, Khurasan pada tahun 161 H. Ada yang menarik di balik nama julukan yang disandangnya, Ibnu Rahawaih. Julukan tersebut mulanya ditujukan kepada bapaknya, Ibrahim yang dilahirkan ketika sedang di tengah jalan menuju Makkah. Sehingga dari sini masyarakat menjulukinya ‘Anak jalanan’ dalam bahasa Persia. ‘Raah’ dalam bahasa Persia berarti jalan, sedangkan ‘waih’ berarti menemukan. Sehingga dijulukilah ia sebagai rahawaih.
Sang ayah sebenarnya kurang berkenan jika ia dijuluki dengan nama tersebut, namun justru sang anak sama sekali tidak keberatan dengan nama tersebut. Sehingga sampai saat ini Ishaq bin Ibrahim lebih dikenal dengan julukannya Ishaq bin Rahawaih.
Dilahirkan di Kota dengan lingkungan religi yang kental, semenjak kecil Ishaq bin Rahawaih telah banyak mendapat bimbingan spiritual dari Ulama pembesar di Kota Khurasan. Di antaranya adalah Imam Abdullah bin Mubarak, kepadanya Abu Ishaq belajar ketika masih berusia sangat dini. Sehingga walaupun sudah banyak mendapat ilmu, namun beliau masih dilarang untuk meriwayatkan hadis mengingat usianya yang masih dini. Selain belajar kepada ulama setempat, di rumah beliau juga mendapat tempaan ilmu yang ketat dari sang ayah. .
Sebagai seorang yang haus akan ilmu, Ibnu Ishaq tak puas hanya mengecup manisnya ilmu di kampung halaman saja. Beliau memutuskan untuk berhijrah dalam rangka menuntut ilmu. Kota pertama yang dipilihnya adalah Iraq. Pada saat itu usianya sudah 23 tahun. Di Iraq beliau tidak sendiri, beliau bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Bersama karib barunya itu beliau sering berdiskusi dan belajar bersama di manapun berada. Dengannya pula beliau dengan sabar mendatangi satu-persatu ulama yang membuka majelis ilmu di Iraq.
Tak puas sampai di situ beliau kembali meneruskan rihlah pencarian ilmunya menuju Kota-kota lain, di antaranya Hijaz, Yaman, Syam, dan Mesir. Di sana beliau menimba ilmu dari Ulama-ulama besar, di antaranya Imam Fudhail bin Iyadh, Jarir bin Abdul Hamid ar-raazi, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Walid bin Muslim dan Abdullah bin Wahb, Waki’ bin Al-Jarrah dan masih banyak lagi.
Pakar Hadis
Seperti yang sudah disinggung diawal Ibnu Rahawaih ini dikenal sebagai ulama pakar hadis. Kedudukannya dalam bidang hadis digambarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai Amirul Mu’minin fil Hadits, pemimpin para ulama hadis. Julukan ini rasanya tidaklah berlebihan mengingat kadalaman dan kemampuan hafalannya yang sangat tinggi.
Diriwayatkan ketika menyampaikan sebuah hadis tidak pernah membawa kitab ataupun catatan. Beliau sepenuhnya menggunakan hafalan yang telah melekat di luar kepalanya. Abu Dawud al Khaffaf juga pernah berkisah yang diabadikan oleh Imam Ad-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala suatu ketika Ishaq bin Rahawaih pernah menuliskan kepadanya dan teman-temannya sebelas ribu hadis dari hafalannya sendiri. Tidak sampai di situ, bahkan setelah itu Ishaq membaca semuanya tanpa ada kekurangan atau kelebihan satu huruf pun. Apa yang tertulis di lembaran-lembaran catatan disebutkan dengan sempurna tanpa ada kesalahan.
Pernah pula Ishaq bin Rahawaih ditanya oleh Abdullah bin Thahir tentang kemampuannya menghafal seratus ribu hadis. Maka Ishaq menegaskan bahwa tidaklah beliau mendengar sesuatu melainkan pasti menghafalnya dan tidaklah beliau hafal sesuatu kemudian lupa.
Beliau juga memiliki karya dalam bidang hadis slah satunya adalah Al-Musnad. Kitab tersebut termasuk salah satu kitab pokok generasi awal dalam kodifikasi ilmu hadis. Dalam kitab tersebut beliau sangat memperhatikan perihal status sebuah hadis. Beliau sangat menghindari hadis yang memiliki jalur periwayatan lemah, lebih-lebih hadis yang ditengarai merupakan hadis maudhu’ atau palsu.
Kehati-hatian ini pula yang kemudian mendorongnya untuk menginstruksikan kepada muridnya untuk lebih ketat memverifikasi status sebuah hadis dalam kitabnya. Seperti yang dilakukan salah satu muridnya yakni Imam al-Bukhari dan Muslim.
Baca juga: Ibnu Ishaq dan Buku Sejarah (Sirah) Nabi
Sukses Mendidik Banyak Pakar Hadis
Kemoncerannya dalam bidang hadis ternyata banyak didengar oleh banyak pihak. Sehinga banyak sekali para pelajar yang silih berganti berguru kepada Ishaq bin Rahawaih. Berkat kedalaman dan tangan dingin Ishaq bin Rahawaih dalam mendidik para santri. Beliau berhasil mencetak penerus-penerus yang tak kalah hebat dibandingnya. Bahkan di antara murid-muridnya hingga kini menjadi rujukan yang otoritatif dalam bidang hadis.
Di antara yang paling masyhur tentunya adalah Muhammad bin Ismail bin Mughirah al-Ja’fi atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Bukhari (w. 256 H). Ada juga nama Imam Muslim bin Hajjaj (w. 261 H) pemilik Kitab Sahih Muslim. Selain kedua nama tersebut juga ada Imam An-Nasa’i yang mempunyai kitab kompilasi hadis Sunan An-Nasa’i (w. 303 H), juga Imam Ad-Darimi (w. 280 H) yang mempunyai Kitab Musnad Ad-Darimi, Imam At-Tirmidzi (w. 279 H), Yahya bin Said al-Qatthan (w. 198 H), dan masih banyak lagi.
Imam Ishaq bin Rahawaih wafat di usia 77 tahun tepat pada tahun 238 H. Beliau kemudian dimakamkan di Kota Naisabur, Iran.