Siaran Mata Najwa di salah satu televisi swasta nasional kemarin menghentak kesadaran kita semua. Tayangan itu mengulik tentang penjara koruptor, yang ternyata di luar dugaan terlihat palsu dan penuh rekayasa. Sungguh berbanding terbalik dengan hukuman yang seharusnya mereka terima. Kenyataan itu sangat melukai hati masyarakat. Vonis pidana yang telah dijatuhkan di pengadilan tidak membuat mereka jera. Malah semakin menjadi.
Mereka ingin tetap hidup enak tanpa harus bersusah payah, dan bisa menikmati kehidupan mewah dengan fasilitas sel serasa di rumah sendiri. Sementara di sudut lain negeri ini masih banyak rakyat miskin yang belum memiliki rumah tinggal yang layak huni. Saya tak habis pikir, apa sebenarnya yang ada di benak para napi koruptor itu?
Oke, jika memang pertanyaan saya tadi agak berlebihan. Ketika sudah ketahuan oleh seluruh rakyat Indonesia, kelakuan para napi koruptor ini yang telah mereka curi uangnya, entah untuk apa dan siapa, mendapatkan (atau diberikan?) fasililtas kamar penjara yang berbeda dengan napi lainnya bagaimana perasaannya?
Tak adakah rasa bersalah dan malu di hati mereka? Atau mungkin rasa itu bagi mereka telah mati. Terkubur bersama nyali mengambil uang negara tanpa jerih meski menuai caci maki.
Ketika temuan Mata Najwa ini diungggah melalui akun media sosial resmi, banyak komentar netizen yang bernada kecaman dan kemarahan atas fakta yang terjadi.
Ada yang mengusulkan agar Napi Koruptor jangan di hukum penjara, tetapi dilibatkan dalam kegiatan sosial membantu orang papa dan kaum dhuafa. Laiknya pekerja sosial turun langsung ke masyarakat, agar para napi ini merasakan betul apa yang diderita rakyat.
Atau diperbantukan dalam panti jompo dan panti asuhan, supaya mengingati diri bagaimana hidup sebatang kara tak ada siapa-siapa, dan tak punya apa-apa.
Pilihan yang lain, memperbantukan mereka menjadi relawan dalam kegiatan kemanusiaan, atau bencana alam. Selain itu memiskinkan mereka dalam rentang tahun yang telah disepakati sesuai dengan kesalahan yang telah mereka buat.
Informasi lain yang saya dapatkan, di Lapas Sukamiskin Bandung, para napi Koruptor bisa menikmati fasilitas mewah dengan perabotan dan peralatan elektronik. Tentunya jika mereka bisa membayar kisaran 200 juta sampai dengan 500 juta rupiah.
Angka yang cukup funtastis bagi masyarakat biasa, para buruh, petani, dan nelayan. Rakyat kecil seperti mereka harus berjuang bekerja bertahun-tahun untuk bisa memperoleh uang segede itu.
Kita bandingkan dengan kasus tragis Nenek Asyani yang dituduh mencuri kayu jati di lahan Perhutani untuk dibuat tempat tidur. Dia divonis bersalah dengan masa tahanan 1 tahun dan denda 500 juta rupiah.
Kisah lain, para maling ayam dan pencuri kambuhan, yang tak sanggup membayar sejumlah uang itu, sehingga harus makan dan tidur dengan fasilitas seadanya. Makan dengan sederhana, dan tidur hanya beralaskan kasur tipis.
Pertanyaannya, mengapa para napi koruptor tidak diperlakukan sama saja dengan para napi lain? mengapa harus dibedakan? toh mereka sudah terbukti lebih banyak merugikan negara, dibandingkan napi biasa lainnya.
Baca juga: Kamar Kos Ustadz Luthfi Hasan Ishaq
Tidak adanya kesetaraan dan perlakuan yang tidak adil menambah potret buram hukum dan peradilan di Indonesia. Ketidakpercayaan publik tehadap penegakan hukum seharusnya dijawab pemerintah dengan komitmen dan pembenahan sistem penjara.
Pemerintah harus terbuka pada masyarakat apa sebenarnya yang terjadi, dan bagaimana perlakuan berbeda itu bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak semakin mencederai keputusan hukum yang sudah mengikat kuat.
Tentu pembaca hafal dengan lirik lagu “Seperti Para Koruptor” Slank :
Aku gak butuh uangmu
Aku gak butuh hartamu
Yang kubutuh hanya cintamu
Setulus cintaku padamu
Aku gak mau warisanmu
Aku gak mau kekayaanmu
Yang ku mau rasa sayangmu
Sesayang aku padamu
Reff.
Hidup sederhana
Gak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan
Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor 2x
Aku gak perlu make up mu
Aku gak perlu bajumu
Yang ku perlu isi dadamu
Sepenuh kasihku padamu
Aku gak penting warna lipstikmu
Aku gak penting perhiasanmu
Yang penting jujur hatimu
Sejujurnya aku falling in love padamu
Tetapi justru dengan mendengarkan kembali lagu Slank, saya meragukan masih ada kejujuran dan cinta di hati para koruptor.
Lalu di mana peran agama pada fenomena tingkah laku para koruptor tersebut? Sebagai penutup tulisan, saya meminjam kalimat KH. Husein Muhammad dalam buku terbarunya “Pendar-pendar Kebijaksanaan”.
“Agama selalu hadir untuk membuat orang menjadi baik, saleh, rendah hati, menjauhi yang diharamkan Tuhan, antara lain korupsi, segala macam kejahatan dan keburukan. Sebaliknya, agama memerintahkan kasih sayang kepada sesama, menolong yang lemah, menganjurkan sedekah, dan lain-lain.”
Jika ada orang beragama melakukan sebaliknya, maka dia tidak menjalankan ajaran agama. Kalau Setyo Novanto, bagaimana?
*selengkapnya, klik di sini