Terorisme berakar bermula dari intoleransi baik di dunia nyuata maupun di dunia media sosial. Hal terserbut dikatakan oleh Koordinator Tim Riset Program Prioritas Nasional Membangun Narasi Positif Kebangsaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, dalam diskusi yang bertajuk Memutus Mata Rantai Terorisme Mungkinkah? : Kegagalan dan keberhasilan Deradikalisasi yang digelar LIPI di Jakarta, Kamis (17/05)
Cahyo menambahkan bahwa intoleransi keagamaan merupakan lahan subur bagi terorisme. “Terorisme berakar pada radikalisme. Radikalisme berakar pada intoleransi baik di dunia nyata maupun media sosial,” katanya seperti dikutip Kantor Berita Antara. Lebih lanjut Cahyo mengungkapkan bahwa, radikalisme agama adalah bentuk-bentuk interpretasi keagamaan yang mendorong penganutnya, baik secara aktif maupun pasif, untuk mendorong penggantian sistem politik yang berlaku di sebuah negara. Adapun, intoleransi adalah orientasi negatif atau penolakan seseorang terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang tidak disetujui. Berdasarkan definisi tersebut, maka karakter radikalisme adalah memiliki aspirasi untuk mengganti dasar negara dan sistem politik yang berlaku serta penolakan terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang tidak disetujui. “Terdapat empat kategori radikalisme dan intoleransi, yaitu radikalisme kekerasan, radikalisme nonkekerasan, intoleransi kekerasan dan intoleransi nonkekerasan,”tambahnya
Sementara itu Ali Fauzi Manzi, mantan narapidana terorisme dan menjadi praktisi deradikalisasi mengatakan bahwa terorisme bukan produk instan yang lahir begitu saja, melainkan sebuh produk yang melakoni proses yang panjang. Ali mengibaratkan terorisme adalah sebagai penyakit yang sudah mengalami komplikasi dengan penanganan yang tidak tunggal.” Ibarat penyakit komplikasi, memerlukan dokter spesialis dan perlu kampanye pencegahan oleh mereka yang pernah mengalami penyakit ini.Saya salah satunya,”ungkap Ali yang pernah terlibat pemboman di Bali.
.