Intoleransi di Pelupuk Mata, Pesan Cinta untuk Pak Menteri Agama Fachrul Razi

Intoleransi di Pelupuk Mata, Pesan Cinta untuk Pak Menteri Agama Fachrul Razi

ini pesan cinta untuk Pak Menteri Fachrul Rozi, Intoleransi: yang dekat dibiarkan, yang jauh justru dikecam

Intoleransi di Pelupuk Mata, Pesan Cinta untuk Pak Menteri Agama Fachrul Razi

Akhir-akhir ini media massa di warnai dengan adanya tragedi kekerasan di India. Pemicunya adalah, Undang-undang ‘anti-muslim’ di mana pemerintah India hanya memberi status kewarganegaraan ke imigran yang di negaranya menjadi korban persekusi, namun salah satu syaratnya adalah harus beragama Hindu, Kristen dan agama minorita—selain islam. Dan yang menyedihkan lagi, Perdana Menteri India, Narendra Mohdi, mengesahkannya. Tindakan diskriminatif di manapun berada selalu menjadi masalah, seolah tak bisa dihentikan. Bahkan terkadang para pembuat kebijakan secara halus jadi pendukung atas tindakan tersebut melalui berbagai kebijakan yang mereka sahkan sendiri.

Diskriminasi tentu banyak cakupannya, namun yang kerapkali terjadi adalah diskriminasi agama. Sebagai contoh misalnya, di Indonesia untuk membangun rumah ibadah untuk umat islam: Langgar/Mushola/Masjid nampak lebih mudah daripada untuk mendirikan gereja. Alasannya bisa macam-macam, salajh satunya ketakutan akan adanya Kristenisasi atau adanya gereja dianggap sebagai sarana untuk memurtadkan orang islam.

Saya teringat dengan pembahasan Mbak Alissa Wahid mengenai mayoritarianisme sebagai persolan serius kita. Kenapa? Yang mayoritas merasa terancam dengan keberadaan yang lain (minoritas).

Dalam hal penolakan rumah ibadah, salah satu alasan konyol yang tidak jarang dimunculkan adalah soal ketakutan itu. Bagi saya, boleh dibilang mereka mendiskriminasi umat beragama lain. Parahnya dasar ketakutan itu kurang logis. Bagaimana bisa orang tiba-tiba murtad hanya karena melihat gereja?

 

Saya mengenal salah seorang dosen beragama islam dan mengajar di Institut Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Italia. Beliau tidak sebatas melihat gereja namun juga mengajar orang-orang katholik dan bahkan tinggal di Pusat Kekatholikan dunia. Tetapi sampai hari ini, hal tersebut tidak pernah menjadikannya murtad. Sehingga alasan menolak rumah ibadah—dalam hal ini gereja, dengan dalih kekhawatiran iman bagi saya adalah alasan yang konyol.

Nah, soal kejadian tidak manusiawi yang tengah menimpa sebagian umat islam di India, saya mengamati banyak sekali umat islam di Indonesia yang berempati dengan beragam ekspresi. Bahkan salah seorang warganet di akun instagram juga marah kepada saya. Alasannya, saya dianggap tidak menunjukkan empati ke umat islam di India.

Baru-baru ini sebagaimana dilansir oleh detik.com (28/02) Menteri Agama, Fachrul Razi mengatakan, “Saya berharap umat di Indonesia bisa mengambil pelajaran dari di India. Kekerasan atas nama agama tidak boleh terjadi di Indonesia. Mari kita kedepankan kehidupan beragama yang damai, rukun, toleran, bersama dalam keragaman.”

Berbagai bentuk empati dan simpati baik dari warga masyarakat hingga menteri jelas perbuatan yang baik dan boleh diapresiasi. Namun menjadi tidak elok apabila empati tersebut digiring seolah umat islam adalah umat yang paling teraniaya. Faktanya, harus kita sadari, setiap tempat memiliki problem diskriminasi agamanya masing-masing. Misalnya, di Amerika ada Islamophobia, di negara lain ada anti-semitism. Di Indonesia ada yang phobia dengan Kristen dan agama lain, dan seterusnya.

Jika kita bisa berempati mendalam ke umat seagama kita yang tengah menjadi korban diskriminasi di negara lain, kenapa kita tidak bisa lebih berempati kepada saudara/I kita di Indonesia yang juga menjadi korban diskriminasi agama? Bukankah mereka juga korban tindakan tidak manusiawi? Apakah hanya karena yang dinegara kita ini berbeda agama lantas kita biarkan? Atau justru kita malah mendukung kalau umat beragama lain didiskriminasi?

Empati yang ditunjukkan oleh Pak Menag tentu saja baik.  Tapi, Pak Menteri, kalau boleh saya minta tolong, pernyataan bapak tersebut mari kita dorong lebih lagi. Untuk apa? Tentu saja untuk lebih diimplementasikan di negara Indonesia.

Jujur saja, asanya miris ketika Bapak menyatakan kalimat yang sejuk tersebut, sedangkan di Negara kita masih ada permasalahan intoleransi hingga diskriminasi yang sampai hari ini belum menumui penyelesaiannya.

Pak Menteri, Intoleransi tidak cukup hanya dengan dikecam tapi harus ditindak, Pak. Sebagai Menteri Agama tentu memiliki jangkauan yang lebih luas untuk menangani masalah intoleransi yang ada di Indonesia.  Toleransi itu tidak datang alami tapi dibentuk sebagaimana pesan Romo Leo Mali, Pr kepada saya bahwa Diversity is nature, but tolerance and respect should be nurtured.