Tanpa disadari, meja makan adalah tempat terjadinya intoleransi pangan. Nasi beras menjadi makanan pokok seolah tidak perlu kembali dipertanyakan dan kita hanya makan lalu kenyang. Selain itu, karena nasi beras pulalah muncul asumsi bahwa orang Indonesia tidak disebut sudah makan, jika belum memakan nasi di meja makannya. Nasi beras menjadi makanan yang tak tergantikan dan seperti mustahil untuk dihilangkan dari menu harian.
Bahkan, pemerintah mesti repot membuat program raskin atau yang disebut beras (untuk orang) miskin, jika suatu daerah kekurangan beras. Selain itu, indikator kesejahteraan pun selalu diukur dengan ketercukupan beras, walaupun di daerah tersebut mustahil tumbuh padi penghasil beras.
Pada masa kecil, ibu saya tidak hanya sekadar mengolah beras menjadi nasi untuk kebutuhan pangan keluarga. Ibu saya juga sering menanak singkong menjadi nasi yang sebelumnya dipotong persegi kecil dan kami menyebutnya dengan nasi singkong. Sebuah nasi yang benar-benar diolah dari singkong semata. Selain itu, ibu saya juga sering mencampur singkong tersebut dengan beras agar pangan di meja makan tidak monoton.
Namun, lidah masa kecil saya tidak bersahabat dengan singkong. Hal ini bukan tanpa sebab, lidah saya sudah terlanjur terdidik dan terbiasa dengan nasi beras daripada nasi singkong. Oleh karena itu, dari semua anggota keluarga, saya sering menolak makan jika yang tersedia hanya nasi singkong. Hingga akhirnya, semua anggota keluarga hanya mengonsumsi nasi beras semata untuk kebutuhan harian dan singkong tidak menjadi varian pangan keluarga dan tak lagi ditemukan di meja makan.
Menggunakan beras sebagai pangan satu-satunya bukan tanpa alasan. Saat ekonomi keluarga masih terbatas, keluarga saya masih menanam singkong, tanaman palawija, dan kacang-kacangan di sebuah lahan kecil. Saat itu adalah masa-masa saya masih merasakan kandungan karbohidrat dari beragam tanaman seperti jagung dan kacang-kacangan. Masa itu, ibu saya masih sering mencari tanaman yang tumbuh liar di lingkungan sekitar rumah untuk diolah menjadi makanan pokok ataupun sayur-sayuran. Namun, setelah ekonomi keluarga cukup membaik dan cukup mampu membeli beras, akhirnya keluarga saya mengonsumsi beras hingga hari ini.
Dari gambaran kecil ini, semakin sejahtera kehidupan keluarga, maka semakin seragam kebutuhan makanan pokoknya. Dan bahkan, pengalaman keluarga saya ini bukan satu-satunya.
Orde Baru dan Swasembada Beras
Kehadiran beras sebagai satu-satunya pilihan makanan pokok tidak hadir begitu saja. Setidaknya kebijakan pemerintah sejak Orde Baru yang menempatkan beras sebagai satu-satunya makanan pokok menjadi titik tolak mengapa makanan pokok orang Indonesia seragam. Singkong yang awalnya menjadi variasi harian terpinggirkan dari meja makan. Padahal, menurut Fadly Rahman, seorang sejarawan kuliner Indonesia menyatakan bahwa umbi-umbian merupakan pangan endemik di Indonesia. Padi baru dikenal saat agama Hindu-Buddha tersebar dan membawa pengaruh dari daerah asalnya.
Kebijakan Orde Baru menggelar Revolusi Hijau yang saat itu ramai diperbincangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya. Rekayasa pertanian yang ditemukan oleh Norman Ernest Borlaug, agronom Amerika Serikat dan peraih Nobel Perdamaian itu diterapkan di Indonesia pada awal pemerintahan Soeharto untuk menstabilkan harga kebutuhan makanan pokok di pasaran.
Kebijakan tersebut dinyatakan berhasil saat Indonesia tidak lagi mengimpor beras dan bahkan menyatakan swasembada pangan pada 1984. Atas prestasi ini, Soeharto diberi kesempatan untuk memberikan pidato penghormatan dalam sidang Food Agriculture Organization (FAO) di Roma pada 1985. Kebijakan yang sudah dilakukan sejak 1970-an tersebut membuat perubahan besar pada pola konsumsi masyarakat di setiap daerah yang masih berada dalam kawasan Indonesia untuk beralih ke nasi beras untuk kebutuhan pokoknya.
Akan tetapi, swasembada beras yang dibanggakan itu tidak berlangsung lama. Pada awal 1990-an, Indonesia kembali mengalami krisis pangan dan membuat Soeharto mengampanyekan untuk menengok kembali singkong sebagai pangan alternatif. Namun, lidah yang bertahun-tahun berjarak dengan singkong tidak berubah begitu saja. Lidah sebagian besar orang Indonesia sudah terlanjur akrab dengan nasi beras dan perlu waktu yang cukup panjang di tengah impor beras masih menjadi andalan. Kebijakan terebut membuat Indonesia ketergantungan dengan beras diimpor yang didatangkan dari negara lain. Selain itu, ironi lain Indonesia adalah menjadi pengimpor gandum yang cukup besar. Padahal, gandum bukan makanan pokok orang Indonesia dan hanya menjadi bahan baku mi instan yang rendah gizi. Namun, jangan salah, mi instan adalah primadona yang sampai hari ini masih laris manis dan barangkali satu-satunya makanan yang bisa menyatukan makanan Indonesia.
Perubahan pola konsumsi ini tidak hanya menyebabkan ketergantungan dengan beras, melainkan juga mengubah pola kebudayaan masyarakat di banyak tempat. Beberapa daerah kering yang mustahil ditanam padi menjadi bergantung dengan beras dan tidak dapat lagi mengolah tanaman seperti singkong atau tanaman yang tahan kekeringan seperti sorgum.
Setelah Orde Baru runtuh, warisan kebijakan dan bahkan kebiasaan konsumsi nasi beras tidak begitu saja hilang. Kebijakan bias beras selalu menjadi pilihan pemerintah. Mulai dari raskin hingga rastra atau beras sejahtera di era Jokowi yang pada intinya adalah konsumsi pokok dengan beras. Hal ini yang kemudian membuat daerah pedalaman seperti Papua terpaksa memakan beras. Padahal, daerah tersebut secara kultural tradisional bukan pemakan nasi beras. Orang Papua lebih dekat dengan sagu yang tumbuh liar di hutan-hutan.
Namun, orang Papua mesti menelan pil pahit saat pemerintah mengalihfungsikan hutan dan menyulapnya menjadi berhektar-hektar sawah. Padahal, menanam padi bukan budaya tanam orang Papua. Bahkan, rencana pemerintah yang akan mencetak sawah di Kalimantan Tengah seperti mengulang kebijakan bias beras yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Soeharto.
Program swasembada pangan pemerintah bukan ide yang sepenuhnya keliru jika hal itu diartikan tidak hanya sebagai swasembada beras. Swasembada makanan pokok orang Indonesia seharusnya bisa hadir dengan beragam jenis. Swasembada jagung, singkong, sorgum hingga tanaman pangan lainnya yang menjadi konsumsi karbohidrat harian dan tergantung budaya tanam di sebuah daerah. Selain itu, sumber pangan nonberas dinyatakan lebih rendah gula dan tentu saja lebih menyehatkan.
Pengalaman penyeragaman pola konsumsi pangan sering kali tidak disadari. Sebab, berubahnya budaya makan sangat dipengaruhi oleh budaya tanam yang dilakukan. Oleh karena itu, perspektif pangan nasional kita seharusnya bukan lagi ketahanan pangan, melainkan kemandirian pangan. Kita memakan apa yang kita tanam.
Tidak peduli apa suku dan agama seseorang di Indonesia, beras seharusnya tidak menjadi makanan pokok satu-satunya di seluruh lapisan budaya makan masyarakat Indonesia. Meja makan semestinya menjadi perpaduan keberagaman dengan pangan yang tersaji di atasnya. Selain itu juga menjadi penanda bahwa Indonesia memang benar-benar bangsa yang beragam dan toleran sejak di meja makan, tidak hanya dalam keyakinan atau bahkan hanya tersisa sebagai slogan.