Dalam dua dekade terakhir, istilah intoleransi mendominasi wacana politik di negeri ini. Hampir semua permasalahan dilarikan akarnya ke sana. Pokoknya, kesimpulanya, gara-gara orang-orang yang intoleran, negeri kita dianggap tidak aman dan nyaman lagi.
Tentu saja kesimpulan tersebut ada benarnya. Akan tetapi, siapa sesungguhnya orang-orang intoleran itu? Apakah mereka adalah orang-orang yang ikut-ikutan aksi 212? Atau mereka yang mengongkosi ratusan bus sedemikian rupa sehingga ribuan orang bisa berangkat ke Jakarta di akhir 2016 itu?
Bagi saya, apapun jawaban terhadap pertanyaan di atas, itu tidak akan memuaskan. Secanggih apapun teori atau sebanyak apapun data yang digunakan, hasil akhir dari pencarian atas jawaban tersebut sudah bisa ditebak: mereka adalah orang-orang jahat, tidak bisa menerima keberagaman kultural sebagaimana dimanifestasikan pada sosok Ahok.
Jawaban yang moralistik memang powerful, sangat kuat dan mudah ditangkap maknanya oleh awam. Karena itu pula wacana mengenai intoleransi diterima begitu saja. Bobot normatifnya yang berat membuat wacana intoleransi diterima sebagai permasalahan utama politik di negeri ini.
Akan tetapi, kalau kita mau melihat realitas secara lebih komprehensif, suatu pandangan yang lebih terbuka akan segera tampak di depan mata. Sejak Perppu No No. 2/2017 diberlakukan dan sejak Prabowo Subianto bergabung ke kabinet pemerintahan Joko Widodo, apa yang kita anggap intoleransi itu secara cepat menghilang dari permukaan. Satu atau dua aksi masih terjadi, tetapi resonansinya terlalu lemah untuk menyulut mobilisasi. Satu atau dua orang ngoceh di media sosial, tetapi itu lebih berupa parodi daripada aspirasi gerakan sosial.
Dari contoh itu saya berpendapat bahwa jangan-jangan permaslahan politik di negeri ini bukan intoleransi, tetapi krisis demokrasi dalam pengertian yang lebih struktural. Berbagai konflik sosial yang terjadi sejak akhir 1990-an adalah bagian dari proses penataan ulang demokrasi kita yang sebelumnya dikontrol secara tertutup ke bentuk-bentuk baru yang lebih terbuka. Dalam proses ini, komposisi kekuasaan yang menyusun negara mengalami pergeseran yang cukup pasti menimbulkan perseteruan.
Kalau permasalahnya adalah krisis demokrasi, maka yang sesungguhnya terjadi bukan sekadar intoleransi dalam pengertian kultural seperti yang sering dipahami sekarang, melainkan suatu proses perebutan kontrol tehadap sumber daya publik. Karena fokus kita melulu intoleransi, sumber daya publik malah menjadi bahan bancakan kaum elit yang terpilih–ironisnya–secara demokratis melalui pemilihan umum. Persis pada titik ini demokrasi (liberal, bahkan neoliberal) memperlihatkan krisisnya.
Saya cukup sadar krisis demokrasi adalah wacana yang rumit. Karena itu itu, kelas menengah dan kelas atas kurang suka membahasnya. Bagi mereka, wacana mengenai intoleransi lebih mudah dipahami, sebab pelakunya dianggap telah jelas, yaitu orang-orang bodoh yang rela panas-panasan di Monas karena nasi bungkus. Anggapan yang menggampangkan ini tidak menjelaskan apa-apa kecuali memenuhi kebutuhan eksistensial kelas menengah dan kelas atas yang ingin dianggap lebih pintar dan lebih kaya dari pada “people on the street” lainnya. (AN)