Intelegensi ditengarai sebagai suatu potensi yang luar biasa pada diri manusia. Sebab dengan intelegensi manusia bisa mengarahkan tingkah lakunya untuk lebih menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Belum lagi pada abad ke-21 ini, trend-trend tes intelegensi dan semacamnya menjadi marak dilakukan di sejumlah institusi. Sejumlah sekolah bahkan tidak tanggung-tanggung untuk meletakkan standar yang amat tinggi untuk tingkat intelegensi peserta-peserta didik yang akan diterima sehingga berimbas pada sejumlah prosedur pendaftaran yang semakin kompleks.
Dari kemarakan dan potensi luar biasa tersebut, alangkah baiknya kita dapat mengetahui elemen mendasar dari intelegensi. Ditambah lagi dengan pembahasan terkait intelegensi dalam Islam sebagai langkah untuk integritas ilmu pengetahuan dan agama.
Dalam bahasa Indonesia, istilah intelegensi mempunyai padanan makna dengan kata “kecerdasan”. Walau sepintas kata tersebut terlihat jelas, akan tetapi untuk memahamkan istilah intelegensi nyatanya agak rumit. Sebab tidak semua orang memiliki pendapat yang sama.
Muncul banyak perbedaan mengenai pendefinisisan istilah intelegensi. Hampir semua orang memiliki pemikiran mengenai apa yang dimaksud dengan intelegensi atau kecerdasan. Misal, ada yang mengakatakannya sebagai “kecerdasan”, “kemengertian”, “kemampuan untuk berpikir”, “kemampuan untuk menguasai”, dan sebagainya.
Para ahli sendiri juga mempunyai rumusan dan konsep yang berbeda-beda dalam menjelaskan istilah intelegensi. Claparde & Stren menyatakan intelegensi sebagai “kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru”. David Wechsler memberikan definisi intelegensi sebagai “kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya” (Irwanto, 2002). Throndike mendefinisikan intelegensi sebagai “kemampuan individu untuk memberikan respon yang tepat (baik) terhadap stimulasi yang diterimanya”, dan banyak lagi para ahli yang mendefinisikannya secara beragam.
Pada mulanya, intelegensi atau kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan dalam struktur akal (intelek) dalam menanggapi gajala atau stimulus tertentu sehingga intelegensi hanya terbatas pada aspek-aspek proses berpikir. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa dalam kehidupan manusia bukan semata-mata hanya mengandalkan akal saja, melainkan ada struktur lain yang turut berpengaruh dalam setiap tingkah lakunya. Yaitu qalbu (hati) yang menempati posisi aspek-aspek afektif seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan agama. Oleh karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada masing-masing orang sangatlah beragam seiring dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya yang kemudian memunculkan perbedaan antara konsep kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual (Mujib, 2009).
Secara teoritis, dalam pandangan Islam memang tidak dijelaskan mengenai intelegensi sebagaimana yang dipaparkan oleh para tokoh psikologi, akan tetapi dalam beberapa ayat dan sejumlah hadis dapat diinterpretasi untuk mengisyaratkan dan menjelaskan beberapa pembahasan terkait intelegensi sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh para tokoh dan ahli.
Salah satu konsep dan komponen dalam intelegensi adalah bahwasanya intelegensi didasarkan atas proses berpikir. Berpikir adalah kegiatan dan tingkah laku yang berpusat pada otak. Kemudian daya berpikir yang berpusat di otak itu diistilahkan dengan sebutan “akal”. Secara bahasa akal dalam bahasa Arab disebut dengan al-‘aqlu atau ‘aql yang mempunyai aneka makna. Di antaranya bermakna al-hijr dan an-nuha yang berarti kecerdasan, sama persis seperti pengertian intelegensi secara sederhana. Al-‘aql sebagai isim (kata benda), sedangkan dalam bentuk fi’ilnya (kata kerja) adalah ‘aqala yang bermakna habasa yang berarti mengingat. Karena itu, orang yang menggunakan akalnya disebut sebagai ‘aqil yaitu orang yang dapat mengendalikan, mengikat, dan menawan nafsunya. Hal senada juga dipaparkan oleh Ibnu Zakaria yang mengatakan bahwa semua kata dalam bahsa Arab yang memiliki akar kata yang terdiri dari huruf ain, qaf, dan lam menunjukkan kepada arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan. Pendapat Ibnu Zakaria tersebut, secara prinsip hampir menyamai pengertian intelegensi secara teoritis.
Berdasarkan pemahaman dari penjelasan tadi, dapat dikatakan bahwa orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengendalikan tingkah lakunya agar lebih sesuai, adaptif, dan intelegen. Pengendalian akal agar menjadi lebih bernilai adaptif dan intelegen itulah kemudian bisa disebut sebagai intelegensi. Dalam pandangan Islam, akal lebih difungsikan sebagai penahan hawa nafsu. Dengan demikian manusia tidak betindak dan bertingkah laku mengikuti nafsunya.
Akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, melainkan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari tiga unsur, yaitu pikiran, perasaan, dan kemauan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh T. M. Usman El-Muhammady yang dikutip oleh Fuat Nashori bahwa bila ikatan itu tidak ada, maka tidak akan ada akal. Akal adalah alat yang menjadikan manusia dapat melakukan pemilihan antara yang benar dan salah. Dalam al-Quran, manusia diperintahkan untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami fenomena alam semesta (Bastaman, 2005). Dengan kata lain, bahwa al-Quran menyinggung tentang sebagian ciri-ciri intelegensi menggunakan istilah akal atau daya pikir.
Lebih lanjut lagi, Al-Ghazali merumuskan dua aspek intelegensi di ataranya adalah aspek active intelect (‘amaliah: tingkah laku) dan aspek cognitive intelect (‘alamiah: pengetahuan). Ke dua aspek tersebut senada dengan konsep dan ciri-ciri intelegensi yang dirumuskan oleh sejumlah tokoh dan ahli. Dalam ungkapan yang lain, Al-Ghazali menurut Yasir Nasution dijelaskan bahwa akal (intelektualitas) merupakan karakteristik manusia. Dalam pendapatnya tentang pandangan Al-Ghazali, akal sangatlah beragam dan dapat dikelompokkan atas akal praktis (al-‘amilat) dan akal teoritis (al-‘alimat).
Di antara rumus konsep dan ciri intelegensi adalah bahwa intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah, penyesuaian terhadap lingkungan, dan pemecahan masalah yang timbul. Hal tersebut juga senada dengan pandangan Ibrahim Madruk tentang akal sebagai ungkapan yang mewakili pembahasan perihal intelegensi dalam pandangan Islam. Ibrahim Madruk menyatakan bahwa akal adalah potensi dalam diri manusia untuk dapat membedakan mana yang haqq dan yang batil (Baharuddin, 2004).
Dalam al-Quran, banyak ungkapan kata yang memiliki makna sama atau mendekati makna ‘aql (akal). Seperti dabbara (merenungkan), faqiha (mengerti), fahima (memahami), dzakara (menggingat), fakkara (berpikir). Kata-kata tersebut sekalipun memiliki makna yang sama, namun dalam aspek lain memiliki perbedaan. Namun jika dianalisis lebih lanjut maka semua kata tersebut bisa terhimpun dalam satu makna yakni semua menunjuk pada makna yang satu, yaitu kecerdasan.
Wallahu A’lam.