Inspirasi Remaja Bertongkat

Inspirasi Remaja Bertongkat

Ia memberi saya inspirasi, ia pemuda bertongkat itu

Inspirasi Remaja Bertongkat

Saya bisa membayangkan betapa hatinya berantakan menghadapi kenyataan getir ini: berkaki satu dan berteman tongkat sepanjang hidupnya. Usianya masih muda. Belum 17 tahun. Kecelakaan di kampung halamannya di Jawa Tengah setahun lalu merenggut satu kakinya. Anak lelaki ini ditabrak kontainer bertubuh bongsor. Setelah peristiwa itu ia masuk kategori tunadaksa.

Di sela-sela acara, saat ia tengah menunggu teman yang akan mengantarnya pulang, kami bicara berdua di salah satu bangku di selasar sekolah kejuruan di pulau ini. Bangku itu membelakangi sebuah lapangan upacara sekaligus lapangan basket. Saya lihat sore itu, kurang dari sepuluh orang pelajar berlari-larian bermain basket. Kaki mereka kekar-kekar. Mungkin sering berlatih.

Saya bicara hati-hati agar tak menyingung perasaannya. Juga berhati-hati untuk tak menampilkan kesan terlalu iba. Kadang kita tahu orang seperti mereka tak ingin dikasihani. Hanya butuh penghargaan atas kebutuhan yang berbeda dan akses yang mereka perlukan.

“Sekarang mental kamu jauh lebih kuat, bukan?” tanya saya pada pelajar kelas dua SMK itu.

“Ya. Pak,” jawabnya sembari mengatakan butuh waktu setahun setengah untuk bisa kuat.

Kami obrol bagaimana ia pulang-pergi jika sekolah. Rumahnya di bagian barat, sedang sekolah berada di ujung timur pulau.

“Diantar sepupu. Kalau sedang tak bisa, tetangga yang antar,” kisahnya. Mendengar itu saya senang bukan kepalang. Tetangga dan keluarga amat peduli. Beberapa temannya saya lihat bergantian memberinya tumpangan pulang pergi.

Ketika sesi Kepemimpinan dan Hak-Hak Kelompok Disabilitas digelar, remaja berkulit gelap ini menyimak baik-baik pengalaman getir Fanny Evrita, narasumber pelatihan. Fanny juga bagian dari kelompok disabilitas. Perempuan kelahiran Pontianak itu tuna daksa. Satu kakinya membesar.

“Soal begitu saya sudah kenyang. Dari sekolah SD hingga SMA. Dibilang kaki gajah, dianggap korban karma dari perbuatan orang tua. Tapi, ibu saya mengajarkan jika diganggu kita harus melawan dan bicara,” katanya kepada 30-an peserta, termasuk bocah lelaki tadi menceritakan pengalaman perundungan (bullying).

Terus terang mendengar kisah Fanny saya bersedih, meski ia menceritakannya dengan gembira dan kadang tertawa. Kegetiran kadang-kadang memang harus ditertawakan agar mental kita jauh lebih kuat.

Remaja ini, salah seorang peserta Pelatihan Kepemimpinan dan Seni Bercerita Digital yang digelar sepanjang 1-2 Desember ini. Materi hari kedua, pelatihan digelar persis di bibir pantai di lokasi ikon wisata Pulau Tidung: Jembatan Cinta. Pantai menghadap pulau Jawa dengan pemandangan laut yang tengah pasang.

Terus terang saya agak khawatir jika tempat pelatihan di luar itu membuat tidak nyaman. Atau kadang berpikir jika peserta terlalu lama diminta berdiri.

“Tapi, bukankah perbedaan berlebih justru bisa membuat ia mungkin merasa dibeda-bedakan?” begitu pikiran saya.

Saya berharap ia senang dengan pelatihan. Setidaknya menyuntikan semangat bahwa ia begitu berharga bagi kami, termasuk puluhan peserta lainnya. Para peserta pelatihan, termasuk dirinya, orang-orang terpilih dan lolos seleksi dari 70 aplikasi yang masuk.

Selamat Hari Disabilitas Internasional, 3 Desember 2018