Nama lengkapnya adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Jadzimah bin Dari’ bin Adi bin al-Dar bin Hani’ bin Habib bin Numarah. Kata “al-Dari” yang disematkan di belakang namanya adalah nisbat kepada kakeknya, al-Dar bin Hani’. Tamim al-Dari lahir dan tinggal di Palestina, di daerah Bait Ainun (Jerussalem).
Tamim adalah mantan pendeta Kristen yang rajin membaca kitab-kitab Yahudi dan Injil. Sehingga wajar, ia memiliki pengetahuan yang luas mengenai mitos-mitos yang beredar di dalam kitab Taurat dan Injil. Karena itulah, setelah Tamim al-Dari masuk Islam, Umar bin al-Khattab mengizinkannya untuk mendongeng di dalam Masjid al-Aqsha dan aktifitas dongeng merupakan salah satu sumber informasi yang kelak disebut dengan istilah isra’iliyyat di dalam kitab-kitab tafsir.
Setelah perang Tabuk, yaitu tahun 9 H/601 M, Tamim memeluk Islam. Nama mu’allafnya adalah Abdullah. Semenjak menjadi Muslim, ia tinggal di Madinah sampai terjadinya tragedi pembunuhan terhadap Utsman bin Affan. Setelah tragedi itu, ia pindah ke Syiria (Syam) dan kembali lagi ke Palestina hingga wafat pada 40 H (661 M). Jenazahnya dimakamkan di Bait Jabrin, Palestina.
Semasa hidupnya, Tamim dikenal sebagai sahabat yang rajin beribadah. Seminggu sekali ia istiqamah menghatamkan al-Qur’an, bahkan terkadang satu ayat beliau ulang-ulang sambil menangis. Ayat tersebut adalah ayat 21 surat al-Jatsiyah. Jika satu malam ia tidak bangun melaksanakan shalat tahajjud, maka selama satu tahun ia tidak tidur sebagai hukuman bagi dirinya karena telah meninggalkan shalat tahajjud satu malam. Tamim juga tercatat sebagai salah satu panitia yang ikut mengumpulkan al-Qur’an pada masa nabi, selain Ubay bin Ka’ab, Utsman, dan Zaid.
Di antara jasa Tamim al-Dari dalam sumbangsihnya terhadap Islam sebagaimana keterangan dari Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra adalah gagasannya untuk membuat mimbar shalat jumat. Pada saat itu (hari Jumat), Rasulullah menyampaikan khutbah Jumat dengan bersandar pada pangkal pohon kurma di masjid sambil berdiri. Usai khutbah, beliau bersabda, “Sesungguhnya khutbah sambil berdiri benar-benar melelahkan saya.”
Mendengar keluhan itu, Tamim al-Dari segera menemui Rasulullah dan mengusulkan adanya mimbar, seperti yang pernah ia lihat di Syam. Rasulullah tidak langsung menerima usulan itu. Beliau mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk membahas usulan Tamim.
Kesepakatan pun tercapai. Rasulullah dibuatkan mimbar dari kayu Atsilah. Satu-satunya tukang kayu bernama Kilab, budak milik Abbas bin Abdul Mutthalib diminta untuk mengerjakannya. Kilab membuatnya dengan tiga anak tangga dan dilengkapi tempat duduk.
Kemudian mimbar itu diletakkan di tempat Rasulullah meletakkan pangkal kurma tempat bersandar saat beliau menyampaikan khutbah sebelum-sebelumnya. Ketika Rasulullah ingin berdiri di atas mimbar, beliau melintasi pangkal kurma itu, tiba-tiba pangkal kurma mengeluarkan suara sepeti suara bayi hingga terbanting dan terbelah. Kemudian Rasulullah turun dari mimbar, dan ketika beliau mendengar suara pangkal kurma itu, beliau mengusapnya dengan tangannya hingga ia tenang kembali, lalu kembali ke atas mimbar. Ketika masjid direnovasi, Ubay bin Ka’ab mengambil pangkal kurma itu, dan disimpan di rumahnya hingga lapuk dan dimakan rayap.
Atas dasar ini, kemunculan dan bentuk mimbar pada zaman Rasulullah bukan didasarkan pada wahyu, tetapi merupakan ide sahabat berdasarkan pengalamannya atau adopsi dari negeri lain, seperti yang diusulkan Tamim al-Dari karena sebelumnya ia pernah melihat mimbar di Syam.
Tamim al-Dari juga dianggap sebagai orang pertama yang berinisiatif memasang lampu di masjid. Diriwayatkan oleh Abu Hindun bahwa ketika Tamim al-Dari keluar dari Syam menuju Madinah, ia membawa lampu, minyak zaitun, dan tali kecil. Ketika sampai di Madinah, ia menyuruh budaknya, bernama Abu al-Barad untuk menggantungkan lampu yang dibawanya itu dengan tali yang sudah dicampur minyak zaitun dan telah dipintal.
Ketika matahari sudah mulai ghurub (terbenam), ia memasangnya di masjid. Ketika Rasulullah tiba di masjid, beliau melihat masjid begitu terang. Beliau lantas bertanya, “Siapa yang melakukan ini?.” Orang-orang menjawab, “Tamim, ya Rasulallah.” Beliau kemudian bersabda, “Engkau telah menerangi Islam. Semoga Allah menerangimu di dunia dan di akhirat nanti. Sungguh, jika aku memiliki anak perempuan, maka aku akan menikankannya denganmu.”