Ini yang Hilang dari Gerakan Hijrah

Ini yang Hilang dari Gerakan Hijrah

Istilah hijrah belakangan ini mulai populer. Bila dulu hijrah identik dengan perpindahan tempat, sekarang dimaknai lebih beragam lagi. Namun sayangnya, dari sekian banyak kelompok yang mempopulerkan hijrah, ada satu hal yang mereka lupakan, lebih lanjut simak artikel di bawah ini

Ini yang Hilang dari Gerakan Hijrah

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan (al-a’mal) bergantung pada niat. Seseorang akan mendapat sesuatu sesuai niatnya. Barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka ia berhijrah kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya sesuai niatnya”.

Hadis Riwayat al-imam al-Sittah (enam imam perawi hadis: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu Majjah) ini merupakan hadis penting dan pokok agama. “tidak ada hadis Nabi yang lebih penting dari hadis ini,” kata Abu Ubaidah. Al-Syafii, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Dawud dan Daruqutni semuanya sepakat bahwa hadis ini menempati sepertiga agama. Niat berada di urutan pertama dan paling utama.

Hal senada dikatakan Abu Dawud. Menurutnya, keseluruhan sunnah Nabi tak lepas dari lima hadis: 1) al-a’malu bi niat. 2) al-halalu bayyinun 3) la dharar wa la dhirar 4) ma nahakum anhu fantahu wa ma amartukum bihi fa’tu minhu ma istata’tum.

Jadi, makna penting (maghza) dari hadis di atas adalah “niat” bukan “hijrah”. Hijrah bergantung pada niat. Niat adalah pondasi dasar dari keseluruhan bangunan amal perbuatan manusia. Tanpa disertai dan didasari niat yang tulus, kuat, dan kokoh, amal perbuatan apapun akan rapuh dan mudah hancur.

Akhir-akhir ini hijrah mengalami pergeseran makna. Awalnya, hijrah mengacu pada peristiwa sejarah kepindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Sekarang ini hijrah kehilangan makna historisnya melainkan sudah bergeser ke makna “ideologis”. Saat ISIS masih berjaya di Irak dan Suriah, banyak orang indonesia “berhijrah’ ke sana. Alasannya, mereka ingin pindah dari “negara kafir” (taghut) ke “negara islam”. Dalam keyakinan mereka, Indonesia bukanlah “negara Islam” karena tidak menerapkan “syariat Islam” (sengaja saya kasih tanda petik karena mereka memiliki konsep dan makna sendiri tentang “negara islam”, “syariat Islam”, dan lain-lain). Mereka memiliki doktrin sendiri tentang ini yang dikenal dengan “al-wala wal bara” .

Hijrah juga digunakan oleh kelompok Islam urban untuk menandai proses “migrasi spiritual” dari kondisi sebelum dan sesudah taubat. Semisal, anak band berhijrah menjadi remaja masjid, artis majalah dewasa menjadi ustadzah, atau pemain sinetron beralih profesi menjadi da’i, dan lain-lain. Hijrah, dalam maknanya yang baru, adalah semacam “lompatan eksistensial” dari “dunia hitam” menuju “dunia putih”.

Sayangnya, gerakan hijrah saat ini tak didasari dan dibarengi “spiritualitas” yang menjadi dasar dan titik tolaknya, yaitu niat. Mereka sibuk beramal tapi lupa niat. Padahal, dalam sebuah kaidah fiqh disebut “al-umur bi maqasidiha” (seluruh amal perbuatan tergantung niat dan tujuannya). Sebaik apapun perbuatan seseorang jika niatnya buruk maka perbuatan itu tak ada nilai dan harganya sama sekali, seperti debu-debu yang bertebaran terhempas angin.