Sebagai agama yang Rahmatan lil’alamin, Islam tentu menjunjung tinggi toleransi. Hal ini bahkan menjadi prinsip dasar dalam beragama seperti disabdakan Nabi Saw:
(بعثت بالحنيفية السمحة (رواه أحمد
“Aku diutus dengan membawa agama yang lurus lagi toleran” (HR Ahmad)
Lurus, tidak menyimpang dalam ajaran, toleran dalam bersikap. Toleransi ini berlaku baik kepada sesama muslim maupun kepada pemeluk agama lain. Pluralitas agama harus dipahami sebagai bagian dari ketetapan Allah SWT. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk tidak berbuat baik. Dalam al-Jami’ al-Shaghir-nya, Imam Al-Suyuthi menyampaikan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra:
أوحى الله تعالى إلى إبراهيم : يا خليلي ، حسن خلقك ولو مع الكفار تدخل مداخل الأبرار
“Allah memberi wahyu pada nabi Ibrahim: wahai kekasihku, berbuat baiklah meskipun pada orang kafir, maka engkau akan masuk dalam golongan abror (orang yang berbuat baik)”
Namun, di sisi lain ada kewajiban amar makruf nahi mungkar (selanjutnya hanya ditulis amar makruf). Amar makruf ini adalah sebuah upaya mempertahankan eksistensi agama dan membentenginya dari penyimpangan.
Dua hal ini (toleransi dan amar makruf) sekilas tampak bertabrakan, namun sebenarnya tidak, tinggal bagaimana upaya menyinergikan dua hal tersebut. Perlu diingat bahwa prinsip toleransi juga terwujud dalam praktik amar makruf. Seperti yang tertuang dalam suatu kaidah fikih:
لاينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
“Sesuatu yang diperselisihkan hukumnya tidak boleh diingkari, yang boleh diingkari hanyalah sesuatu yang hukum haramnya disepakati”
Maka jika seseorang melakukan hal yang diharamkan menurut satu mazhab, namun ada ulama atau mazhab lain yang memperbolehkan, seseorang tersebut tidak boleh ditindak, karena dimungkinkan dia melakukan hal tersebut dengan mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkannya.
Melihat ketentuan yang demikian, nampak bahwa amar makruf tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Ada kriteria yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni untuk mengetahui mana yang makruf dan yang mungkar, dan tahu bagaimana cara mengatur umat agar amar makruf yang ia lakukan menuai hasil. Dalam Tafsir Kabir-nya, Fakruddin Al-Razi menyampaikan
ومعلوم أن الدعوة إلى الخير مشروطة بالعلم بالخير وبالمعروف وبالمنكر ، فإن الجاهل ربما عاد إلى الباطل وأمر بالمنكر ونهى عن المعروف ، وربما عرف الحكم في مذهبه وجهله في مذهب صاحبه فنهاه عن غير منكر ، وقد يغلظ في موضع اللين ويلين في موضع الغلظة
“Sudah maklum bahwa mengajak pada kebaikan itu disyaratkan mengetahui mana yang baik, yang makruf, dan mana yang mungkar. Karena orang yang tidak memahami hal tersebut bisa jadi memerintahkan sesuatu yang mungkar, atau mencegah sesuatu yang makruf. Boleh jadi dia mengetahui hukum suatu permasalahan dalam mazhab yang ia anut, namun tidak mengetahui hukum permasalahan tersebut dalam mazhab lain, lalu dia mencegah orang lain melakukannya, maka sama saja dia mencegah orang lain melakukan suatu hal yang tidak mungkar, karena hukumnya diperselisihkan (khilaf) para ulama. Bisa jadi pula dia bersikap kasar dalam keadaan yang harusnya dia bersikap lembut, ataupun sebaliknya”
Prinsip lain yang perlu dipahami adalah, bahwa tujuan dari amar makruf adalah melaksanakan kewajiban, bukan menghilangkan kemungkaran. Jika yang dipahami dari tujuan amar makruf adalah menghilangkan kemungkaran, maka dia akan berusaha dengan cara apa pun agar kemungkaran itu hilang yang mana sangat rawan melanggar rambu-rambu syariat, karena yang dipikirkan hanya bagaimana cara menghilangkan kemungkaran.
Hal ini tentu tidak dibenarkan. Amar makruf adalah manifestasi kasih sayang, maka ironis jika dalam praktiknya dilakukan dengan keras dan kasar. Amar makruf juga harus dilakukan secara bertahap, tidak sekali hantam. Masih dalam referensi yang sama, Fakhruddin Al-Razi mengatakan,
ومن وقف على هذا التريب عرف أن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر يجب أن يكون على سبيل الرفق واللطف مرتبة فمرتبة
“Barangsiapa yang memahami urutan ini, maka dia akan tahu bahwa amar makruf nahi mungkar harus dilakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang serta dilakukan secara bertahap”
Wallahu A’lam.