Saat ini masyarakat banyak sekali yang semangat keagamaannya terpacu ketika mendengar sautan “bela islam”. Mereka seolah-olah merasa bahwa menghadiri aksi “bela islam” adalah suatu tanggung jawab atas nama agama (jihad) yang harus untuk dilakukan.
Menanggapi fenomena seperti ini, baiknya kita selaku umat Islam sebelum tergurus arus untuk mengikuti berbagai aksi bela islam ini, patutnya memahami terlebih dahulu sebenarnya apakah makna dari bela islam? Dan benarkah aksi yang mereka lakukan adalah wujud konkrit dari “bela islam”?
Dalam kaedah fikih dijelaskan:
العبرة بالمعنى لا بالجوهر والشكل
“Hal yang menjadi pijakan adalah esensi (perbuatan) bukan bentuk dan nama”
Berdasarkan kaidah di atas dapat dipahami bahwa hal-hal yang mengatasnamakan agama belum tentu menjadi bagian dari agama. Sebab yang dipandang bukanlah nama dari suatu tindakan tapi wujud tindakannya apakah benar-benar tergolong bagian dari agama atau justru hanya sebatas kedok dengan mengatasnamakan agama yang berujung pada kegaduhan dan perpecahan bangsa.
Salah satu hal yang dianggap bagian dari agama adalah jihad, jihad bukan hanya sebatas perang atau memberantas musuh saja, tapi lebih dari itu, jihad merupakan ajaran syara’ agar setiap orang mengoptimalkan peran mereka dalam bidang yang menjadi keahliannya, dalam istilah kekinian pelaksanaan hal demikian biasa disebut dengan “bela negara”.
Penjelasan tentang “bela negara” ini salah satunya dijabarkan oleh Imam an-Nawawi:
إن الجهاد ليس مختصا بالأجناد وهذا أمر لم ندعه ولكن الجهاد فرض كفاية فإذا قرر السلطان له أجنادا مخصوصين ولهم أخباز معلومة من بيت المال كما هو الواقع تفرغ باقي الرعية لمصالحهم ومصالح السلطان والأجناد وغيرهم من الزراعة والصنائع وغيرها مما يحتاج الناس كلهم إليه
“Jihad tidak hanya terkhusus bagi para tentara, persepsi ini adalah hal yg tidak kita akui, tetapi jihad adalah fardu kifayah (wajib bagi setiap orang secara kolektif). Ketika pemimpin telah menentukan tentara khusus dan mereka mendapatkan jatah makanan dari kas negara, seperti halnya yang terjadi sekarang. Maka rakyat sipil (non-militer) harus tetap melaksanakan perbuatan yang maslahat bagi mereka, bagi pemerintah, bagi militer dan juga bagi rakyat secara umum seperti dengan bercocok tanam, buruh kerja dan pekerjaan lain yg dibutuhkan oleh rakyat secara umum” (Syarafuddin Yahya an-Nawawi, Roudlah at-Thalibin, Juz 1, Hal. 70-71)
Referensi di atas memberi pemahaman bahwa “bela negara” dengan bentuk mengoptimalkan peran masing-masing rakyat sesuai keahliannya justru merupakan wujud konkrit dari “bela agama” yaitu jihad.
Dengan begitu, melakukan sesuatu yang justru membuat kewajiban ini menjadi terbengkalai (dengan demo atau reuni misalnya) maka dianggap sebagai perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan, karena akan mencegah dan menunda terlaksananya kewajiban, walaupun perbuatan ini mengatasnamakan agama.
Jangan sampai kita selaku umat islam merasa berbangga diri dan merasa benar hanya dengan mengikuti aktifitas yang berkedok agama padahal hakikatnya bukan bagian dari agama, seperti yang disindir dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Orang-orang yang sesat perbuatannya di kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat baik” (QS. Al-Kahfi, Ayat 104)
Semoga kita bukan bagian orang-orang yang termasuk dalam ayat diatas. Amin.
Wallahu A’lam.