Prof. Quraish Shihab baru saja menerbitkan buku terbarunya berjudul Wasathiyyah; Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Dalam buku ini, Pak Quraish ini fokus memaparkan tiga hal. Pertama, maksud dan pengertian wasathiyyah (moderasi). Termasuk di dalamnya ciri-ciri dan gambaran wasathiyyah di dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, urgensi prinsip wasathiyyah. Ketiga, bagaimana moderasi dapat diwujudkan dalam kehidupan beragama. Sebagaimana lekat dengan karya-karya Pak Quraish yang lain, bobot keilmuan buku ini sudah tak diragukan lagi. Tiap lembar akan tersaji uraian yang bernas dan cadas dari satu ayat ke ayat yang lain. Ditaburi dengan rujukan kitab tafsir, hadis, dan karya-karya ulama terkait, baik yang klasik ataupun yang kontemporer.
Jika kita telaah secara cermat, buku terbitan Lentera Hati Ciputat setebal 188 halaman ini tidak lepas dari keprihatinan Pak Quraish terhadap kecenderungan suasana keberagamaan di Indonesia, khususnya di beberapa tahun belakangan. Di mana semangat keberagamaan sebagian saudara kita tidak berbekal dengan pengetahuan agama yang mendalam, ditambah lagi dengan serbuan ragam ideologi transnasional yang massif. Imbasnya adalah, sebagian dari kita cenderung mudah terseret dalam arus ekstremisme. Yang menurut Pak Quraish, salah satu indikasinya adalah mudah berkata kasar, memaki, menyebar isu negatif, dan di saat yang sama, mudah memuji berlebihan terhadap suatu hal yang disukai.
Di sisi lain, ada juga sebagian saudara kita yang mulai apatis dengan agama. Merujuk pada beberapa hal, agama lantas dituduh sebagai biang kegaduhan dan kemunduran. Karena itu, peran agama harus diminimalisir dari urusan-urusan publik. Kecenderungan ini juga sepenuhnya tidak tepat. Ide sekularisasi yang berlebihan juga akan menyeret peradaban manusia ke dalam lonceng kehampaan spiritualitas. Karena itu, dua kecenderungan ini harus dipahami bersama. Diakui dan dimengerti sebagai sebuah penyakit yang harus diobati bersama. Kita ataupun sebagian saudara kita yang telah terpapar ekstremisme dan liberalisme harus dirangkul ulang. Lantas, langkah awal apa yang harus kita lakukan?
Setidaknya ada tujuh langkah yang dapat kita mulai untuk meneguhkan prinsip wasathiyyah. Pertama, memahami teks-teks al-Qur’an dan hadis dengan memperhatikan tujuan kehadiran agama (maqashid al-syari’ah). Menyandingkan dan menyinergikan pesan-pesan mulia agama dengan derap kemajuan zaman. Kedua, kerjasama dengan semua kalangan umat Islam. Bertoleransi terhadap keragaman pendapat. Baik di internal ataupun eksternal umat Islam. Ketiga, menghimpun dan mempertemukan ilmu dengan iman, kreativitas material dengan keluhuran spiritual, kekuatan ekonomi dengan kekuatan moral.
Keempat, penegakkan prinsip dan nilai-nikai kemanusiaan dan sosial, semisal keadilan, syura, kebebasan bertanggung jawab, dan hak-hak asasi manusia. Kelima, mengajak kepada pembaruan sesuai dengan koridor agama dan menumbuhkan spirit ijtihad bagi para ahli di bidangnya. Keenam, memberi perhatian yang besar dalam membina persatuan dan kesatuan. Bukan perbedaan dan perselisihan. Ketujuh, memanfaatkan sebaik mungkin warisan intelektual ulama, logika para teolog, kerohanian para sufi, keteladanan para pendahulu, dan ketelitian para pakar.
Sebagai penutup di halaman terakhir, Pak Quraish menegaskan bahwa wasathiyyah adalah prinsip utama Islam yang hanya dapat ditegakkan dengan tiga hal; ilmu, kebajikan, dan keseimbangan. Tanpa ketiganya, kehadiran Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam akan tetap terus timpang dan pincang.