Manusia adalah makhluk sosial, artinya tidak bisa hidup dalam kesendirian, tentu membutuhkan kawan untuk berbagi dan saling berinteraksi. Dengan bergaul manusia akan bangkit rasa solidaritasnya. Oleh karenanya memilih teman itu juga tidak boleh asal-asalan. Sebab pengaruh teman itu sangat mendominasi terhadap pembentukan karakter manusia.
Jika kita bergaul dengan orang alim maka ada kemungkinan kita akan terpengaruh dengan kealimannya. Begitu juga jika kita bergaul dengan orang bodoh dan rusak maka juga tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi bodoh dan rusak.
Lalu siapakah teman yang baik itu? Ibnu ‘Athaillah memberikan terapi kepada kita, bahwa teman yang baik itu adalah teman yang memiliki akhlak yang baik sekalipun orangnya bodoh. Dan pergaulan yang jelek adalah bergaul dengan orang pandai, tetapi aklaknya buruk dan hanya menuruti hawa nafsu.
Ibnu ‘Atha’illah berkata:
وَلَأَنْ تَصْحَبَ جَاهِلًا لَا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ اَنْ تَصْحَبَ عَالمًا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ فَأَيُّ عِلْمٍ لِعَالِمٍ يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ وَأَيُّ جَهْلٍ لِجَاهِلٍ لَا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ.
“Engkau bersahabat dengan orang bodoh tetapi tidak mengikuti hawa nafsunya, lebih baik bagi kamu daripada bersahabat dengan orang alim, tetapi gemar mengikuti hawa nafsunya. Tak mungkin ilmu itu dimiliki orang alim, apabila ia menuruti hawa nafsunya, dan orang bodoh bukanlah bodoh jika tidak menuruti nafsunya.”
Berdasarkan penjelasan Ibnu ‘Athaillah di atas, bisa difahami bahwa kualitas teman bergaul itu ditentukan oleh akhlaknya bukan kepandainya. Terkadang orang berilmu ada yang terjerumus ke dalam lembah hawa nafsu dan kemaksiatan, karena ilmunya tidak mampu mengeluarkan dirinya dari jebakan nafsu. Sehingga kebodohan terkadang malah bisa menyelamatkan dari hawa nafsu. Orang berilmu merasa mampu dan sombong dengan ilmunya, padahal ia terjebak dengan hawa nafsunya.
Memilih kawan itu sangat menentukan sifat dan akhlak. Bila teman kita saleh maka kita akan mendapat kesalehan. Begitu sebaliknya, bila teman kita buruk maka kita akan mendapat keburukan. Maka carilah teman bergaul yang bisa membangkitkan semangat kita untukbuntuk Ibnu ‘Atha’illah berkata:
لَاتَصْحَبْ مَنْ لَا يَنْهِضُكَ حَالُهُ وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ, رُبَّمَا كُنْتَ مُسِيْئًا فَأَرَاكَ اْلاِحْسَانَ مِنْكَ صُحْبَتُكَ مَنْ هُوَ اَسْوَأُ حَالًا مِنْكَ
“Janganlah kalian bersahabat dengan orang yang tidak membangkitkan semangat ibadah, serta ucapan yang tidak membawa kalian mendekati Allah Swt. Apabila kalian berbuat salah, ia mengatakan bahwa itu adalah kebaikan, sebab kalian bersahabat dengan orang yang perilakunya lebih jelek dari kalian sendiri.”
Penjelasan Ibnu ‘Athaillah ini dapat dipahami bahwa sahabat yang baik adalah sahabat yang bisa memberikan motivasi dan semangat ibadah, bukan sahabat yang membiarkan kita dalam kemaksiatan. Sahabat yang baik adalah yang mengingatkan ketika kita salah. Sahabat yang baik adalah yang sahabat yang tidak rela kita terjerumus dalam kezaliman. Sahabat yang baik adalah yang mengajak kita senantiasa taqarrub ilallah.
Ibnu ‘Ajibah (w. 1266 H) ketika menjelaskan kalam hikmah ini, beliau mengatakan, “Sahabat yang baik adalah orang yang ketika kamu melihatnya, bisa mengingatkan kamu kepada Allah SWT. Jika kamu adalah orang yang ghoflah (lalai kepada Allah), begitu melihatnya kamu langsung bebas dari kelalaian. Jika kamu dalam keadaan rughbah (cintah Allah), begitu melihatnya kamu menjadi zuhud. Jika kamu sibuk maksiat, begitu melihatnya kamu termotivasi untuk segera taubat. Atau jika kamu belum mengetahui Tuhanmu, begitu melihatnya kamu sekwtika mengetahui Tuhanmu. Dan seterusnya.”
Kesimpulannya, karakter kita bisa terbentuk oleh teman kita. Pengaruh teman memang luar biasa. Oleh karenanya selektif dalam berteman akan memperbaiki jiwa kita. (AN)
Wallahu a’lam.