Ini Tiga Indikator Radikalisme (Ekstremisme) Menurut Gus Nadir

Ini Tiga Indikator Radikalisme (Ekstremisme) Menurut Gus Nadir

Ini Tiga Indikator Radikalisme (Ekstremisme) Menurut Gus Nadir

Warganet dihebohkan dengan wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia, oleh Menteri Agama yang baru, Fachrul Razi. Konon, pelarangan ini terkait gerakan radikalisme agama yang santer diberitakan sudah masuk ke berbagai instansi di lembaga pemerintahan.

Tapi benarkah semudah itu mengidentifikasi seseorang terpapar radikalisme agama atau ekstremisme agama? Nadirsyah Hosen yang akrab disapa Gus Nadir, yang juga menjadi pengajar di Monash University Australia, menyampaikan pendapatnya terkait hal ini dalam acara Seminar Internasional Peringatan Hari Santri Nasional dan Launching Buku Nasionalisme Santri di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) 31 Oktober 2019.

Menurut Gus yang aktif berselancar di Twitter tersebut, ada 3 indikator dalam melihat seseorang radikal. Pertama, dalam hal keyakinan ia mudah mengkafirkan orang yang berbeda pandangan dengan dirinya. Paham mengkafirkan orang ini lazim dikenal dengan istilah takfiri. Seringkali perbedaan pendapat tersebut tidak menyentuh ranah yang prinsipil (ushuliyah), tetapi hanya sebatas dalam kerangka ubudiyah yang sifatnya furu’ (cabang).

Contoh ibadah yang sering mendapatkan sorotan dari kelompok tertentu adalah ziarah kubur dan peringatan maulid Nabi. Dalil yang dikeluarkan oleh mereka (kelompok takfiri) itu adalah dalil hadis fainna kulla bid’atin dhalalah, wakullu dhalalatin fi al-nar (sungguh semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan berada di neraka). Penggalan kalimat tersebut menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk mengkafirkan sesama umat Islam, hanya karena berbeda dalam praktik ubidiyah.

Sedangkan kalau kita belajar balaghah (sebuah disiplin ilmu tentang bahasa), ada istilah ithlaqul ‘am irodatul juz’i (menyebutkan semua, tapi yang dikehendaki hanya sebagian). Seperti kasus di atas, tidak semua hal baru (bid’ah) yang dimaksud sesat, melainkan bid’ah yang tidak memiliki landasan syariat, sedangkan bid’ah yang memiliki landasan syariat ia tetap boleh diamalkan dalam praktik ibadah sehari-hari. Islam menghendaki perbedaan pendapat, namun tidak memberikan kuasa untuk saling mengkafirkan.

Kedua, dalam tindakannya ia membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Orang radikal seringkali merasa terpanggil untuk “berjihad” dengan membunuh sesama muslim maupun sesama manusia yang berbeda agama, tapi masih satu tanah air. Naluri kemanusiaannya tumpul akibat obsesi ingin masuk surga firdaus dengan jalan pintas. Setiap yang berbeda baginya perlu diserang dan dilenyapkan.

Tipe manusia yang seperti ini hadir berkat kurangnya pemahaman tentang ajaran Islam. Saat mengaji kitab, hanya sampai bab jihad dan itu pun tidak tuntas, sehingga seolah-olah Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peperangan. Padahal dalam Islam, perang hanya diperbolehkan sebagai jalan terakhir untuk mempertahankan diri ketika diserang terlebih dahulu oleh pihak musuh.

Tipe radikal yang kedua ini juga tidak pernah membaca sejarah kehidupan Nabi Muhammad yang pernah hidup berdampingan di Madinah dengan penganut agama lain. Selain tinggal dalam satu kawasan yang sama, Nabi juga pernah menggadaikan baju perang besinya kepada seorang pemeluk Yahudi. Keengganan belajar sejarah menyebabkan orang hilang akal sehat, tak dapat membedakan non-muslim yang layak diperangi dan mana yang layak disayangi.

Ketiga, radikal adalah mereka yang ingin mengganti dasar negara yang sudah melalui kesepakatan pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai elemen. Sistem yang ingin dijadikan sebagai pengganti itu bisa Negara Islam Indonesia (NII), khilafah, atau sistem bernegara lainnya yang di luar kesepakatan yang sudah ada.

Orang-orang yang meyakini khilafah adalah satu-satunya solusi permasalahan negara terjebak pada romantisme masa silam. Seolah sistem khilafah tak pernah cacat dan benar-benar satu-satunya sistem yang diridai dalam Islam. Padahal, jika kembali membuka lembar sejarah, kita akan mendapatkan banyak sekali catatan hitam dalam pemerintahan dengan sistem khilafah. Baik yang terjadi dalam kekhilafahan Bani Umayah maupun Bani Abbasiyah. Gus Nadirsyah telah banyak menuliskannya pada buku Islam Yes Khilafah No.

Di dalam ajaran Islam tidak pernah ada keterangan yang menjelaskan tentang sistem pemerintahan, Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam juga tidak sekalipun menyebut kata khilafah. “Khilafah adalah fakta sejarah, tapi bukan inti ajaran Islam,” ujar Gus Nadirsyah. Sistem pemilihan pemimpin dalam Islam tidak diatur secara khusus. Sehingga sangat dimungkinkan beberapa pilihan dalam memilih pemimpin dan sistem bernegara.

Terkhusus Indonesia, demokrasi adalah sistem yang sudah pas dengan kondisi Indonesia. Hal ini berkaitan dengan latar belakang suku, budaya, dan agama masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Pun dengan sistem khilafah masih sangat ambigu, tidak ada konsep jelas yang ditawarkan oleh para pengusung sistem ini di abad 21 ini. Siapa yang akan menjadi khalifah atau pimpinan tertinggi umat Islam? Lalu negara mana yang akan menjadi pusat pemerintahannya?

Ketiga indikator inilah yang ditawarkan Gus Nadirsyah Hosen supaya lebih konkret dalam melihat radikalisme. Jangan menyasar ke cara berpakaian, karena ini dapat membahayakan kebebasan orang dalam mengekspresikan keberagamaannya.

Kalaupun ada orang yang pernah tersangkut kasus terorisme dan radikalisme menggunakan identitas baju keagamaan tertentu, kita mesti meyakini, ia bukan mewakili pemahaman kelompok tersebut, melainkan hanya oknum. Sebagaimana yang disampaikan Idham Azis, Kapolri, di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Lebih lanjut, Gus Nadirsyah juga memaparkan tantangan ke depan yang paling penting adalah soal keadilan sosial. Di mana hanya segelintir orang dan kelompok yang menikmati kekayaan negeri ini. Tidak benar-benar merata dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Radikalisme menempati urutan kedua sebagai tantangan yang dihadapi bangsa ini. Hal tersebut senada dengan dawuh Gus Dur, “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.”

Wallahu A’lam

 

Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo