Tulisan ini aku dedikasikan untuk orang-orang yang selalu bertanya. “Jilbabmu mana?”
Tahun lalu, ketika pulang ke Aceh, ke rumahku, aku bertanya pada ibuku. Saat itu ibu sedang ngobrol dgn kakakku.
“Mak, kenapa memutuskan memakai jilbab?” Ibu dan kakakku yang sedang mengobrol berhenti dan melihat ke arahku.
Karena aku ingat sejak dulu, keluarga besarku tidak memakai jilbab. Bahkan ketika ibu sudah menikah pun dan kemudian memiliki KK, aku dan adik-adik, ibu pun tidak memakai jilbab dalam keseharian kehidupannya. Mungkin hanya nenek yang menggunakan kain panjang yang hanya disampirkan begitu saja di atas kepalanya, ketika ia pergi ke kebun atau ke sawah. Selebihnya ia juga tidak memakai jilbab. Kami hanya diwajibkan menutup aurat ketika malam hari, saat mengaji dan shalat. Namun, keadaan ini berubah setelah tahun 2000.
Aku ingat, ketika itu sekelompok orang masuk ke kampung kami, menangkap perempuan yang tak mengenakan jilbab lalu memangkas rambut mereka. Aku menghampiri sepupuku yang rambutnya setengah botak dan setengah lagi masih ada bagian rambut di kepalanya. Dia salah korban hari itu, padahal dia yang masih SMP sedang bermain di halaman rumahnya.
Setelah kejadian itu, kampungku berubah. Termasuk anggota keluargaku. Orang-orang mencari kain-kain yang bisa dipakai untuk menutupi kepala. Tak lama kemudian, bisnis jilbab menjamur dan orang-orang mulai mengumpulkan uang untuk membeli jilbab.
“Dulu kan tidak model, ya sekarang sudah model pakai jilbab. Ya kita pakai sajalah”, jawab ibuku.
Setelah kejadian ini, aku menanyakan pertanyaan yang sama sekitar 3 kali di lain kesempatan dan ibu masih memberikan jawaban yang sama.
Nenek memberikan jawaban yang berbeda,”Dosa kalau kamu tidak pakai jilbab. Kan kamu paling rajin mengaji,” katanya padaku lebaran kemarin saat aku berkunjung dan menghadiahinya sebuah jilbab cerah bermotif bunga-bunga.
Semua episode cerita di atas membuatku berpikir bertahun-tahun lamanya. Untuk siapa aku berjilbab?
Setelah tahun 2000, untuk pertama kalinya aku berjilbab karena peraturan yang diberlakukan di sekolah. Karena sekolahku Madrasah Tsanawiyah yang merupakan sekolah agama. Namun dalam keseharian, aku tidak memakai dan hanya memakai jika aku ke sekolah dan mengaji.
Tahun 2005 setelah tsunami, konflik berhenti dan Aceh menyatakan damai dengan Indonesia. Menjelang naik ke kelas 2 SMA, aku mengenal dunia Rohis. Yang disebut juga Lembaga Dakwah……. kami dijadikan kader yang direkrut. Karena keahlian mengajiku, keaktifanku, ustazah menobatkanku jadi ketua majelis ta’lim perempuan di sekolahku. Lalu aku mulai memakai jilbab ketika di luar rumah tapi hanya di beberapa tempat saja.
Selalu begitu bahkan sampai aku kuliah, aku memakai jilbab kalau keluar rumah misal ke kota, ke kampus. Tapi aku tidak memakainya saat aku berkumpul dengan teman2ku di tempat lain seperti di kosan, di laut, di gunung di tempat-tempat yang pastinya tidak ada Polisi Syariah yang hidupnya sibuk merazia pakaian perempuan.
Aku berpikir jilbab ini untuk siapa? Aku belajar Surat An-Nur ayat 31. Ya ini salah satu yang digunakan orang-orang ketika mereka bicara tentang kewajiban menutup aurat dan sebagainya.
Jika pun kemudian aku memilih menggunakan jilbabku suatu saat, aku akan melakukannya karena hatiku. Bukan lagi karena perintah orang-orang yang sibuk menceramahiku.
Orang-orang biasa akan bilang “itu kan perintah Tuhan, ada di Al-Quran”. Mhmmm perintah lainnya juga banyak, misal dilarang pacaran, dilarang meninggalkan shalat, dilarang bergosip, menipu, bersikap munafik, dilarang buang sampah dan merusak alam, dengki, iri hati, marah-marah, dan larangan lainnya.
Pertanyaannya, larangan manakah yang tidak kau langgar? []
Agustina Iskandar, Pemudi asal Aceh dan sekarang aktif di Gusdurian Jakarta.