Anda termasuk orang yang gemar menghafal dan menghayati Asmaul Husna? Salah satu keutamaan Asmaul Husna adalah, siapa yang mau menghafalkannya maka ia akan masuk surga. Hal ini dinyatakan Nabi Muhammad sesuai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tapi apakah hanya itu saja hal bermanfaat yang dapat diperoleh dari Asmaul Husna? Bolehkah semisal, meniru sedikit kandungan Asmaul Husna?
Meniru, berakhlak, atau meneladani kandungan Asmaul Husna dianjurkan dalam Islam. Hal ini didukung oleh beberapa dasar hadis. Salah satunya riwayat Imam at-Tirmidzi:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِى اسْماً فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
“Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bahwa ia mendengar Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda: “Allah azza wa jalla berfirman: ‘Aku maha pengasih. Aku ciptakan rasa kasih sayang serta aku jadikan ia sifat tersendiri dari nama-Ku. Siapa yang mempraktikkannya maka aku kasihi ia. Dan siapa yang merusaknya maka aku rusak ia’.” (HR: al-Tirmidzi)
Ada pula hadis dhaif yang diriwayatkan dan diterima oleh beberapa ulama’ ahli hadis dan didokumentasikan oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Jami’ as-Shaghir:
إنَّ لِلَّهِ تَعَالَى مِائَةَ خُلُقٍ وَسَبْعَةَ عَشَرَ خُلُقًا مَنْ أَتَاهُ بِخُلُقٍ مِنْهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Allah memiliki 117 akhlak. Siapa yang menghadap-Nya dengan beberapa akhlak darinya, maka ia kelak akan masuk surga”
Imam al-Ghazali dalam kitab al-Maqshad al-Asna yang merupakan penjelasan dari Asmaul Husna menguraikan bahwa, manusia dalam bersinggungan dengan Asmaul Husna ada beberapa tingkatan. Di mana setiap naik satu tingkatan menunjukkan naiknya kemuliaan derajad manusia tersebut.
Tingkatan pertama, orang yang terhadap Asmaul Husna hanya sebatas bisa mendengar saja. Ia sama sekali tidak mengerti makna Asmaul Husna. Dalam tingkatan ini, Asmaul Husna seakan-akan bermanfaat baginya hanya sebatas menunjukkan bahwa ia memiliki pendengaran yang sehat saja. Hal ini menjadikan manusia tidak berbeda dengan hewan.
Tingkatan kedua, orang yang terhadap Asmaul Husna mengerti maknanya. Tapi, hanya sebatas makna tanpa bisa lebih jauh mengerti kaitannya pada Allah. Seperti belum memiliki kesadaran bahwa itu nama Allah dan makna yang dikandunganya ada pada Allah. Pada tingkatan ini, tidak bisa dibedakan mana manusia yang terpelajar dengan yang tidak. Manusia dalam tingkatan ini hanya mengerti bahwa semisal, lafad Rahim itulah yang diistilahkan dengan Asmaul Husna dan ia merupakan bahasa Arab yang artinya maha pengasih sesuai kamus. Tapi ia tak memiliki kesadaran bahwa Rahim sebagai Asmaul Husna menunjukkan ia salah satu nama Allah. Sehingga makna maha pengasih yang terkandung pada Rahim, ada dan berjalan pada dzat Allah.
Tingakatan ketiga, manusia yang terhadap Asmaul Husna mengerti makna serta kaitannya pada dzat Allah. Tapi, tidak bisa menggali lebih dalam bagaimana sebenarnya pemahaman dari makna Asmaul Husna tersebut. Seperti, bagaimana wujud sifat Maha Pengasih pada Allah? Apakah sebatas Allah memberi ampunan saja? Kalau memberi ampunan saja, lalu apa bedanya dengan Asmaul Husna al-Ghafir yang artinya Maha Pemberi ampunan?
Tingkatan keempat, manusia yang terhadap Asmaul Husna memenuhi tiga kreteria berikut: pertama, mengetahui dengan jelas serta meyakinkan bagaimana sebenarnya makna, penjelasan, serta praktik dari Asmaul Husna tersebut. Kedua, pengetahuan tersebut kemudian mendorongnya diri mereka semakin mengagungkan Allah serta membuat diri mereka terdorong untuk ingin juga memiliki sifat yang terkandung dalam Asmaul Husna, sesuai dengan posisinya sebagai manusia. Ketiga, dorongan itu benar-benar membuat dirinya mau untuk berusaha berakhlak atau memiliki sifat seperti yang ada dalam Asmaul Husna, sesuai kadar posisinya sebagai manusia.
Berakhlak atau memiliki sifat seperti yang ada pada Asmaul Husna bukan berarti memiliki akhlak atau sifat yang sama persis dengan yang dimiliki Allah. Tapi, sebatas memiliki akhlak atau sifat yang memiliki kesamaan istilah dengan bobot yang berbeda. Wujud sifat pengasih manusia tentu bobotnya berbeda dengan sifat pengasih Allah, meski punya istilah yang sama. Sifat pengasih manusia serba terbatas seperti seberapa besar kadar rasa kasih serta seberapa banyak orang yang dikasihi. Tapi, sifat pengasih Allah serba tidak terbatas dan tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.