Pasca reformasi kelompok-kelompok Islam yang ingin mengartikulasikan penerapan syariat Islam di Indonesia kembali muncul, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Statemen andalan yang selalu digaungkan oleh kelompok ini ialah ajakan penerapan syariat Islam secara kaffah (total dan menyeluruh), termasuk mengganti UUD 1945 dengan syariat Islam tekstualis secara keseluruhan.
Apa sebenarnya makna “Islam Kaffah” di dalam Alquran? Bagaimana para ulama memaksudkan penerapan syariat Islam secara kaffah? Adakah makna kontekstual “Islam Kaffah” yang sejalan dengan tempat dan waktu modern-kontemporer?
Secara tersurat, terma Islam Kaffah dalam Al-Quran disebut dalam Q.S Al-Baqarah (2): 208, “ya ayyuhaladzina amanu udkhulu fi as-silmi kaffah“, yang artinya sebagaimana terjemahan Al-Quran Kementerian Agama, yaitu wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan. Makna yang terkandung dalam terjemahan tersebut betapa sangat universal, apakah masuk Islam secara menyeluruh artinya adalah tidak boleh keluar lagi dari Islam setelah masuk Islam; atau melaksanakan hukum Islam secara total; atau masuk Islam dalam kepasrahan secara lahir dan batin.
Terhadap kata as-silmi, para ulama tafsir memang berbeda-beda dalam penafsirannya. At-Thabari yang merupakan ulama tafsir abad klasik, dengan mengutip hadis yang diriwayatkan Muhammad Ibn Umar, memaknai kata ‘as-silmi’ sebagai amal Islam. Sehingga menurutnya, ayat di atas memerintahkan orang beriman untuk melakukan amal-amal kebaikan yang sudah dibawakan oleh Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW. Hal ini selaras dengan visi Nabi Muhammad yang diturunkan ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.
Sementara menurut al-Sya’rawi, kata ‘as-silmi’ maksudnya adalah kedamaian di muka bumi. Menurutnya, maksud ayat di atas adalah sebuah perintah dari Allah kepada orang-orang beriman untuk selalu menebar kedamaian di muka bumi. Bukan hanya bumi, bahkan langit dan seluruh alam. Karena menurut al-Sya’rawi, kondisi langit, bumi dan alam adalah sesuai kondisi manusianya.
Jika manusianya baik, berlaku damai, maka seluruh apa yang ada di langit, bumi dan alam akan merasakan kedamaian dan ketentraman. Sebaliknya jika perilaku manusianya buruk, maka langit, bumi dan alam pun menjadi buruk.
Ulama tafsir selanjutnya yang memakai ayat tersebut di atas adalah as-Sa’di. Menurutnya, ‘as-silmi’ dalam ayat tersebut di atas maksudnya adalah syariat Islam yang sudah menjadi ketentuan Allah. Hanya saja menurutnya, syariat Islam tersebut bersifat dinamis. Sehingga, aplikasi syariat Islam bagi manusia harus direlevansikan dengan ruang dan waktunya. Jika sebuah syariat sudah tidak relevan, maka bisa saja dimaknai ulang secara kontekstual sesuai dengan kebutuhan umat manusianya.
Pemaknaan yang dilaporkan oleh as-Sa’di rupanya lebih kontekstual dan modern. Pendapatnya itu sejalan dengan cendekiawan muslim abad modern, seperti misalnya Abdullah Ahmad An-Na’im yang menyatakan bahwa syariat Islam itu tidak lepas dari sisi historis dan konteks yang terbatas pada saat diturunkannya. Oleh sebab itu pemaknaan dan aplikasinya harus terus dinamis, elastis dan tetap dalam batasan-batasan yang telah Allah tetapkan di dalam Alquran. Menurut An-Na’im, syariat Islam bukanlah sesuatu yang rigid, sakral, dan tidak dapat direinterprestasikan kembali.
Jika dikorelasikan dengan hukum-hukum yang diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia, pemaknaan as-Sa’di agaknya lebih tepat, karena meniscayakan hukum UUD 1945 dan turunannya sebagai hukum yang dianggap absah, bahkan patut digolongkan dengan hukum syariat Islam, bilamana sesuai dengan kebutuhan umat manusianya, dan tentu saja tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
Pemaknaan lain yang berbeda dengan penafsiran ulama-ulama lain adalah dalam tafsir Al-Wa’ie karya Rokhmat S. Labib yang merupakan Eks Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurutnya, kata ‘as-silmi’ dalam ayat di atas maksudnya adalah syariat Islam sebagaimana tertulis secara tekstual dalam Al-Quran dan hadis. Sehingga menurutnya, di dunia ini tidak ada hukum kecuali hukum Islam (syariat Islam sesuai teks wahyu) dan hukum jahiliyah. Menurut Labib, hukum selain Islam seperti UUD 1945 masuk kepada hukum kedua yaitu hukum jahiliyah.
Alasan di atas yang kemudian menjadikan kelompok HTI dan yang semacam dengannya, seperti FPI dan MMI, menganggap kufur sistem dan hukum negara di Indonesia. FPI misalnya, menganggap bahwa Indonesia dengan Pancasila, Demokrasi dan UUD, belum meninggikan syariat Islam, dan masih menerapkan hukum sekuler.
Sehingga FPI bercinta-cita mensyariatkan Indonesia dengan jargonnya yang cukup fenomenal, “NKRI Bersyariah”. Ketiadaan hukum syariat Islam secara teks di dalam hukum Indonesia saat ini melazimkan keharusan mengganti NKRI dengan NKRI Bersyariah.
Tentu saja, pemaknaan ‘as-silmi’ dengan maksud sebagaimana penafsiran Labib di atas kiranya tidak relevan dalam konteks Indonesia sebagai negara yang pluralis yang dihuni oleh berbagai pemeluk Agama. Karena konsekuensi negatifnya, jika hukum di Indonesia menggunakan hukum Islam secara total, maka umat non-Islam pun harus tunduk dengan aturan Islam. Sementara jelas antara Islam dan non-Islam memiliki aturan yang sama sekali berbeda, utamanya dalam hal ibadah, selain dalam masalah sosial.
Mengutip Ibn ‘Ashur, pada akhirnya semua hukum Islam harus bisa memberikan kebaikan (maslahat) kepada semua manusia, bukan saja orang Islam tapi juga non-Islam. Hal itu karena Islam merupakan agama kasih sayang (rahmatal lil alamin). Oleh karena itu, syariat Islam harus dinamis dan kontekstual dengan zaman dan waktu. Pemaknaan Islam secara total dan menyeluruh harus dimaknai aktualisasi nilai maslahat dan kasih sayang Islam untuk seluruh manusia dan alam.
Perbedaan makna ‘as-silmi’ yang digagaskan para ulama tafsir meniscayakan akan ketidakbolehannya memutlakkan satu tafsir tertentu atas ayat Islam Kaffah di atas. Namun secara dominan, para ulama tafsir memakai ayat Islam Kaffah di atas dengan makna kebaikan, kemaslahatan, dan kedamaian, bukan syariat Islam tekstual yang rigid yang harus diterapkan di mana pun, tanpa mempertimbangkan konsekuensi negatifnya. Para ulama tafsir menitikberatkan makna ayat di atas sebagai perintah untuk memeluk agama Islam dengan menjalankan amalan kebaikan yang dapat menebar rasa damai dan kasih sayang.
Visi Islam sebagai agama welas asih, meniscayakan Islam Kaffah pada ayat di atas agar umat Islam beragama secara inklusif dan adaptif terhadap hukum-hukum lokal suatu negara, sebagaimana UUD 1945. Prinsip yang harus dikedepankan adalah kualitas hukumnya yang dapat memberikan kemaslahatan dan kedamaian bagi warganya, bukan sisi kuantitas yang simbolik, namun eksklusif dan rigid. Sehingga, makna Islam Kaffah dalam ayat di atas adalah Islam yang kontekstual, dinamis, adaptif, memberi kemaslahatan-kedamaian bagi semua manusia, dengan tetap dalam koridor hukum Tuhan.