Seorang perempuan meminta cerai kepada suaminya karena suaminya berbohong kepadanya. Suaminya berbohong selama beberapa tahun untuk menutupi kabar yang semestinya, bahwa ia telah menikah lagi dengan perempuan lain.
Dalam kasus lain, seorang ustadz ditinggalkan jamaahnya karena berbohong. Akibat kebohongan yang disampaikan, banyak terjadi fitnah dan menjadi bola liar di tengah masyarakat.
Lagi-lagi, imbas kebohongan sangatlah nyata: membuat suami-istri bercerai dan seorang ustadz kehilangan kepercayaan dari para jamaahnya.
Namun ternyata, ada beberapa kebohongan yang diperbolehkan oleh Islam. Hal ini disebutkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar an-Nawawi. Imam an-Nawawi, mengutip sebuah hadis dari Ummi Kaltsum, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
قالت أم كلثوم : ولم أسمعه يرخص في شئ مما يقول الناس إلا في ثلاث : يعني : الحرب ، والإصلاح بين الناس ، وحديث الرجل امرأته والمرأة زوجها “
“Ummu Katsum berkata: Aku tidak pernah mendengar Rasul SAW memberi keringanan bagi ucapan (bohong) yang telah diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu, ketika perang, ketika dalam proses mendamaikan antara sesama manusia, serta perkataan (gombalan) suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya.”
Namun, tidak serta merta kebohongan ini bisa dilakukan, Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi, menyebutkan beberapa batasan kebohongan itu bisa dilakukan dalam tiga hal di atas.
الكلام وسيلة إلى المقاصد ، فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعا ، فالكذب فيه حرام ، لعدم الحاجة إليه ، وإن أمكن التوصل إليه بالكذب ، ولم يمكن بالصدق ، فالكذب فيه مباح إن كان تحصيل ذلك المقصود مباحا ، وواجب إن كان المقصود واجبا
“Perkataan adalah media untuk mencapai tujuan. Dan setiap tujuan yang baik bisa jadi dilakukan dengan ucapan yang jujur maupun yang bohong. Sedangkan perkataan yang bohong tetap haram jika tidak ada kebutuhan untuk sampai pada tujuan tersebut. Jika memungkinkan untuk mencapai tujuan yang baik dengan ucapan yang bohong, dan tidak akan tercapai jika dengan ucapan yang jujur, maka ucapan bohong diperbolehkan jika mencapai hasil dari tujuan itu diperbolehkan, bahkan wajib jika tujuan yang harus tercapai adalah kewajiban.”
Dari batasan ini menunjukkan bahwa tujuan yang mubah, jika tidak bisa tercapai dengan hanya ucapan jujur, maka diperbolehkan dengan ucapan yang bohong. Namun jika tujuannya adalah kewajiban, dan tidak bisa dicapai tanpa ucapan bohong, maka ucapan bohong tersebut hukumnya wajib.
Al-Ghozali menambahkan batasan-batasan pada tiga hal tersebut dengan pernyataan berikut:
ومتى جاز الكذب ، فإن كان المبيح غرضا يتعلق بنفسه ، فيستحب أن لا يكذب ، ومتى كان متعلقا بغيره ، لم تجز المسامحة بحق غيره ، والحزم تركه في كل موضع أبيح ، إلا إذا كان واجبا.
“Kapan diperbolehkan berbohong? Jika terkait dengan tujuan yang mubah dan berhubungan diri sendiri, maka masih tetap dianjurkan untuk tidak berbohong. Dan jika berhubungan dengan orang lain, maka tidak boleh memberikan kemudahan yang menyangkut hak orang lain. Dan teguh hati meninggalkan kebohongan atas sesuatu yang hanya mubah, namun jika hal yang menyangkut orang lain tersebut berkaitan dengan perkara wajib, maka diperbolehkan.”
Wallahu A’lam.