Ini Keinginan Rasul SAW yang Belum Sempat Terlaksana Hingga Wafat

Ini Keinginan Rasul SAW yang Belum Sempat Terlaksana Hingga Wafat

Tidak semua keinginan Rasul SAW bisa terlaksana, beliau juga punya keinginan yang belum terlaksana hingga beliau wafat.

Ini Keinginan Rasul SAW yang Belum Sempat Terlaksana Hingga Wafat

Tidak ada nabi lagi yang diutus ke muka  bumi setelah wafatnya Rasul SAW. Beliau merupakan penutup dari 124.000 ribu nabi. Beliau merupakan rasul terakhir dari 313 rasul yang diutus ke muka bumi. Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dari 25 nabi yang wajib diketahui oleh ummat islam. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam Surat Al-Ahzab : 40 berikut ini :

{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً } [الأحزاب: 40]

Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ketika Rasul SAW menyampaikan wahyu (perintah atau larangan) dapat dipastikan beliau sudah melaksanakannya sebagai pioner kebaikan. Tidak ditemukan dalam kitab sejarah manapun yang menafikan hal itu.

Namun, ada satu syariat yang belum beliau kerjakan namun tetap berlaku untuk ummatnya. Namun hal ini bukan karena keengganan beliau dalam meninggalkan amalan tersebut, melainkan karena ajal sudah menjemput Nabi Muhammad Saw terlebih dahulu. Syariat ini adalah berkaitan dengan puasa hari kesembilan Bulan Muharram (tasu’a).

Berkenaan dengan hal ini, ada riwayat dari Abdullah bin Abbas (sepupu nabi dari jalur ayahandanya) bahwa Rasul SAW bersabda, “Andaikata tahun depan aku masih hidup aku akan puasa di hari kesembilan Bulan Muharrom.” Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya ini mengindikasikan bahwa beliau belum melaksanakannya.

Puasa hari kesembilan bulan Muharram ini merupakan keinginan beliau (hammiyah) yang sampai akhir hayatnya belum terlaksana (puasa yang tak sampai, bukan kasih yang tak sampai).

Abdurrahman Ibn Al-Jauzi dalam kitabnya “kasyful Musykil Min Haditsis Shahihain” menjelaskan maksud hadits tersebut bisa dipahami dengan 4 poin. Pertama, puasa tasu’a ini sebagai ganti dari puasa ‘asyura’ agar tidak menyerupai orang yahudi. Kedua, puasa di tanggal Sembilan dan sepuluh untuk menghindari menyerupai orang yahudi. Ketiga, makruhnya puasa satu hari tanpa disambung  dengan hari yang lain sehingga beliau menambah satu hari lagi. Keempat, Hari Tasu’a itu adalah Hari Asyuro’. Ini madzhab Ibnu Abbas.

Mengaca pada keterangan tersebut penulis lebih memilih pada poin kedua. Ini dikarenakan puasa tanggal 10 bulan Muharrom merupakan puasa orang Yahudi yang sudah berlangsung sejak masa Nabi Musa AS.

Pada awalnya beliau hanya menganjurkan pada tanggal 10 Muharrom, namun untuk menghindari keserupaan dengan orang yahudi beliau bermaksud untuk menambahnya sehari sebelum tanggal sepuluh (9 Muharrom). Sayangnya, Rasul tidak sempat melakukan puasa tersebut karena beliau terlebih dahulu meninggal dunia. Beliau wafat pada bulan Rabiul Awwal Tahun 11 Hijriyah atau Bulan Juni Tahun 633 M.

Dalam ilmu hadis, puasa tanggal 9 Muharrom ini termasuk satu-satunya contoh dari sunnah hammiyah. Sunnah hammiyah termasuk salah satu bagian dari macam-macam sunnah selain sunnah qouliyah, fi’liyah, dan taqririyah. Hadist hammiyah sendiri memiliki pengertian keinginan (rencana) nabi yang disampaikan pada para sahabat namun tidak terealisasi. Contohnya adalah puasa Tasu’a. Sedang ketika ditelisik dari kaca mata fiqih, puasa 9 Muharrom dihukumi sunnah menurut kesapakatan empat madzhab (Abu Hanifah, Imam Malik, as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal).

Maka dari itu, sebagai ummat Nabi Muhammad SAW. yang cinta pada beliau, marilah kita lestarikan syariat-syariatnya dengan cara menagamalkan, termasuk puasa 9 Muharrom. Lebih-lebih ummat nabi yang muqim di pesantren. Kalau bukan kita, lantas siapa lagi ?