Khitbah atau meminang sudah lumrah dilakukan oleh masyarakat dari berbagai agama, di Indonesia maupun di luar negeri. Terlepas dari beragam bentuknya, lamaran adalah wasilah menuju jenjang pernikahan, meski tidak semua orang yang menikah melewati proses khitbah terlebih dahulu.
Menurut para ulama, khitbah tidak termasuk syarat sahnya pernikahan, maka andai seseorang tidak melakukan khitbah sebelum pernikahan pun sah-sah saja. Jumhur ulama sepakat bahwa khitbah hukumnya mubah.
Dalam kitab Muhadharat fî al-Ahwâl asy-Syakhsiyyah yang disusun oleh Prof. Dr. Faraj Ali as-Sayyid ‘Anbar, beliau menyebutkan pendapat yang Mu’tamad dalam mazhab Syafi’i:
أنّ الخطبة مستحبة لفعله صلى الله عليه وسلم حيث خطب عائشة بنت أبي بكر وخطب حفصة بنت عمر رضي الله عنهم
Sesungguhnya khitbah disunnahkan berdasarkan pekerjaan Nabi SAW, sebagaimana beliau melamar Aisyah binti Abu Bakar RA dan Hafshah binti ‘Umar RA. (Muhadharat fî al-Ahwâl asy-Syakhsiyyah yang disusun oleh Ust. Dr. Faraj Ali as-Sayyid ‘Anbar, Jâmi’ah al-Azhar, 1438 H/ 2008 M, hal 27)
Bahkan, lebih baik lagi jika prosesnya dilakukan dengan mengamalkan sunnah Nabi SAW, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Adzkar Imam an-Nawawi:
Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar menyebutkan amalan-amalan sunah tersebut sebagai berikut:
يُستحبّ أن يبدأ الخاطبُ بالحمد لله والثناء عليه والصَّلاة على رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ويقول: أشهدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ اللَّه وحدَه لا شريكَ له، وأشهدُ أنَّ محمداً عبدُهُ ورسولُه، جئتكم راغباً في فتاتِكم فُلانة.
“Disunahkan seseorang yang melamar (baik diri sendiri atau wakilnya) membaca hamdalah, menyebut pujian pada Allah, shalawat untuk Rasulullah SAW. Setelah itu, bacalah asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Kami datang kepada keluarga bapak untuk melamar putri bapak.”
Demikian penjelasan mengenai hukum khitbah, semuanya kembali kepada diri masing-masing, entah ia memerlukan proses khitbah atau tidak sebelum pernikahannya. Namun baiknya jika mengikuti sunnah Rasulullah, sebagaimana pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafi’I, maka khitbah dianjurkan.
Wallahu a’lam