Dalam mencari kebahagiaan, masing-masing orang berbeda-beda begitu pula dalam memandang kebahagiaan itu sendiri. Tetapi sebagian besar orang mengukur kebagiaan dengan harta dan jabatan. Dua hal ini selalu dikejar oleh setiap orang dengan alasan menjemput rezeki. Dengan berbagai macam dilakukan untuk mendapatkan harta dan jabatan sampai kadang kehormatan pun dikorbankan. Akibatnya, ketika tidak mendapatkan dua hal itu atau dua hal itu pergi darinya, ia merasakan kegalauan yang amat panjang.
Islam memang tidak melarang kita untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya tetapi dengan syarat tidak mengorbankan orang lain dan tidak tamak. Harta yang didapatkan hendaknya digunakan sesuai kebutuhan dan diinfakkan di jalan Allah SWT. Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa rezeki yang didapatkannya adalah milik sendiri, sehingga ia takut menyedekahkannya kepada orang, khawatir hartanya habis dan rezekinya berkurang. Padahal, pada hakekatnya rezekinya sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
Dalam buku Bustanul Fuqara’ wa Nuzhatul Qurra’, Imam Saleh Abdullah Haidar Al-Katami, pernah bercerita bahwa suatu hari Hatim Al-Asham pernah ditanya,”Apa yang membuatmu begitu mantap menyerahkan perkaramu kepada Allah SWT? Hatim menjawab,”Aku yakin karena percaya dengan empat hal.”
Pertama, aku tahu sesungguhnya rezeki yang telah ditetapkan untukku tidak akan dimakan oleh orang lain sehingga hatiku selalu tenang tidak lagi memikirkan bagaimana rezekiku esok hari. Sebagai orang yang beriman, seharusnya perkara rezeki diserahkan kepada Allah setelah melalui serangkaian usaha. Karena sekuat apapun kita mengejar rezeki, kalau bukan bagian rezeki kita tetap tidak akan bisa diraih. Kalaupun berhasil diraih maka tidak akan pernah bertahan lama. Hari ini ada di tangan kita bisa jadi esok hari ada di tangan orang lain. Jadi, tetaplah selalu berusaha menempuh jalan yang lurus dalam mencari rezeki. Setelah itu, bertawakallah kepada Allah SWT.
Kedua, aku juga tahu bahwa amalanku tidak akan mungkin dikerjakan oleh orang lain, sehingga aku berusaha untuk melakukannya sendiri. Setiap orang tidak mungkin menyuruh orang lain mengerjakan sebuah amal saleh lalu ia sendiri yang akan menikmati pahalanya. Amal saleh yang kita kerjakan tentu untuk diri kita sendiri tidak mungkin dikerjakan oleh orang lain. Misalnya shalat fardu dan puasa ramadhan. Tidak mungkin kita mengerjakan salat fardhu dan berpuasa untuk orang lain. Kalau istilah zaman sekarang,”Dia yang dapat buahnya, aku yang dapat kulitnya.”
Ketiga, aku tahu bahwa kematian akan mendatangiku secara tiba-tiba sehingga aku segera mempersiapkan diri untuknya. Mati tidak mesti harus menunggu tua atau sakit. Kapan saja ia bisa datang tanpa diundang. Sehingga tidak dapat yang bisa dilakukan selain bersiap menghadapinya.
Keempat, aku tahu bahwa aku tidak akan luput dari pengawasan Allah SWT sehingga aku malu kepada-Nya setiap kali aku melakukan maksiat. Sekecil apapun perbuatan maksiat yang kita lakukan, Allah selalu mengawasi. Di tempat manapun bahkan sampai di lubang jarum pun Allah tetapi melihat apa yang kita lakukan. Jika demikian halnya, masihkah kita berani bermaksiat?