Menjadi sosok yang bersikap independen itu penuh tantangan, apalagi jika dibarengi dengan produktivitas dalam menghasilkan karya. Pernah ada suatu masa ketika Islam memiliki banyak sosok ulama independen dan produktif. Namun, seperti apa sosok independen dan produktif itu?
Saat membaca buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan, pembaca akan menemukan pembahasan terkait hubungan ulama dan negara dalam arti pemerintah. Setidaknya sang penulis buku, Ahmad T. Kuru, membahasnya dalam dua tempat.
Pertama, dalam diskusi tentang pengaruh hubungan (persekutuan) ulama dan negara terhadap otoritarianisme pemerintah. Dalam konteks ini, ulama memiliki “peran” dalam rangka melanggengkan pemerintah yang otoriter, seperti mengeluarkan fatwa yang melegitimasi pemerintah atau kesediaan mereka mengatur masjid dan para jamaahnya sesuai dengan instruksi dari pemerintah.
Kedua, dalam diskusi tentang kontribusi ulama terhadap kemajuan peradaban Islam di masa silam. Pada saat peradaban Islam mencapai masa keemasannya, yakni dalam rentang abad ke-7 hingga ke-11 masehi, hal itu tidak lepas dari peran ulama dan intelektual muslim saat itu. Ilmu pengetahuan yang berkembang begitu pesat tidak lepas merupakan hasil produktivitas ulama yang begitu tekun mengkaji dan menghasilkan karya-karya di berbagai bidang keilmuan.
Satu hal menarik dari diskusi yang kedua adalah adanya hubungan antara produktivitas ulama dengan komitmen “menjauh” dari pemerintah. Mereka lebih memilih untuk tetap menjadi independen, tidak berada dalam kendali pemerintah, meski harus menghadapi ancaman persekusi hingga pembunuhan. Pemerintah di sini tentu merujuk pada dinasti Islam yang berkuasa. Barangkali sisi gelap dari “khilafah” seperti ini jarang dikemukakan oleh para pengusungnya di masa kini. Meski ada juga pemerintahan yang pro-pengetahuan tanpa memberi aturan tertentu yang membatasi ulama.
Bahkan, ada satu argumen yang dikutip oleh Kuru menyatakan bahwa “Sejumlah ulama dilaporkan menolak semua bantuan finansial dari pemerintah. Mereka menjaga diri agar terbebas dari tekanan pemerintah.” Di antara contoh ulama hebat nan produktif yang menolak untuk “dekat” dengan pemerintah adalah Imam Abu Hanifah (dihukum penjara mati), Imam Malik bin Anas (dihukum cambuk), Imam as-Syafi’i (ditahan dan dirantai), Imam Ahmad bin Hambal (dipukuli di penjara), hingga Imam Ja’far as-Shadiq (diracun mati).
Tak heran jika saat itu terdapat seruan untuk menghindari guru yang “mendekat” ke pemerintah. Mereka yang seperti itu dianggap “tidak kompeten” dalam hal pengetahuan. Periwayatan hadis dari mereka dianggap “tidak layak” dipercaya, Alasannya tentu sederhana: orang-orang khawatir pengetahuan yang disampaikan telah mendapat intervensi dari pemerintah. Dan itu sangat mungkin terjadi. Meskipun demikian, kondisi hari ini tidak bisa disamakan dengan saat itu. Lain waktu penulis akan menulis panjang tentang ini.
Sosok Ulama Independen dan Produktif Masa Kini
Barangkali tidak sulit untuk menemukan ulama yang independen dalam arti tidak terlalu condong sama kubu tertentu. Namun, menjadi berbeda ketika membicarakan ulama yang produktif di masa kini. Seorang kyai, misalnya, dengan begitu banyaknya santri yang harus diayomi, mungkin waktunya akan banyak digunakan untuk mengajar. Seorang dosen di perguruan tinggi Islam mungkin akan disibukkan dengan administrasi hingga presentasi di dalam maupun luar negeri. Mereka pun tak kalah sibuknya dengan kyai di pesantren.
Lalu, kira-kira masih adakah ulama yang independen sekaligus produktif di masa kini, secara khusus ulama di Indonesia? Penulis menjawab: Ada. Sayangnya, sosok itu baru saja meninggalkan kita semua. Tak lain sosok itu adalah (Alm.) Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE., yang wafat pada 18 September 2022 lalu. Artikel ini sendiri ditulis tepat 8 hari setelah kepergian beliau.
Sepanjang beberapa hari setelah kepergian Azyumardi Azra, berbagai tulisan tentang sosoknya berseliweran di banyak kanal media, institusi, hingga berbagai lembaga lainnya di Indonesia. Di banyak akun media sosial, khususnya kerabat dan koleganya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berbagai testimoni baik akan jasanya banyak dituliskan. Berdirinya UIN yang merupakan hasil transformasi dari IAIN pun tak lepas dari jerih payahnya. Ratusan intelektual muda juga turut merasakan “uluran tangannya” dengan beasiswa studi yang diperoleh.
Di mata banyak orang, Azyumardi Azra adalah salah seorang yang sangat independen. Dia tidak pernah menduduki jabatan yang diberikan dari pemerintah. Dia tak pernah segan untuk memberikan kritik pedas terhadap kebijakan pemerintah yang ngawur. Beruntungnya, Azra tidak seperti beberapa nama yang disebutkan oleh Kuru di dalam bukunya yang mengalami persekusi dari pemerintah. Tentu hal ini juga “berkah” Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem demokrasi, bukan sistem “khilafah” ala pengasong masa kininya.
Sepanjang karirnya, selain sebagai dosen, Guru Besar Sejarah UIN Jakarta ini tercatat pernah menduduki beberapa jabatan penting. Di antaranya Rektor IAIN-UIN Jakarta (1998-2006), Direktur Pascasarjana UIN Jakarta (2006-2015), dan beberapa lainnya. Ternyata, berbagai tanggung jawab besar yang diembannya tidak mengurangi produktivitas dalam menghasilkan karya! Tidak percaya?
Silahkan para pembaca melihat profilnya di laman scholar.google.com. Di sana, pembaca akan menemukan bahwa jumlah karya-karya beliau (buku, jurnal, artikel ilmiah) yang tercatat adalah sekitar 200-an karya! Itu belum termasuk ratusan esai yang ditulisnya di beberapa kolom media seperti Republika, Kompas, dan lainnya. Bahkan, menurut penuturan Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A. dalam Azyumardi Azra, Icon Intelektualisme Islam Indonesia, Azra selalu menyajikan makalah saat akan presentasi di suatu forum. Tidak hanya menyajikan PPT atau sekedar berbicara tanpa naskah seperti kebanyakan lainnya.
Dengan kepergiannya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia sangat merasa kehilangan. Mungkin kita semua akan merindukan berbagai ceramah dan tulisannya yang selalu segar. Semoga semua karya-karya tersebut menjadi amal jariyah bagi beliau di alam sana.