Di antara kebiasaan masyarakat sebelum berangkat haji ialah mengadakan selamatan (walimatussafar). Calon haji mengundang masyarakat kampung, baik karib kerabatan ataupun tetangga, untuk datang ke rumahnya agar mendoakan tuan rumah selamat pergi haji. Acara selamatan tentu tidak sekedar membaca doa, untuk memperkuat silaturahim, tuan rumah juga berbagi makanan kepada setiap tamu yang datang.
Bagi sebagian orang, khususnya mereka yang tidak terbiasa dengan karakter dan tradisi lokal masyarakat, tradisi ini dianggap tidak ada dalilnya dari Nabi SAW. Memang istilah selamatan tidak ada pada masa Rasul, tetapi substansi tradisi ini sudah ada pada masa Rasul.
Dalam literatur fikih, ada istilah naqi’ah, yaitu menyambut kedatangan musafir, terutama bagi mereka yang baru pulang dari perjalanan jauh, semisal haji. Masyarakat menyambut kedatangan musafir tersebut dengan mengadakan walimah sambil makan bersama. Naqi’ah bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambut kedatangan musafir.
Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ mengatakan, “Disunnahkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri atau orang lain yang menyambut kedatangan musafir”. Kesunnahan ini didasarkan pada hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah, selepas pulang dari perjalanan jauh, beliau menyembelih unta atau sapi (HR: al-Bukhari).
Walaupun hadis di atas tidak menjelaskan hukum mengadakan selamatan sebelum berangkat haji, tetapi pada prinsipnya substansi selamatan tidak jauh berbeda dengan naqi’ah. Naqi’ah diadakan atas dasar rasa syukur dan bahagia dengan keselamatan musafir. Sementara selamatan juga diadakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia karena diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji.
Kalau diperhatikan substansi selamatan tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam, bahkan di dalamnya terdapat unsur doa dan sedekah yang sangat dianjurkan Islam. Ulama mengatakan, al-ibrah bi al-musamma la bi ismi, menghukumi sesuatu mesti difokuskan pada substansi, bukan pada namanya saja. Meskipun nama atau istilah selamatan baru muncul belakangan, tetapi substansinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Selain itu, dalam pandangan madzhab Syafi’i, walimah atau selamatan tidak hanya dianjurkan pada saat acara pernikahan saja, tetapi setiap orang yang medapatkan kebahagiaan atau rezeki dari jalan yang tidak terduga dianjurkan untuk melaksanakan walimah. Sebab itu, menurut ulama madzhab Syafi’i, pada saat pembangunan rumah, khitan, pulang dari perjalanan jauh, dan lain-lain, dianjurkan untuk mengadakan walimah.
Berdasarkan pendapat tersebut, selamatan sebelum berangkat haji sebenarnya juga bagian dari kesunnahan, sebab itu merupakan wujud dari rasa syukur kepada Allah SWT, ajang untuk menjalin silaturahim dan berbagi kepada tetangga dan karib kerabat, serta momen untuk meminta doa dari masyarakat agar perjalanan haji aman dan selamat.