Ada keinginan kuat dari sebagian muslim untuk merumahkan perempuan. Mereka menganggap perempuan lebih baik di rumah melayani suami dan mengurus anak, ketimbang bekerja dan beraktivitas di luar rumah. Mereka juga tak segan melarang istri keluar rumah kecuali untuk keperluan tertentu dan didampingi mahram. Pandangan ini biasanya merujuk pada pendapat sebagian ulama yang memahami peran utama istri di dalam rumah tangga adalah melayani suami. Istri ideal menurut pandangan ini ialah yang mengurusi urusan rumah, bukan yang bekerja di luar rumah.
Pandangan ini berbeda dengan mayoritas ulama di Indonesia yang tidak mempermasalahkan perempuan bekerja di luar rumah. Ada banyak istri dan anak perempuan mereka yang memiliki pekerjaan dan aktivitas di luar rumah. Kiai Wahab Sulang misalnya, seperti ditulis Gus Dur dalam Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, istrinya bekerja sebagai anggota DPRD.
Majelis Ulama Indonesia tahun 2000 juga pernah mengeluarkan fatwa kebolehan perempuan bekerja di luar kota ataupun ke luar negeri selama didampingi mahram. Istilah mahram di sini tidak dibatasi pada keluarga, tetapi juga lembaga atau kelompok yang bisa menjamin keselematan dan keamanan perempuan bekerja. Artinya, perempuan boleh bekerja ke luar kota ataupun luar negeri selama situasinya aman dan dijamin keselamatannya.
Indonesia sebenarnya lebih maju dibanding negara muslim lainnya dalam hal memberi ruang kepada perempuan untuk beraktivitas dan bekerja. Perempuan bekerja di negara ini bukanlah pemandangan yang aneh. Ini berbeda dengan sebagian negara di Timur-Tengah. Arab Saudi misalnya, di sana aktivitas perempuan sangat dibatasi. Baru beberapa tahun terakhir ini, Arab Saudi mulai mengizinkan perempuan untuk beraktivitas di luar rumah. Bila Arab Saudi saja sudah mulai memberi ruang kepada perempuan, kok kita yang sudah maju malah mau merumahkan perempuan?
Argumen Kebolehan Perempuan Bekerja
Para ulama membolehkan perempuan bekerja di luar rumah tentu bukan tanpa alasan. Tidak mungkin mereka tidak mengerti hukum Islam ataupun dalil-dalil terkait perempuan bekerja. Ada beberapa dalil yang sering dikutip para ulama ketika membicarakan kebolehan perempuan bekerja. Di antaranya hadis riwayat al-Bukhari. Rasulullah bersabda:
قدْ أذِنَ اللَّهُ لَكُنَّ أنْ تَخْرُجْنَ لِحَوائِجِكُنَّ
“Allah mengizinkan kalian (perempuan) keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan kalian.” (HR: Al-Bukhari)
Hadis ini mulanya merespons kejadian Saudah binti Zam’ah. Dia keluar rumah untuk buang hajat. Masa itu, toilet tidak ada di dalam rumah, tetapi jauh dari rumah. Mereka biasanya keluar malam hari dan menggunakan hijab. Umar bin Khattab menegur Saudah binti Zam’ah karena menggunakan pakaian yang membuat orang masih mengenalinya. Umar bin Khattab memintanya untuk menutupi lagi tubuhnya agar tidak dikenali orang lain. Istri Rasulullah itu pun akhirnya pulang dan mengadukan peristiwa itu pada Rasulullah. Rasulullah mengabarkan pada Saudah bahwa perempuan diizinkan Allah keluar rumah.
Konteks hadis ini memang pada awalnya tentang perempuan yang keluar untuk buang hajat. Tetapi para ulama tidak membatasi makna hadis itu sebatas itu. Sebab kata “Hawaij/kebutuhan” selalu berkembang sesuai dengan masanya. Kebutuhan perempuan hari ini dengan dulu sangatlah berbeda. Kebutuhan ini maknanya umum, tidak perlu dibatasi. Syekh Athiyyah Saqar, mantan mufti mesir mengatakan, kebutuhan di sini maknanya umum, tidak dibatasi dengan pekerjaan tertentu. Apapun bentuk kebutuhannya, selama tidak bertentangan dengan syariat islam, itu dibolehkan dalam agama.
Syekh Athiyyah menambahkan, Bekerja hak bagi setiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan. Bahkan bekerja itu bisa menjadi kewajiban, karena menjadi sarana hidup, kelanggengan hidup, dan sebagai perwujudan khilafah di muka bumi. Bentuknya beragam: kebun, pabrik, toko, rumah, di darat, laut, dan udara. Allah berfirman:
Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS: Al-Mulk ayat 15)
Sebab itu, Rasulullah tidak melarang perempuan bekerja pada masanya. Dalam tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan ada ragam profesi perempuan pada masa Rasulullah. Ada yang menjadi pedagang, penjahit, petani, perias, dokter, bahkan ikut perang bersama Rasulullah. Di masa Rasul pun, ada banyak perempuan yang bekerja untuk membantu suaminya, Rasul pernah melihat Asma’ binti Abu Bakar, istri Zubair bin Awwam, mengangkut rumput sebagai makanan unta atau kuda. Nabi tidak mengingkarinya. Bahkan Nabi menyuruh naik di belakangnya karena kasihan padanya
Istri Bekerja, Apakah Perlu Izin Suami?
Persoalan berikut yang sering ditanyakan adalah apakah istri perlu mendapat izin dari suami untuk bekerja? KH. Husein Muhammad, dalam buku Fiqih Perempuan, menampilkan dua pendapat ulama terkait masalah ini. Pendapat pertama mengatakan istri harus mendapat izin bekerja dari suami. Kalau suami melarang, dia tidak boleh bekerja. Sementara pendapat kedua menjelaskan istri tidak perlu mendapat izin bekerja dari suami. Apalagi dalam kondisi dharurat, seperti suami tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan keluarganya.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menegaskan, jika seorang suami, karena kemiskinannya tidak dapat memberikan nafkah untuk istrinya, maka seorang suami harus menyatakan terus terang atas ketidakmampuannya, dan menbiarkan istri untuk bekerja, karena hal itu adalah hak individu istri. Ibnu Hajar al-Haytami, seperti dikutip Kiai Husein menjelaskan, boleh keluar rumah tanpa izin suaminya untuk kondisi darurat, seperti takut rumahnya roboh kebakan, tenggelam, takut terhadap musuh, atau untuk keperluan mencari nafkah karena suaminya tidak memberikannya dengan cukup, atau juga karena keperluan keagamaan, dan semacamnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, KH. Husein Muhammad mengusulkan agar segogyanya suami-istri berkomunikasi dengan baik terkait masalah yang dihadapi, termasuk urusan pekerjaan, supaya tidak terjadi keterpaksaan dalam menjalani rumah tangga. Pilihlah putusan yang membawa kepada kemaslahatan bersama, tidak sebatas kemaslahatan suami, ataupun istri.
*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja